Ada juga guru-guru lain yang lebih netral, dalam arti tidak menentang dimasukkannya kurikulum pro-Tsar, tetapi tetap menjaga nilai-nilai religi. Di antara mereka yang juga tak terlalu banyak ini, salah satunya adalah Andrey Subutov, guru kelas Soso di tahun pertama. Lelaki asal Siberia itu setuju dengan penghormatan pada Tsar sebagai pelindung gereja, tetapi tetap memandang pendidikan agama sebagai fokus utama di seminari itu.
Jadi tampaknya, menurut pengamatan Soso sendiri, di kalangan generasi muda itu juga ada perpecahan, setidaknya pergeseran. Keduanya sepakat soal menghormati kekaisaran, tapi berbeda fokus. Orang seperti Romo Subutov tetap menjadikan seminari sebagai institusi pendidikan agama di bawah gereja yang menghormati Tsar, sementara yang lainnya mulai mengalihkan seminari menjadi institusi kaderisasi pro-Tsar yang mulai mengesampingkan agama. Dua pentolannya yang paling terlihat ya itu, Romo Germogen dan Inspektur Dmitri.
Hilangnya generasi tua terakhir --Romo Serafim---dan tak berdayanya Romo Nikolai, bagi Soso itu adalah ancaman terhadap dirinya sendiri. Bukan berarti bahwa ia adalah seorang alim yang benar-benar hanya ingin belajar agama seperti kawannya si Peta. Tidak. Saat ia mengadukan soal 'atheisme' kepada Romo Serafim sebelum meninggal, tak lebih ia sebetulnya menceritakan dirinya sendiri!
Begitulah memang dirinya, dalam ritual doa, ia tak pernah benar-benar berdoa. Kalaupun ia merapal kalimat-kalimat doa, juga hanya di mulutnya saja, tak sungguh-sungguh, tak sampai ke hatinya. Mempelajari kitab-kitab suci, bagi Soso sama saja dengan ia belajar yang lain, sekadar tahu dan hafal, tapi ya itu, tak sampai ke hatinya.
Tapi ia juga tak menyebut dirinya sebagai atheis. Ia tetap percaya bahwa Tuhan itu ada. Sesekali ia juga 'berbicara dengan-Nya' tapi bukan berdoa atau berkeluh-kesah. Seolah ia berbicara dengan dirinya sendiri saja, atau tak lebih menempatkan Tuhan sebagai 'teman ngobrolnya' semata. Apakah itu membuatnya menjadi atheis? Ia tak merasa begitu.
Hilangnya orang seperti Romo Serafim menjadi ancaman baginya, karena ia tak punya lagi celah untuk mengadu domba dua generasi itu untuk tujuan yang menguntungkan dirinya sendiri. Dengan adanya Romo Serafim, ia menggunakan celah 'agama' untuk berlindung diri dari ancaman hukuman 'berbau Tsar' yang diberlakukan di sekolah itu.
Selama ini, terutama akhir-akhir ini --sebelum Romo Serafim meninggal---hal itu masih manjur. Tapi sekarang? Kubu pro-Tsar berkuasa. Bukan hanya berkuasa, tapi juga tinggal satu-satunya. Tak ada lagi pengimbangnya yang sepadan!
Dan itu terbukti beberapa hari setelah Romo Germogen resmi menjadi rektor. Razia kamar dilangsungkan lagi, dan lebih keras. Tak ada ampun untuk pelanggaran apapun, dari yang kecil hingga yang besar. Seorang anak dikeluarkan karena menyimpan sebuah pin kebangsawanan Georgia di dalam saku pakaiannya yang disimpan di kamar.
Soso sendiri, bersama puluhan siswa lainnya yang rambutnya mulai panjang, digelandang ke lapangan, lalu dicukur sekenanya. Soso yang mulai menyukai rambutnya yang lebih panjang harus menahan jengkel karena cukuran ngawur itu. Pergi ke tukang cukur langgananya, Nunut Suyuncu, orang Turk itu, malah diketawain. "Gundulin aja sekalian ya, susah beresinnya nih..."
Tapi Soso ogah gundul. "Beresi saja Kang, bagian yang itu biarin aja!" kata Soso.
Akhirnya, meski sekilas tampak rapi, dan dua bekas gunting dalam yang membuat kepalasnya seolah pitak. Hadeuh... bikin gak enak dipandang aja, rutuknya.