Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (106) Catatan yang Hilang

16 Maret 2021   11:40 Diperbarui: 17 Maret 2021   20:14 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal Volume III: (101) Digantung Status

Episode Sebelumnya: (105) Perginya Sang Pelindung

*****

Resmi sudah Romo Germogen diangkat menjadi rektor seminari menggantikan Romo Serafim yang wafat. Banyak pergeseran-pergeseran posisi lainnya juga. Satu yang tetap adalah David Abashidze alias Romo Dmitri alias Mister Black Spot masih tetap menjadi kepala pengawas atau disebut dengan Inspektur Dmitri. Betapa bangganya lelaki Georgia yang sangat dibenci anak-anak karena bersikap sangat Rusia itu.

Di kalangan guru-guru, tak ada penambahan baru setelah masuknya Romo Nikolai Makhatadze, guru sejarah yang menjadi orang Georgia kedua di seminari selain Inspektur Dmitri. Bagi para siswa, termasuk Soso, Romo Niko adalah panutan, bukan saja karena ia orang Georgia yang masih terlihat Georgianya, tapi juga karena ia adalah lulusan Seminari Tiflis beberapa tahun sebelumnya yang kemudian diangkat menjadi guru. Selain itu, ia juga adalah seorang lelaki yang rendah hati, tipikal pengabdi Tuhan yang dibayangkan oleh banyak siswa.

Adalah Romo Serafim yang dulu mempromosikannya menjadi guru setelah magang di banyak seminari lain sebelum kembali ke almamaternya. Ia pernah magang sebagai guru di Seminari Kiev yang dianggap lebih 'senior' ketimbang Seminari Tiflis.

Banyak yang menentang masuknya Romo Nikolai ke Seminari Tiflis. Mereka yang menentang umumnya menganggap orang Georgia (guru) tak sepatutnya mengajar orang Georgia (siswa), karena akan bersikap terlalu lembek atau terlalu berpihak kepada siswa. Seharusnya, katanya, orang Georgia seperti Romo Nikolai itu mengajar di pelosok Rusia lain, mungkin di Ukraina, Azerbaijan, Finlandia, atau di manapun. Tapi Romo Serafim berpikir sebaliknya. Justru orang Georgia sebaiknya diajar oleh orang Georgia pula, agar siswa merasa lebih nyaman.  

Ini jelas merupakan perbedaan pandangan yang sangat mencolok, bukan hanya soal guru, tapi soal arah pengajaran. Romo Serafim yang dianggap sebagai angkatan tua, masih melihat seminari sebagai institusi pendidikan gereja yang murni berorientasi agama. Sementara para guru generasi baru, menganggap bahwa seminari bukan saja institusi yang berorientasi pada agama, tapi juga negara, sehingga doktrin-doktrin negara (Kekaisaran Rusia) juga harus menjadi bagian pelajaran. Apalagi, menurut mereka, gereja itu tak akan berkembang dan bahkan bertahan tanpa campur tangan dan bantuan, juga perlindungan dari Tsar.

Mereka, generasi baru itu, mengkhawatirkan akan munculnya sekte-sekte baru, atau pecahan-pecahan dari Gereja Rusia yang mengganggu perluasan misi keagamaan, dan juga mengganggu kekaisaran.[1]

Dengan meninggalnya Romo Serafim, tampaknya, habis sudah pengaruh generasi tua itu. Entahlah, apakah Romo Nikolai itu nantinya akan menjadi penerus pemikiran generasi tua, atau bisa jadi ia tidak berdaya melawan arus di sekitarnya. Apalagi ia hanyalah 'anak bawang' di antara guru-guru lain di seminari itu. Nyaris tak punya pengaruh, apalagi kekuasaan. Ia bahkan terlihat sendiri atau bahkan mungkin dikucilkan.

Ini berbeda dengan Romo David Abashidze alias Inspektur Dmitri itu. Ia Georgia totok, tetapi mengikuti arus besar, ia sepaham dengan guru-guru dan pengawas lain dari kelompok generasi muda yang sangat pro-Tsar. Entah karena pandangannya, atau hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Tak ada yang tahu, yang jelas anak-anak menyebutnya sebagai 'anjing Rusia' karena begitu membenci apapun yang terkait dengan Georgia di lingkungan seminari itu.

Ada juga guru-guru lain yang lebih netral, dalam arti tidak menentang dimasukkannya kurikulum pro-Tsar, tetapi tetap menjaga nilai-nilai religi. Di antara mereka yang juga tak terlalu banyak ini, salah satunya adalah Andrey Subutov, guru kelas Soso di tahun pertama. Lelaki asal Siberia itu setuju dengan penghormatan pada Tsar sebagai pelindung gereja, tetapi tetap memandang pendidikan agama sebagai fokus utama di seminari itu.

Jadi tampaknya, menurut pengamatan Soso sendiri, di kalangan generasi muda itu juga ada perpecahan, setidaknya pergeseran. Keduanya sepakat soal menghormati kekaisaran, tapi berbeda fokus. Orang seperti Romo Subutov tetap menjadikan seminari sebagai institusi pendidikan agama di bawah gereja yang menghormati Tsar, sementara yang lainnya mulai mengalihkan seminari menjadi institusi kaderisasi pro-Tsar yang mulai mengesampingkan agama. Dua pentolannya yang paling terlihat ya itu, Romo Germogen dan Inspektur Dmitri.

Hilangnya generasi tua terakhir --Romo Serafim---dan tak berdayanya Romo Nikolai, bagi Soso itu adalah ancaman terhadap dirinya sendiri. Bukan berarti bahwa ia adalah seorang alim yang benar-benar hanya ingin belajar agama seperti kawannya si Peta. Tidak. Saat ia mengadukan soal 'atheisme' kepada Romo Serafim sebelum meninggal, tak lebih ia sebetulnya menceritakan dirinya sendiri!

Begitulah memang dirinya, dalam ritual doa, ia tak pernah benar-benar berdoa. Kalaupun ia merapal kalimat-kalimat doa, juga hanya di mulutnya saja, tak sungguh-sungguh, tak sampai ke hatinya. Mempelajari kitab-kitab suci, bagi Soso sama saja dengan ia belajar yang lain, sekadar tahu dan hafal, tapi ya itu, tak sampai ke hatinya.

Tapi ia juga tak menyebut dirinya sebagai atheis. Ia tetap percaya bahwa Tuhan itu ada. Sesekali ia juga 'berbicara dengan-Nya' tapi bukan berdoa atau berkeluh-kesah. Seolah ia berbicara dengan dirinya sendiri saja, atau tak lebih menempatkan Tuhan sebagai 'teman ngobrolnya' semata. Apakah itu membuatnya menjadi atheis? Ia tak merasa begitu.

Hilangnya orang seperti Romo Serafim menjadi ancaman baginya, karena ia tak punya lagi celah untuk mengadu domba dua generasi itu untuk tujuan yang menguntungkan dirinya sendiri. Dengan adanya Romo Serafim, ia menggunakan celah 'agama' untuk berlindung diri dari ancaman hukuman 'berbau Tsar' yang diberlakukan di sekolah itu.

Selama ini, terutama akhir-akhir ini --sebelum Romo Serafim meninggal---hal itu masih manjur. Tapi sekarang? Kubu pro-Tsar berkuasa. Bukan hanya berkuasa, tapi juga tinggal satu-satunya. Tak ada lagi pengimbangnya yang sepadan!

Dan itu terbukti beberapa hari setelah Romo Germogen resmi menjadi rektor. Razia kamar dilangsungkan lagi, dan lebih keras. Tak ada ampun untuk pelanggaran apapun, dari yang kecil hingga yang besar. Seorang anak dikeluarkan karena menyimpan sebuah pin kebangsawanan Georgia di dalam saku pakaiannya yang disimpan di kamar.

Soso sendiri, bersama puluhan siswa lainnya yang rambutnya mulai panjang, digelandang ke lapangan, lalu dicukur sekenanya. Soso yang mulai menyukai rambutnya yang lebih panjang harus menahan jengkel karena cukuran ngawur itu. Pergi ke tukang cukur langgananya, Nunut Suyuncu, orang Turk itu, malah diketawain. "Gundulin aja sekalian ya, susah beresinnya nih..."

Tapi Soso ogah gundul. "Beresi saja Kang, bagian yang itu biarin aja!" kata Soso.

Akhirnya, meski sekilas tampak rapi, dan dua bekas gunting dalam yang membuat kepalasnya seolah pitak. Hadeuh... bikin gak enak dipandang aja, rutuknya.

Selain itu, Inspektur Dmitri alias Mister Black Spot, kembali berulah. Dengan tongkat kayu yang baru --karena yang lama hilang dicuri si Ararat di Bazaar Armenia atas perintah Soso---ia mulai bertindak keras lagi. Setiap pagi, setelah sarapan dan sebelum masuk kelas, di lapangan berjejer puluhan anak yang menjalani hukuman karena berbagai pelanggaran, terutama yang ringan, karena yang berat hukumannya berbeda.

Para pengawas, anak buah Inspektur Dmitri, kemana-mana membawa catatan. Siapapun yang membuat pelanggaran, langsung dicatat, selain tentu saja hukuman langsung atau hukuman yang harus melewati sidang.

Lebih dari itu, ada kebijakan lain, merazia tempat-tempat di luar lingkungan sekolah, dan menerapkan hukuman langsung di sana. Tiga siswa yang kedapatan 'nyasar' di kawasan prostitusi sekitar Bazaar Armenia, disuruh push up di sana (karena tak terbukti ngapa-ngapain, hanya berkeliaran saja di sekitar situ). Bayangkan saja kalau kedapatan sedang ngapa-ngapain, mungkin juga langsung dipulangkan.

Toko Buku Merah Gege Imedashvili, beberapa kali juga disatroni. Siswa yang membaca buku terlarang memang tidak dihukum langsung, tapi dicatat. Kawan Soso yang sudah tak akrab lagi, si Said Devdariani, pernah kena razia itu.

Untunglah, Soso dan kawan-kawannya sudah punya markas. Mereka sudah jarang membaca dan nongkrong di toko buku itu, hanya meminjam atau membelinya, lalu membawanya ke Sarang Setan. Membaca dan menyimpannya pun di sana.

Dan semua itu makin intens menjelang ujian semester.

Dalam sebuah kumpul-kumpul di Sarang Setan, Soso terpaksa harus menerapkan strategi pengamanan.

"Jangan pergi ke sini rombongan, berangkat satu-satu. Kalau perlu jalannya memutar dulu, jangan langsung..." katanya. "Jangan berlama-lama di toko buku, pinjam atau beli, lalu bawa ke sini. Hati-hati, jangan sampai papasan dengan anak buah Mister Black Spot. Kalau ketahuan, jangan sebut-sebut tempat ini!"

Tak ada yang membantah, semua tahu situasinya.

*****

Beberapa hari menjelang ujian, Abel Yenukidze, anak buah Soso kedapatan membawa bukunya Leo Tolstoy dari toko buku Gege Imedashvili. Tadinya hanya dicatat saja oleh pengawas yang memergokinya, tapi karena si Abel keceplosan misuh-misuh, buku itu dirampas dan disobek-sobek. Catatannya ditambah, bukan hanya 'membaca buku terlarang' tetapi melawan pengawas.

Ia datang ke Sarang Setan dengan muka merah padam menahan amarahnya. "Ini tak bisa dibiarkan!" katanya kepada teman-temannya, "Kalau catatan itu masuk, aku jelas akan dihukum. Tapi bukan itu yang kutakutkan. Aku bukan orang yang pandai. Kalau sampai catatan itu dipakai untuk mengurangi nilai-nilaiku, habislah aku. Aku hanya dibiayai orangtuaku untuk tahun ini saja, tahun depan aku harus dapat beasiswa. Kalau tidak, aku bisa pulang kampung!"

Soso yang mendengarnya kasihan juga. "Kau ikut aku!" katanya.

Anak baru itu, yang baru akan mengikuti ujian pertamanya tak berkata apa-apa selain mengikutinya. Soso membawanya ke Bazaar Persia. Dan untunglah, orang yang dicarinya langsung ketemu, si Ararat, anak Armenia yang magang jadi pembantu bapaknya menjadi tukang servis sepatu.

Dua hari sebelum ujian dimulai, di sekolah beredar bisik-bisik; para pengawas luar sekolah, banyak yang kehilangan barangnya saat berpatroli. Dan bukan hanya barang pribadinya yang lenyap --yang sebetulnya tak seberapa---tapi catatan-catatan pelanggaran yang mereka bawa juga lenyap!

*****

BERSAMBUNG: (107) Menelusuri Asal-usul

Catatan:

[1] Belakangan hal ini terbukti ketika banyak wilayah yang melepaskan diri dari Rusia juga 'melepaskan diri' dari Gereja Orthodox Rusia, misalnya dengan munculnya Gereja Orthodox Georgia, hingga yang terbaru adalah Gereja Orthodox Ukraina (2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun