Kawasan Pondok Kopi adalah tempat asal mula pengenalan tanaman kopi di Nusantara. Pada tahun 1696, Jenderal Adrian van Ommen, seorang komandan yang bertugas di Malabar Belanda, India, diperintahkan oleh Walikota Amsterdam, Nicholas Witsen untuk membawa bibit kopi Arabika untuk ditanam di Nusantara.
Bibit kopi ini kemudian diuji coba untuk dibudidayakan di lahan pribadi Gubernur Jenderal VOC Willem van Outhoorn di lokasi yang sekarang dikenal dengan sebutan Pondok Kopi, Jakarta Timur. Ternyata, bibit kopi tersebut tumbuh subur dan menghasilkan buah yang bisa dipanen. Biji kopi yang dipanen pertama kali di halaman rumah Sang Gubernur Jenderal tersebut selanjutnya dibawa ke Hortus Botanicus Amsterdam untuk di teliti dan dikembangkan sebagai sumber benih kopi nusantara.
Sayangnya penanaman kopi di kawasan Pondok Kopi ini tak berjalan mulus karena kebun kopi di kawasan tersebut dilanda banjir yang akhirnya merusak tanaman. Kemudian pada 1699, bibit kopi kembali didatangkan namun penanamannya diperluas sampai ke wilayah Jawa Barat. Mulai dari sini, kebun kopi semakin luas dan menjelajah berkembang ke banyak daerah di Indonesia. Tak disangka, ternyata para biolog di Hortus Botanicus Amsterdam kagum dengan kualitas kopi Jawa. Sehingga bagi para pecinta kopi di Eropa dan Belanda pada khususnya saat itu mengenal kopi dengan sebutan A Cup of Java.
Maka seiring berjalannya waktu daerah disekitar budidaya pertama kali tanaman kopi tersebut dihuni banyak penduduk baik orang Belanda maupun Pribumi dengan mendirikan banyak rumah/ pondok disekitar kawasan tersebut. Maka lahirlah istilah pondok kopi untuk penyebutan kawasan tersebut. Namun demikian secara resmi baru pada tahun 1982, Pemkot Jakarta Timur meresmikan nama Kelurahan Pondok Kopi tepatnya pada 17 Januari 1982.
Nama Adalah Spirit
Penamaan suatu tempat pastinya memiliki latar belakang dan spirit penting. Sehingga tidak salah kalau nama adalah doa, harapan dan inspirasi bagi yang mengetahuinya. Fungsi nama menjadi sangat strategis, sehingga banyak nama-nama daerah atau bahkan suatu negara mencerminkan kehendak spirit bagi warga negaranya. Semisal nama Sumedang salah satu kota di Jawa Barat yang berasal dari kata insun medal, insun madangan yang artinya kurang lebih aku lahir untuk memberikan pencerahan.
Atau nama salah satu perfectur di Jepang misalnya Kagoshima yang memiliki jukukan The Kingdom Of sweet potato, yang mencerminkan atau mem-branding sebagai kota/ wilayah penghasil utama ubi jalar di Jepang. Sehingga segala bentuk olahan mulai dari sochu, kue, keripik dan aneka kudapan tersebar dan dijual secara eksotis di sepanjang toko dan supermarket yang ada disana. Maka ekonomi tumbuh, wisata kuliner berkembang dan petani ubi jalar menikmati "cuan" yang berlimpah dan berkelanjutan dengan branding Kaghosima sebagai The Kingdom of sweet potato.
Oleh karena itu, betapa strategisnya penamaan suatu kota atau kabupaten atau publik area dengan menyematkan nama yang inspiratif bagi warganya. Tidak heran kalo ada ritual bagi sebagaian kalangan masyarakat dengan menyajikan bubur merah dan bubur putih serta aneka kudapan ketika memberikan nama bagi sang bayi yang baru lahir. Karena dari nama tersebut sang ayah-bunda menyematkan harapan, doa dan cita-cita agar sang bayi kelak menjadi "lalaki langit lalanang jagat" sehingga berguna bagi bangsa, agama dan rakyatnya.
Sebaliknya penamaan yang asbun (asal bunyi) dan tidak memiliki spirit maka sudah pasti tidak akan memberikan efek apapun apalagi inspirasi dan motivasi untuk berbuat yang terbaik. Bahkan barangkali dengan penamaan yang tidak bermakna maka akan memunculkan apatisme, vandalisme bahkan anarkisme sebagai akibat penamaan yang tidak pada tempatnya.
Mengembalikan Stasiun Pondok Kopi