Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Resign: Melawan Bosan dan Godaan Tantangan Baru

14 Maret 2021   16:22 Diperbarui: 14 Maret 2021   16:33 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: forbes.com

Jauh sebelum menyelesaikan pendidikan S1 saya, di Universitas Hasanuddin Makassar, saya sudah nyambi kerja. Ada yang statusnya paruh waktu dan ada juga yang penuh. Sesuai dengan minat dan jurusan saya, Jurnalistik, umumnya pekerjaan yang saya ambil itu ya berhubungan dengan media massa.

Tahun 97 ketika saya masuk tahun ketiga kuliah, beruntung mendapatkan kesempatan untuk menjadi kontributor (koresponden) majalah remaja ibukota untuk liputan sekitar Makassar. Kebetulan, majalah itu masih sekeluarga dengan Kompasiana, majalah HAI, yang sekarang sudah berhenti cetak dan masuk jalur daring.

Tentu saja bisa disambi, karena tak setiap hari. Mingguan seperti jangka waktu terbit majalahnya pun tidak. Kalau ada permintaan liputan, baru bergerak. Atau kadang membuat liputan mandiri yang itu juga belum tentu akan dimuat. Tak apa, namanya juga belajar.

Pulang KKN tahun 98 bersamaan dengan bergulirnya reformasi dan mulai tumbuhnya media-media cetak baru seiring dengan dilonggarkannya --sampai akhirnya dicabut---ketentuan mengenai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), saya bergabung dengan sebuah tabloid lokal. Tak pake acara melamar, karena pengelolanya salah satu dosen saya, dan banyak jajaran redaksinya adalah para senior saya di kampus. Posisi saya juga masih belum lulus, meski tak ada lagi kuliah, tinggal nulis skripsi yang mendadak malasnya minta ampun.

Sajian tabloid itu adalah ekonomi dan bisnis. Sebuah bidang yang bukan habitat saya. Saya tak punya bekal pengetahuan soal itu. Karena hanya menjadi anak bawang dengan liputan ringan, saya mulai berpikir untuk pindah haluan ke media yang lebih sesuai.

Tapi dosen saya yang juga pimred melarang. Setelah diskusi panjang, akhirnya saya dipercaya untuk membuat 'adik' dari tabloid itu. Berbekal pengalaman menulis yang berkaitan dengan remaja, saya mengusulkan membuat tabloid remaja. Dan disetujui.

Syaratnya, saya mengurus sendiri SIUPP-nya, mencari pasukan sendiri, mengelola isinya sendiri, dan hanya akan dibekali modal cetak. Tanpa gaji dulu. Akhirnya lahirlah Tabloid Warna Remaja, tahun 1999. Saya memegang jabatan Redaktur Pelaksana, Pimrednya ya dosen saya itu, meski saya mengomandoi semua operasional.

Tujuh orang teman, yang kebanyakan adik angkatan di kampus direkrut. Saya jelaskan, tak ada gaji. Itu kerja 'sukarela' meski penerbitannya resmi, dicatat oleh negara. Tak ada yang keberatan, semua semangat. Maka terbitlah edisi perdana. Sampulnya diisi foto seorang gadis SMA nan ayu, hasil hunting saya dan fotografer saya. Tak dinyanya, si gadis kelak menjadi salah satu selebriti terkenal di tanah air yang wara-wiri membintangi banyak sinetron; Lyra Virna.

Sayangnya, meski sambutan pasar lumayan bagus karena kita bergerilya menjualnya ke sekolah-sekolah (SMA) se-Sulawesi Selatan, umur tabloid itu tak panjang. Biaya cetak dan operasional tak tersedia lagi. Investor yang berjanji menyuntikan dana, tak kunjung menepati janjinya. Tabloid itu bubar dengan menyisakan kebanggaan bagi seluruh pasukannya, termasuk saya sendiri.

Selesai dengan tabloid itu, dan masih belum lulus kuliah, saya diajak banting setir, meski tak terlalu tajam. Ada tawaran untuk menjadi analis media pada sebuah LSM media yang mendapatkan suntikan dana dari luar negeri untuk proyek-proyek demokratisasi media. Yang mengajak, tak lain adalah 'anak buah' di tabloid remaja tadi.

Bersamanya, saya menjadi ujung tombak kegiatan LSM itu. Pekerjaannya membuat analisis berbagai jenis berita dan beragam media. Selain itu menyelenggarakan berbagai pelatihan bagi jurnalis berbagai tema dengan beragam pendana dari luar.

Ini barangkali pekerjaan paling menyenangkan yang pernah saya alami sampai saat ini. Saya dan Ludhy, kawan saya itu, punya ruangan khusus yang boleh diberantakin. Nyetel kaset keras-keras, saluran internet lancar. Yang penting, pekerjaan beres. Saya malah sekalian tidur di kantor karena memang sebelumnya anak kos.

Gajinya juga lebih dari cukup. Tahun pertama, 300 ribu sebulan. Tahun kedua, gajinya naik lagi, menjadi 500 ribu per bulan. Angka yang sangat besar saat itu. apalagi buat mahasiswa yang jomblo seperti saya. Itu masih belum ditambah dengan honor penyelenggaraan kegiatan yang hampir tak putus-putus. Belum lagi pelatihan di mana-mana yang membuat saya sering melakukan perjalanan ke luar kota.

Mungkin gara-gara itu, kuliah saya makin kedodoran. Padahal tinggal skripsi saja. Akhirnya, ketika waktu sudah mepet, dan nyaris ditendang dari kampus karena sudah hampir tujuh tahun, skripsi selesai juga. Saya jadi sarjana, dan sudah punya pekerjaan dengan penghasilan yang lebih dari lumayan.

Tahun 2001 saya mulai bimbang. Pekerjaan saya di LSM itu memang nyaman, kerjanya santai, pakaian bebas, makan gratis, tidur di situ, penghasilan lebih dari cukup. Tapi ada saya merasa itu bukan pekerjaan impian saya. Cita-cita saya --waktu itu---adalah kerja di sebuah media massa besar di ibukota.

Dengan berat hati, saya mengundurkan diri (resign), alasannya, ada pembukaan lowongan di sebuah media besar di Jakarta. Bos-bos melarang, "Jangko mundur, pergi saja dulu, nanti kalau diterima baru mundur. Kalau tidak, balik lagi saja!" kata bos tertinggi di kantor.

Meski diongkosi, saya berangkat ke Jakarta dengan membawa semua barang saya. Tujuh tahun mengembara di Makassar, akhirnya harus disudahi. Setidaknya begitu yang saya pikir. Percaya diri saya bisa diterima di media itu. Dan memang begitu kenyataannya. Saya lapor bos, kalau saya tak akan kembali karena sudah diterima. Mereka tak bisa apa-apa. Saya hanya diminta untuk tetap membantu pekerjaan yang bisa dikerjakan dari jauh.

Sayangnya, meski sudah berada di media besar di ibukota, dekat pula dengan kampung orang tua di Ciamis, tiga bulan kemudian saya mendapat kabar 'buruk.' Saya akan ditempatkan di Kupang, NTT! Duh, baru saja menikmati suasana ibukota, kok harus 'dibuang' ke tempat yang jauh lagi. Mimpi menaklukkan ibukota terancam. Saya galau.

Putusan itu tak bisa ditawar. Dan pilihan saya adalah mundur. Biarlah tidak bekerja di media besar, yang penting di Jakarta. Untungnya, tak lama menganggur, karena banyak senior kampus yang sudah mapan di Jakarta. Berbekal 'reputasi' saya diajak bergabung dengan sebuah majalah yang baru dirintis. Di situ, karena saya juga menguasai desain grafis termasuk lay out majalah, saya kerja rangkap, sebagai reporter dan juga desainer grafisnya.

Meski juga penghasilannya lumayan, bahkan dikasih kendaraan dinas, sepeda motor yang boleh saya bawa pulang ke kosan, saya mulai berpikir untuk mencari tantangan baru. Industri televisi begitu menggoda saat itu. Banyak adik-adik angkatan yang datang ke Jakarta dan bergabung dengan stasiun televisi yang makin banyak. Melihat mereka bekerja, wara-wiri kemana-mana, sesekali nongol di TV, kok kayaknya asyik.

Saya merevisi cita-cita saya. Saya bertekad ingin masuk dunia televisi. Dan saat itu, berpikir bahwa itu akan menjadi karir saya terakhir jika diterima. Saya pun mulai mencari jalan untuk bisa bergabung dengan pekerjaan impian itu.

Sampai akhirnya, kesempatan itu datang. Sebuah stasiun TV swasta yang cukup ternama, yang baru saja mendapatkan kontrak untuk penyiaran penyelenggaraan Piala Dunia tahun 2006 (di Jerman), membuka lowongan. Seorang kawan yang sudah lebih dulu bergabung mengajak saya. Saya langsung mengiyakan, mundur dari tempat lama dan langsung bergabung tanpa proses rekruitmen.

Meski judulnya kerja di TV, saya tak pernah nongol di depan kamera. Bahkan tugas saya jauh dari penyiarannya, melainkan menjadi pengelola media online yang sengaja dibentuk untuk mendukung penyelenggaraan siaran Piala Dunia itu. Barulah setelah hajatan bola itu dimulai, saya ditarik ke belakang panggung, menyediakan berbagai materi untuk tayangan langsung dan tayangan pendukung, sambil tetap mengelola laman bola yang dikerjakan sebelumnya.

Entah kenapa, ketika mimpi saya itu sudah setengah tercapai (maunya sih kerja di TV tapi nongol, bukan di belakang panggung saja), saya malah dilanda ragu. Saya justru tak melihat bekerja di TV itu sebagai pekerjaan yang bener-bener saya inginkan. Terlalu menguras tenaga dan waktu. Ada banyak hal yang sebelumnya bisa saya lakukan, tak bisa lagi dikerjakan. Saya mulai berhenti menulis cerpen, novel, dan hobi yang lain-lain, bahkan menikmati me time saja rasanya sudah makin susah.

Terus mau ngapain kalau saya mundur? Mendadak saya kangen dengan situasi kerja di LSM itu. Serius tapi santai, punya banyak waktu untuk hal yang lain-lain. Tapi kembali ke Makassar, ke LSM itu juga tak masuk dalam pilihan.

Bertemulah saya dengan seorang kawan yang sudah menyelesaikan S2 dan menjadi dosen. Kok kayaknya asyik. Tanpa pikir panjang lagi, saat masih mengurusi hajatan Piala Dunia itu, saya mendaftar masuk kuliah lagi. Gaya-gayaan, daftar di Universitas Indonesia. Tak yakin sebetulnya, wong ujian tertulis saja dikerjakan setengah ngantuk. Ujian di Depok, saya masih di Mangga Besar, ngurusin pertandingan semifinal yang sampai subuh. Begitu selesai langsung bawa motor ke Depok untuk ujian. Jangankan belajar, mandi dan gosok gigi pun tidak, hehe....

Ternyata lulus. Saya resign dari TV itu. Kebetulan hajatan Piala Dunia juga sudah usai. Saya jadi mahasiswa lagi setelah lima tahun sejak lulus, dan hampir delapan tahun sejak mesuk kelas terakhir. Untuk menopang biaya, saya bergabung dengan Komisi Penyiaran Indonesia, bukan sebagai pegawai tetap, tapi masuk tim kajian isi siaran.

Kuliah selesai tepat waktu, empat semester. Bukan karena pinter, tapi karena tak mau lagi bayar SPP yang mencekik leher. Eh, datang sebuah tawaran menarik; menjadi dosen, PNS, di sebuah universitas di Yogyakarta. Tak panjang pikir, berangkaaat... dan, ya begitulah, sejak 2009 saja menjadi dosen, PNS pula, sesuatu yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Pekerjaan sebagai dosen, banyak yang sesuai dengan keinginan saya, santai, banyak waktu buat ngopi dengan mahasiswa, bisa mengerjakan yang lain-lain. Satu hal yang membuat saya tak terlalu nyaman justru adalah status PNS saya. Terlalu banyak hal yang rasanya bertentangan dengan hati nurani, dan rasanya juga saya bukan PNS sejati yang baik dan rajin, meski soal pengajaran tak pernah kehilangan semangat.

Saat seperti itulah, kadang saya berpikir untuk resign lagi. Memang kelihatannya kebangetan kalau saya sampai mundur atau pensiun dini sebagai PNS. Tapi memang ada dorongan jiwa yang selalu ingin memberontak dan bebas.

Dulu, sebelum jadi PNS dan masih bujangan, rasanya resign dari satu pekerjaan tak pernah saya pikir panjang, ragu sebentar --biasanya karena sudah betah dengan suasana kerja dan kawan-kawan---tapi kemudian bisa menyesuaikan diri dengan tempat baru. Tak pernah takut pula untuk mundur, karena sebelum itu sudah ada tempat tujuan yang baru. Kalaupun menganggur, tak terlalu lama. Tak juga ada tanggungan istri dan anak.

Tapi sekarang? Meski berkali-kali tergoda untuk mundur, daya tahannya jauh lebih besar. Mundur sebagai abdi negara tak mudah, tak semudah di instansi swasta, ngomong sekarang besok sudah kabur. Bukannya betah, kalaupun saya masih bertahan, itu bukan karena omongan keluarga yang meminta saya bertahan. Tapi karena saya juga tak tahu, kalau saya mundur, saya mau kerja apa lagi? Mimpi apa lagi yang masih ingin saya kejar?

Yup, selain itu saya juga mulai ingat umur. Anak-anak sudah mulai besar dan kebutuhannya makin banyak. Resign lagi? Sudahlah, lupakan saja. Tutup buku soal resign, toh sudah pernah dan sering mengalami. Nanti dianggapnya juga saya tak bersyukur dengan apa yang saya jalani saat ini. Sekarang, tunggu saja waktunya pensiun nanti!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun