Mohon tunggu...
Ali Rahman
Ali Rahman Mohon Tunggu... Konsultan - Penggiat UMKM dan Aktivis Lingkungan Hidup

Aktif dalam upaya membangun komunitas UMKM naik kelas dan upaya pelestarian lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ironi Kemakmuran Maluku Utara, Negeri Para Sultan

8 Juli 2024   06:22 Diperbarui: 9 Juli 2024   08:23 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak bisa dipungkiri NKRI sampai saat ini belum sepenuhnya merdeka. Bumi pertiwi yang gemah ripah loh jinawi belum mampu menyediakan sepenuhnya aneka kebutuhan pangan untuk rakyatnya. Padahal bumi, air/laut dan kekeyaan alam yang terkandung di dalam dan di atasnya begitu melimpah ruah. 

Keadaan ini sejatinya kesalahan kita semua yang belum mampu mentransformasikan sumber daya alam menjadi mesin kemakmuran yang berkelanjutan dan dinikmati secara adil dan merata. 

Masalah pangan selalu muncul berulang. Impor bahan pangan yang terus meningkat, gizi buruk yang diderita anak-anak ibu pertiwi, pengangguran yang masih besar serta ketimpangan fasilitas pendukung kehidupan rakyat seperti sarana transportasi darat dan laut yang masih menjadi kendala di banyak daerah kepulauan. Itu adalah deretan masalah utama yang belum terpecahkan secara komprehensif.

Maluku Utara Negeri 4 Sultan

Moloku Kie Raha atau Maluku negeri dengan 4 (empat) kesultanan adalah negeri yang kaya raya dari dulu sampai sekarang. Negeri penghasil sumber daya rempah yang sudah menjadi buruan para saudagar eropa, arab dan china sejak sebelum NKRI lahir. Negeri tempat tumbuh dan berkembangnya aneka ikan yang menghidupi banyak negara di dunia. Negeri yang dicari karena kandungan mineralnya yang mencucurkan air liur banyak bangsa didunia untuk mengeksploitasinya tanpa menghiraukan kesejahteraan penduduknya.

Maluku Utara (Malut) adalah negeri dengan 4 (empat) kesultanan, yaitu Kesultanan Bacan, Ternate, Tidore dan Jailolo/ Halmahera. Maluku termasuk salah satu provinsi utama yang menyokong sempurnanya perjalanan kemerdekaan NKRI. Ada banyak tokoh nasional yang menjalani perjalanan kebangsaan di masa pengasingan ke Maluku. Sebut saja Bung Hatta, Bung Sayahrir dan Bung Iwa Kusumasumantri. 

Para tokoh bangsa tersebut mendapatkan penguatan spirit perjuangan kebangsaan di tanah Maluku. Maluku adalah negeri dunia. Di mana seluruh bangsa-bangsa dengan peradaban maju dari dulu sampai sekarang menjadikan Maluku sebagai destinasi perdagangan. Negeri dengan aroma rempah yang tercium semerbak ke daratan eropa, timur Tengah dan china. Globalisasi sudah dikenal di Maluku sejak sebelum lahirnya NKRI.

Begitu indah dan kaya rayanya bumi Maluku Utara tidak heran kalo mendapat julukan sekeping surga di timur NKRI. Keindahan Pulau Tawale, Pulau Kasiruta, Tanjung Bongo, Gua Boki Moruru , dan masih banyak lagi mozaik keindahan bumi maluku utara. Selain itu kekayaan laut yang melimpah ruah seolah menambah kesempurnaan maluku sebagai negeri para sultan yang tiada banding di tanah NKRI. 

Maluku sebagai pusat berkembangbiaknya ikan khususnya Cakalang, Tuna dan Tongkol menjadikan maluku sebagai tempat yang sangat potensial untuk membangun industri perikanan yang terintegrasi, sustainable dan ramah lingkungan. Maka lengkap sudah kekayaan alam darat dan laut dimiliki bumi maluku sebagai anugerah yang sangat besar sebagai sumber kemakmuran rakyat maluku khususnya dan NKRI pada umumnya.

Keindahan Laut Maluku sebagai destinasi wisata (Sumber: Foto pribadi)
Keindahan Laut Maluku sebagai destinasi wisata (Sumber: Foto pribadi)

Ironi Kemakmuran di Maluku Utara

Angka stunting di provinsi Malut berdasarkan SSGI tahun 2022 sebesar 26,1%. Sementara presentase kemiskinan tahun yang sama sebesar 6,2%,  indeks gini ratio sebesar 0,3. 

Meskipun angka pertumbuhan ekonomi Malut masuk double digit namun belum berimbas kepada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Karena pertumbuhan yang tinggi ditopang oleh sektor pertambangan dan pengolahan mineral yang tidak berdampak luas kepada kesejahteraan masyarakat di seluruh maluku utara.

Belum lama ini penulis berkegiatan di 5 (lima) desa di Kecamatan Kasiruta Barat yaitu di Desa Imbu-imbu, Palamea, Bisori, Doko dan Marikapal. Sungguh ironis sarana transportasi warga masih berupa kapal sederhana untuk mendukung mobilitas keseharianya. Implikasinya adalah harga kebutuhan pokok yang didatangkan dari Labuha Pulau Bacan masih tinggi dan memakan waktu yang lama. 

Belum lagi masalah penerangan yang  juga masih sangat terbatas. Rintisan Listrik tenaga surya sudah mulai ada tapi masih terbatas dan belum mampu menggerakan ekonomi produktif di Pulau Kasiruta. Termasuk jaringan telekomunikasi belum bisa berjalan lancer dalam mendongkrak perekonomian wilayah penghasil rempah tersebut.

Melihat kondisi yang menyedihkan untuk negeri kaya raya seperti Malut pasti ada kesalahan mendasar yang tengah terjadi. Apakah otonomi daerah yang tidak berjalan sesuai harapan. Ataukah ada kebijakan pemerintah pusat terkait alokasi dana untuk bumi Malut yang tidak adil. 

Apakah pantas negeri yang menjadi rebutan para saudagar Eropa hidup merana seperti sekarang. Hanya satu pulau kecil saja telah membuat Belanda dan Inggris bersepakat untuk saling bertukar pulaunkarena besarnya potensi buah pala. Pulau Run di Maluku dan Manhattan di USA. Kita semua khususnya para tokoh Maluku seyogyanya segera berjuang untuk menghentikan ketidakadilan pembagian kue dengan Jakarta.

Kiprah BUMN perkapalan juga tidak terlihat hadir di Malut. Seandainya teknologi perkapalan berkembang pesat di Malut maka jarak dan laut bukan menjadi masalah dalam menunjang mobilitas warga.

BUMN komunikasi hanya setengah-setengah menunjukkan eksistensi kehadirannya. Masih banyak area blank spot yang menyulitkan warga untuk berkomunikasi. Hal yang sama kehadiran PLN masih sangat lambat untuk berperan di deretan desa yang mendiami Pulau Kasiruta Kabupaten Halmahera Selatan.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Potensi besar rempah (cengkeh dan pala) dan kelapa sebagai sumber pangan juga belum melepaskan sebagian rakyat Malut dari ancaman kelaparan. Angka stunting yang masih tergolong tinggi menunjukan ada masalah besar dalam pemenuhuan kebutuhan pangan. Biang kerok politik beras-nisasi telah menjadikan sebagain besar rakyat Malut sangat tergantung kepada pemenuhan kebutuhan pangan yang bersumber dari beras. 

Malut penghasil sagu seperti ayam mati di lumbung padi. Ironis memang hampir semua desa di sepanjang pantai Pulau Kasiruta yang tidak memiliki sawah menggantungkan kebutuhan makanan pokok kepada suplai beras dari Sulawesi Selatan. Padahal di ladang dan kebun mereka tersedia sagu dan di halaman mereka ikan berseliweran untuk memenuhi kebutuhan proteinnya.

Pangan, Energi dan Transportasi

Ada tiga kunci kemandirian untuk menjadikan Malut merdeka secara hakiki. Jangan jadikan beras sebagai makanan pokok warga. Kembangkan teknologi baik on farm dan teknologi pengolahan pangan berbasis sagu untuk mendukung kedaulatan pangan rakyat maluku. 

Sagu sangat bergizi dan tersedia merata sepanjang  tahun di setiap tempat untuk memenuhi kebutuhan pangan warga Malut. Teknologi tepung perlu disediakan disetiap desa, sama hal nya kalau di Jawa hampir setiap desa ada heuleur padi untuk produksi beras. 

Siapkan teknologi beras analog untuk mengolah tepung sagu yang diperkaya dengan tepung singkong/ sorgum untuk membuat buliran tepung sagu sehingga mirip buliran beras. Atau membuat produk papeda instan yang tinggal seduh seperti mie instan. Itu semua teknologi yang sudah sangat umum dan mudah diciptakan.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Pengolahan ikan dan penyimpanan ikan baik dalam bentuk olahan maupun gudang dingin bisa dibuat di setiap desa. Syaratnya kembangkan teknologi biodiesel berbasis kelapa yang melimpah ruah di bumi maluku. Ketika kelapa dijadikan sumber biodiesel maka kebutuhan solar untuk pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) akan terjamin suplai bahan bakarnya. 

Selain itu nelayan akan mendapatkan pasokan sumber biosolar yang mudah dan terjaminnya.  Sehingga para nelayan akan memiliki waktu yang lama untuk menagkap ikan dengan biaya yang murah.  Deretan Gudang dingin akan dibangun di setiap desa untuk menampung ikan hasil tangkapan karena PLTD berbasis kelapa menjamin suplai biosolarnya.

Kapal-kapal yang digunakan sarana transportasi akan mendapatkan kepastian suplai solar dengan harga yang kompetitif. Pemerintah harus turun untuk mengatur regulasi bahan bakar biosolar dari kelapa untuk daerah kepulauan di NKRI. 

Kalo BBM masih disubsidi, kenapa biodiesel yang jelas ramah lingkungan dan memberdayakan banyak petani dan menciptakan lapangan kerja di desa tidak diberikan previlage untuk tumbuh berkembang sebagai bagian dari program bauran energi nasional. 

Negara hadir dengan istrumen insentif dan proteksi harga. BUMN melalui PLN dan Pertamina seharusnya mendukung dan masuk dalam skema investasi untuk pabrik pengolahan biodiesel berbasis kelapa untuk daerah-daerah kepulauan. Sehingga Listrik, bahan bakar solar untuk kapal (nelayan dan kapal trasportasi) serta gudang beku di tingkat pedesaan bisa tumbuh dan berkembang sebagai sumber kemakmuran rakyat di bumi Maluku Utara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun