Habis sahur si Kabayan nggak kemana-mana. Biasanya sahur jam tigaan, jam setengah empat dia langsung ngelayap ke pos ronda bergabung dengan tetangga-tetangganya. Entah sekadar ngobrol atau nonton TV. Tapi kali ini cuaca dingin banget, baru buka pintu saja angin sudah berhembus serasa membekukan tulang.
"Tumben, diam aja di rumah!" sindir Nyi Iteung.
"Dingin. Di rumah saja lah, tidur lagi..." jawab si Kabayan.
"Solat subuh dulu, sana ke masjid, berjamaah!"
"Dingin. Di rumah saja lah, kita berjamaah!"
"Sudah nambah berapa surat mau ngimamin saya?"
"Sudah nambah alkapirun...."
"Lah, bukannya dulu sudah apal. Yang lain dong!"
"Dulu apal, terus lupa. Sekarang sudah apal lagi. Berarti kan surat saya nambah..." jawab si Kabayan.
"Bukan nambah, kalau dari hapal enam berkurang tinggal tiga, dan sekarang jadi empat!" kata Nyi Iteung lagi. "Alhamdulillah saya malah nggak pernah berkurang, buat solat ada lah apal lebih dari dua puluh surat pendek..."
"Kamu kan dulu mesantren, Teung, nggak kayak saya..."
"Hapal surat bukan soal mesantren atau tidak. Ki Umun almarhum dulu juga sering ngimamin solat taraweh, hapalan suratnya banyak. Padahal dia juga nggak mesantren. Sekolah saja tidak. Dia malah bisa ngajarin anak-anaknya ngaji, juga anak-anak tetangganya yang lain..." imbuh Iteung. "Semuanya soal niat dan tekad untuk belajar!"
"Iya, nanti saya belajar. Minimal hapalan surat saya balik lagi jadi enam.."
"Gimana kalau kita punya anak nanti, mau diajarin apa dia!" kata Nyi Iteung lagi.
"Ya kita suruh mesantren lah selain pergi sekolah. Supaya dia lebih pinter dari orangtuanya!" jawab Kabayan.
"Sebelum mesantren atau sekolah, dimana-mana juga diajarin dulu sama orang tuanya!"
"Ya nanti diajarin lah, diajarin puasa pasti dia bisa, karena orang tuanya dua-duanya rajin puasa!"
"Bukan rajin puasa, tapi jarang makan, karena kurang makanan!" kata Nyi Iteung.
"Nah itu, namanya mendidik, sudah dikondisikan lebih dulu!" timpal si Kabayan. "Nanti saya ajarin solat juga. Kalau anak-anak kan nggak usah hapal banyak-banyak suratnya. Yang pendek-pendek saja. Yang penting bacaannya hapal. Sisanya belajar di pesantren atau di sekolahnya.."
"Duit untuk sekolah atau mesantrennya darimana kalau buat makan saja susah?"
"Ya nanti lah dicari, kan kata UTS, Ustad Tatang Somad, nggak usah takut punya anak, karena tiap anak bawa rejekinya masing-masing!"
"Kata UTS juga, jangan suka menunda-nunda. Persiapkan dari sekarang!"
"Hayu atuh, mumpung imsak masih jauh!" Kabayan melirik istrinya sambil cengengesan.
"Bukan itu, saya lagi libur!" Nyi Iteung mendelik. "Sana cari duit yang banyak, jadi kalau nggak bisa mendidik anak langsung, setidaknya bisa nyekolahin yang bener!"
"Yaa nanti lah, segala sesuatu itu ada urutannya. Punya anak itu harusnya kan setelah nikah, bukan punya anak dulu baru nikah. Jadi, mendidik anak itu ya setelah punya anak!"
Iteung mengelus dada. "Kang, tau nggak apa yang akan saya ajarkan kalau kita punya anak?"
"Apa?"
"Belajar sabar!"
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H