Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Resign: Melawan Bosan dan Godaan Tantangan Baru

14 Maret 2021   16:22 Diperbarui: 14 Maret 2021   16:33 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: forbes.com

Meski judulnya kerja di TV, saya tak pernah nongol di depan kamera. Bahkan tugas saya jauh dari penyiarannya, melainkan menjadi pengelola media online yang sengaja dibentuk untuk mendukung penyelenggaraan siaran Piala Dunia itu. Barulah setelah hajatan bola itu dimulai, saya ditarik ke belakang panggung, menyediakan berbagai materi untuk tayangan langsung dan tayangan pendukung, sambil tetap mengelola laman bola yang dikerjakan sebelumnya.

Entah kenapa, ketika mimpi saya itu sudah setengah tercapai (maunya sih kerja di TV tapi nongol, bukan di belakang panggung saja), saya malah dilanda ragu. Saya justru tak melihat bekerja di TV itu sebagai pekerjaan yang bener-bener saya inginkan. Terlalu menguras tenaga dan waktu. Ada banyak hal yang sebelumnya bisa saya lakukan, tak bisa lagi dikerjakan. Saya mulai berhenti menulis cerpen, novel, dan hobi yang lain-lain, bahkan menikmati me time saja rasanya sudah makin susah.

Terus mau ngapain kalau saya mundur? Mendadak saya kangen dengan situasi kerja di LSM itu. Serius tapi santai, punya banyak waktu untuk hal yang lain-lain. Tapi kembali ke Makassar, ke LSM itu juga tak masuk dalam pilihan.

Bertemulah saya dengan seorang kawan yang sudah menyelesaikan S2 dan menjadi dosen. Kok kayaknya asyik. Tanpa pikir panjang lagi, saat masih mengurusi hajatan Piala Dunia itu, saya mendaftar masuk kuliah lagi. Gaya-gayaan, daftar di Universitas Indonesia. Tak yakin sebetulnya, wong ujian tertulis saja dikerjakan setengah ngantuk. Ujian di Depok, saya masih di Mangga Besar, ngurusin pertandingan semifinal yang sampai subuh. Begitu selesai langsung bawa motor ke Depok untuk ujian. Jangankan belajar, mandi dan gosok gigi pun tidak, hehe....

Ternyata lulus. Saya resign dari TV itu. Kebetulan hajatan Piala Dunia juga sudah usai. Saya jadi mahasiswa lagi setelah lima tahun sejak lulus, dan hampir delapan tahun sejak mesuk kelas terakhir. Untuk menopang biaya, saya bergabung dengan Komisi Penyiaran Indonesia, bukan sebagai pegawai tetap, tapi masuk tim kajian isi siaran.

Kuliah selesai tepat waktu, empat semester. Bukan karena pinter, tapi karena tak mau lagi bayar SPP yang mencekik leher. Eh, datang sebuah tawaran menarik; menjadi dosen, PNS, di sebuah universitas di Yogyakarta. Tak panjang pikir, berangkaaat... dan, ya begitulah, sejak 2009 saja menjadi dosen, PNS pula, sesuatu yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Pekerjaan sebagai dosen, banyak yang sesuai dengan keinginan saya, santai, banyak waktu buat ngopi dengan mahasiswa, bisa mengerjakan yang lain-lain. Satu hal yang membuat saya tak terlalu nyaman justru adalah status PNS saya. Terlalu banyak hal yang rasanya bertentangan dengan hati nurani, dan rasanya juga saya bukan PNS sejati yang baik dan rajin, meski soal pengajaran tak pernah kehilangan semangat.

Saat seperti itulah, kadang saya berpikir untuk resign lagi. Memang kelihatannya kebangetan kalau saya sampai mundur atau pensiun dini sebagai PNS. Tapi memang ada dorongan jiwa yang selalu ingin memberontak dan bebas.

Dulu, sebelum jadi PNS dan masih bujangan, rasanya resign dari satu pekerjaan tak pernah saya pikir panjang, ragu sebentar --biasanya karena sudah betah dengan suasana kerja dan kawan-kawan---tapi kemudian bisa menyesuaikan diri dengan tempat baru. Tak pernah takut pula untuk mundur, karena sebelum itu sudah ada tempat tujuan yang baru. Kalaupun menganggur, tak terlalu lama. Tak juga ada tanggungan istri dan anak.

Tapi sekarang? Meski berkali-kali tergoda untuk mundur, daya tahannya jauh lebih besar. Mundur sebagai abdi negara tak mudah, tak semudah di instansi swasta, ngomong sekarang besok sudah kabur. Bukannya betah, kalaupun saya masih bertahan, itu bukan karena omongan keluarga yang meminta saya bertahan. Tapi karena saya juga tak tahu, kalau saya mundur, saya mau kerja apa lagi? Mimpi apa lagi yang masih ingin saya kejar?

Yup, selain itu saya juga mulai ingat umur. Anak-anak sudah mulai besar dan kebutuhannya makin banyak. Resign lagi? Sudahlah, lupakan saja. Tutup buku soal resign, toh sudah pernah dan sering mengalami. Nanti dianggapnya juga saya tak bersyukur dengan apa yang saya jalani saat ini. Sekarang, tunggu saja waktunya pensiun nanti!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun