Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (113) Razia Toko Buku di Tiflis

23 Maret 2021   22:23 Diperbarui: 25 Maret 2021   13:26 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode Awal Vol. III: (101) Digantung Status

Episode Sebelumnya: (112) Cerita Si Kamo dari Markas Tentara

*****

Suatu hari, saat akan menuju Sarang Setan pada waktu istirahat, Soso bertemu dengan si Said Devdariani di depan sekolah. Sebetulnya bukan bertemu, tapi si Said yang memanggilnya.

"Ada kabar buruk..." katanya dengan wajah datar. "Polisi merazia toko-toko buku di seluruh Tiflis. Toko buku milik kawan Yahudi-mu, dan juga toko buku Gege Imedashvili juga kena. Banyak buku-buku yang disita dan entah dibawa kemana...."

Soso melongo, ia memang agak terlambat keluar dari dalam lingkungan sekolah. Tadi ia bertemu dan berbincang singkat dengan Romo Nikolai Makhatadze. "Serius Id, memangnya buku-buku apa saja yang disita?" tanya Soso.

"Banyak, buku-buku sosialisme, Marxisme, dan lainnya. Pokoknya yang dianggap bisa mengganggu keamanan dan ketertiban!" jawabnya.

"Novel-novel masuk?"

"Ya, kalau dianggap berbahaya..."

"Terus, dimana kita bisa dapatkan buku-buku yang asyik lagi kalau begitu?" tanya Soso.

Said menggeleng, "Aku dari toko buku-nya Gege barusan, sudah habis, tak banyak lagi buku-buku asyik yang tersisa. Hanya karya-karya sastra klasik yang, yaah kau tahulah, sebangsanya Shakespeare..."

Soso diam sejenak, "Ya sudah, terimakasih infonya. Aku coba mampir juga ke sana, tanya-tanya..."

Said mengangguk lalu meninggalkannya, dan masuk ke dalam lingkungan sekolah, meski istirahat masih cukup panjang.

Gara-gara informasi itu, Soso mengurungkan niatnya ke Sarang Setan. Ia malah berjalan lurus ke arah lapangan Yerevan dan berbelok. Kemana lagi kalau bukan mampir ke toko buku Pak Yedid yang sudah agak lama tak dikunjunginya.

Saat Soso tiba, lelaki Yahudi itu tampak duduk lesu di balik mejanya. Rak-rak bukunya tampak banyak yang kosong.

Pak Yedid menyambutnya tanpa semangat. "Habis sudah usahaku So..." katanya, saat Soso duduk di depannya. "Sekarang saja sudah rugi banyak, karena buku yang disita jumlahnya tak sedikit, nyaris sepertiga buku yang ada di sini."

"Nggak diganti, Pak?"

Pak Yedid menggelengkan kepalanya, "Boro-boro. Aku malah diancam, kalau berani lagi menjual atau menyewakan buku-buku itu, aku bisa dihukum..." jawabnya. "Apalagi yang bisa kulakukan? Setelah ini tampaknya toko bukuku akan sepi, atau mungkin malah bangkrut!"

Soso menghela nafas. Ia teringat informasi yang didapat oleh si Kamo saat ia menemui pamannya yang tentara itu. Rupanya betul kabar soal adanya badan sensor di Tiflis itu. Dan sekarang mereka mulai bergerak.

"Kan masih banyak buku yang lain, Pak..." kata Soso, meski ia sendiri tahu, akhir-akhir ini buku-buku begitu memang laris dan dicari, menggeser minat pembaca dari sastra. Sastra pun yang laris ya sastra yang kritis.

"Buku macam apa lagi?" kata Pak Yedid, "Dulu aku senang waktu kau bikin diskusi di sini, terus toko bukuku mulai ramai lagi, ya buku-buku seperti itulah yang ramai peminatnya. Kalau yang lain-lain, kau tahu sendiri lah..."

"Terus, rencana Bapak?"

"Entahlah..." katanya. "Anak-anakku sudah berkeluarga semua. Mungkin sudah saatnya aku memikirkan usaha lain, atau mungkin kembali ke Batumi ke tempat asalku dulu. Di sana mungkin masih bisa bertani atau apalah..."

"Memangnya Bapak masih bisa bertani dan masih punya lahan?"

Pak Yedid tersenyum pahit, "Itu juga. Tanganku ini sudah terlalu lembek, tak pernah bekerja keras lagi. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Kalau tetap di sini dan tanpa penghasilan, ya susah juga, mau makan apa?"

Soso terdiam. "Apa yang bisa saya bantu, Pak?"

Lelaki itu menggeleng, "Kali ini tampaknya tak ada lagi yang bisa kaulakukan untuk membantuku. Diskusi buku di sini takkan lagi mempan. Malah akan membuatku tambah diawasi!"

"Biar saya pikirkan dulu, Pak!" kata Soso.

"Terimakasih, tapi jangan terlalu memaksa. Ada hal-hal yang mungkin di luar kuasamu..." katanya.

*****

Toko bukunya Gege Imedashvili juga bernasib sama. Ia hanya sedikit lebih beruntung karena masih bisa menjalankan usahanya yang lain, kedai kopinya.

"Mungkin aku akan membalikkannya," kata Gege. "Kalau sebelumnya ini adalah toko buku yang menyediakan minuman, besok-besok mungkin aku akan menjadikannya kedai minuman yang menyediakan buku-buku..."

"Mau membuatnya menjadi dukhan?[1]" tanya Soso setengah bercanda.

Gege tersenyum pahit, "Barangkali! Kalau niatku membuat orang-orang menjadi lebih cerdas tak kesampaian, kenapa tidak kubalikkan saja sekalian, kubuat orang-orang cerdas menjadi gila!"

"Sori, Bang, bukan maksud saya begitu..." kata Soso.

"Aku ngerti..." sahut Gege. "Dulu aku mundur dari kelompok pergerakan karena merasa ada hal yang harus dibangun dulu sebelumnya. Aku berpikir, sebelum bergerak, otak orang-orang itu harus diisi dengan berbagai pengetahuan. Jadi gerakannya bukan sekadar gerakan emosional, tapi gerakan yang rasional. Soal cara, itu kan usahanya saja, selama tujuannya sama..."

Soso terdiam, ia bisa merasakan kegundahan lelaki itu. Ia tahu, Gege bukan sekadar mencari makan dengan membuka toko buku itu, tak seperti Pak Yedid yang memang menjadikannya mata pencaharian utama. Gege punya misi dan tujuan lain.

"Kira-kira penyebabnya apa, Bang, kok bisa sampai begini?"

"Mungkin saja Tsar yang baru ini mau mengubah arah kebijakannya..." jawab Gege. "Kalau para pendahulunya kan bersemangat untuk perluasan wilayah, sekarang mungkin maunya memperkuat yang sudah ada. Mungkin pula ia melihat celah perluasan wilayah itu sudah semakin sulit. Ke barat, kekaisaran lain juga sudah banyak yang kuat, ke selatan juga makin berat. Apalagi mulai banyak gerakan-gerakan yang berniat menggulingkannya..."

"Seberapa besarnya sih gerakan-gerakan itu?" tanya Soso lagi. Ia memang sudah sering mendengar soal itu, tapi ia masih tak terlalu yakin kalau gerakan itu akan sangat membahayakan posisi Tsar.

"Ya semakin meluas, soal kuatnya entahlah..." imbuh Gege. "Semakin banyak kaum terpelajar, semakin kuat gagasan itu, dan semakin berbahaya bagi Tsar, karena yang dihadapinya bukan musuh yang jelas, tapi samar. Apalagi gerakan itu sudah mulai muncul di hampir seluruh Eropa. Kaum-kaum ini sudah tidak lagi berpikir soal wilayah, tapi bagaimana wilayah yang ada sekarang dikelola dengan semangat yang sama. Musuh-musuh mereka bukan lagi orang di wilayah lain, tapi di wilayah mereka masing-masing!"

"Apa di wilayah Rusia ini sudah begitu?"

"Jauh sebelum sampai ke Tiflis, di kota-kota besar di sana sudah. Apalagi St. Petersburg. Itu kandangnya para pemikir yang kontra-Tsar," tambah Gege. "Kudengar sudah banyak kaum pemikir yang ditangkap, bahkan dipenjara tanpa diadili dulu. Ada lebih dari 40 orang yang ditangkap. Salah satunya lumayan terkenal keras dengan tulisan-tulisannya, namanya Vladimir Ulyanov,"[2] jawab Gege.

"Memangnya, apa yang ditulis atau dikatakannya?" Soso makin tertarik.

"Aku belum pernah membaca tulisannya. Dia membuat publikasi ilegal dan dibagikan kepada para buruh sambil menghasutnya untuk melakukan mogok kerja," jawab Gege. "Tapi kalau dari koran-koran sih, dia menghasut untuk menggulingkan Tsar untuk mendirikan negara proletar. Kalau kata kawanku yang dulu juga ikut Narodnik, ia juga mengkritisi gerakan sosialis-agraria yang dikembangkan oleh Narodnik. Bagian mana yang dikritik, aku juga belum tahu!"

Entah kenapa, Soso menjadi tertarik dengan orang yang disebut oleh Gege barusan. Tertarik untuk mengetahui apa pikiran atau gagasannya. "Siapa sih sebetulnya dia?"

Gege menggeleng. "Yaa kau cari lah di koran-koran Rusia. Itupun mungkin sudah dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangi. Koran yang sampai ke sini kan pastinya sudah disensor.

"Ah, saya malah jadi penasaran," kata Soso. "Sayangnya sekarang pasti malah tambah susah mendapatkannya ya.."

*****

Soso mulai menghubungkan peristiwa-peristiwa itu dengan informasi-informasi yang didapatkannya. Memang sepotong-sepotong. Tapi justru itulah yang makin membuatnya penasaran. Apa yang sebetulnya tengah terjadi di Tiflis, seluruh wilayah Kekaisaran Rusia, Eropa, atau bahkan di dunia ini.

Demo buruh di Tiflis ditangani oleh tentara. Pentolan-pentolannya, termasuk si Lado cs menghilang, menurut info si Kamo, ditahan di Benteng Metheki. Setelah itu, ada biro sensor di Tiflis, lalu toko-toko buku mulai dirazia. Sementara nun jauh di sana, di St Petersburg --seperti cerita Gege---para aktivis juga ditangkapi dan dipenjara.

Tiba-tiba saja ia merasa sangat kecil, bodoh, dan tak tahu apa-apa.

Masalahnya, bagaimana ia bisa mencari tahu tentang semua itu?

*****

BERSAMBUNG: (114) Zakaria Chichinadze

Catatan:

[1] Kedai minuman, tapi biasanya yang dijual adalah minuman-minuman yang bisa memabukkan

[2] Kelak akan dikenal sebagai Vladimir Lenin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun