"Ini anak-anak nggak ada yang bikin lodong apa ya? Tiap saur pasti saya mepet terus. Sepi..." kata Mang Suhro saat berkumpul di pos ronda seusai sahur.
"Nggak ada Mang, udah nggak musim. Sekarang mah bangun sahurnya pake alarem di hape, bukan pake meriam lodong!" Jawab Kang Jana.
"Kurang mantep Jang. Saya juga pake alarem, tapi cuma nit-nit-nit doang mah, bangun sebentar terus matiin hape, tidur lagi. Malah kesiangan kalau begitu..." tambah Mang Suhro. "Kalau pake meriam lodong kan mantep. Dulu mah malah saling bersahutan antarkampung. Bleng... di Cibangkonol, bleng... dibales dari Cisumpil, bleng lagi dari Narogong. Wah rame. Mau nggak mau kita bangun kalau begitu..."
"Tapi bahaya Mang ngagetin orang. Takutnya ada yang jantungan..." kata Kang Jana lagi.
"Memangnya meriam lodong dilarang juga?" tanya Mang Suhro lagi.
"Setahu saya sih enggak, yang dilarang mah petasan, bukan meriam lodong yang pake karbit. Tapi tetep saja bahaya kalau jam segitu," tambah Kang Jana.
"Terus anak-anak yang keliling bawa tabuh-tabuhan juga sekarang nggak ada lagi ya..." Mang Edon menimpali.
"Kalau di kota mah sudah banyak yang diprotes, katanya mengganggu, termasuk mengganggu yang nggak menjalankan ibadah puasa!" jawab Kang Jana.
"Iya kalau di kota, karena banyak yang non-muslim. Jadi harus menghargai mereka juga karena jam 3 itu jam tidur paling enak. Tapi kalau di sini kan semuanya juga muslim, masak ikut hilang juga!" imbuh Mang Suhro.
"Kalau di sini sih bukan karena diprotes," timpal Kabayan yang juga ada di pos ronda. "Tapi karena anak-anaknya males. Gara-gara tahun lalu serba dilarang, akhirnya tahun ini keterusan."
"Padahal sekarang kan boleh ya, asal pada pake masker dan lain-lain..." kata Mang Edon. "Harusnya diadakan lagi tuh. Biar bulan puasanya berasa lagi kayak dulu..."
"Bener Mang, karena kebetulan di sini semuanya Muslim, nggak ada salahnya tradisi itu diteruskan lagi. Bulan puasa ini kan harus disambut dengan kegembiraan. Sok atuh, diadakan lagi, paling nggak anak-anak yang bangunin sahur itu, pake tabuh-tabuhan, dogdog, angklung, apa saja..." kata Kang Jana. "Asal jangan pakai lodong tiap hari lah, kasian yang kagetan. Meriam lodong mah nanti aja, deket-deket lebaran. Itupun jangan sahur, sore-sore saja pas ngabuburit..."
"Masalahnya, di sini itu bukan soal dilarang atau bukan. Tapi nggak ada anak-anak yang mau bergerak lagi. Masak orang tua lagi yang harus turun!" kata Mang Suhro.
"Nggak apa-apa Mang, ayo kita turun lagi, ajak anak-anak. Nanti kalau sudah jalan ya kita tinggalkan. Tuh kebetulan ada si Ubed. Biar dia yang jadi pemimpinnya, ngajak anak-anak lain!" kata si Kabayan sambil menunjuk si Ubed yang datang ke pos ronda sambil memegangi hapenya.
Setelah diceritakan panjang lebar, Ubed menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa Mang..." jawabnya. "Anak-anak yang lain juga pasti nggak bisa..."
"Kenapa? Kan kita bangunin dulu kamu, terus ajak yang lain keliling, habis itu sahur, tidur deh. Kalian kan nggak sekolah juga kan, pada sekolah onlen?" tanya Kang Jana.
"Bukan soal bangun malemnya Kang, soal itu mah biasa. Tapi kelilingnya itu yang masalah. Apalagi dari jam dua sampe jam empat..." jawab Ubed lagi.
"Kenapa?" tanya Kabayan.
"Itu jam internet malam Kang. Sudah lebih murah, bahkan ada yang gratis, aksesnya cepet juga. Banyak yang sengaja ngerjain peer jam segitu karena lancar. Bisa strimingan bola segala macem, yutuban juga cepet!" jawab Ubed.
Kabayan melirik Kang Jana, "Mungkin ini yang harus diprotes Jang, ngasih bonus kok tengah malam, masak internet murah dan lancar cuma tengah malam saja. Kayak nggak niat banget! Ini namanya mengganggu tradisi sahur!"
Kang Jana garuk-garuk kepala, "Protesnya kemana Kang?"
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H