Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (98) Kabar Buruk Saat Pulang
*****
Joshwa Telashevili atau Pak Jojo, tinggal lima rumah dari rumah Soso. lelaki setengah baya yang usianya di atas Pak Beso dan Mak Keke itu tinggal berdua dengan istrinya Memeta Rukasidze atau Mak Meme. Tiga anaknya sudah berkeluarga dan tak satupun yang tinggal di Gori, kebetulan semuanya memang perempuan dan ikut dengan suaminya masing-masing.
Hidangan makan malam yang tersaji sederhana, roti lavashi dan terong badridjani yang dibumbui. Entah karena lapar atau kangen makanan kampung itu, Soso makan dengan lahap. Keluarga itu sangat sederhana, bahkan rumah Soso pun rasanya lebih bagus. Dinding rumah itu hanya terbuat dari batu bata yang direkatkan dengan tanah liat. Bedanya, lebih terawat ketimbang rumah peninggalan Pak Beso yang sudah hampir setahun terabaikan.
"Kadang aku kasihan sama kau, So..." kata Mak Meme. "Saat kamu masih kecil, keluargamu seolah keluarga paling bahagia di sini. Ibumu cantik, bapakmu ganteng, usahanya lumayan. Keluarga dari ibumu sering datang berkunjung ke sini, terutama pamanmu, Sandala juga bibi-bibimu, Gio dan Anna Geladze. Tapi sejak bapakmu mulai ngaco, semuanya terlihat berbeda. Utang di sana-sini, rumahtangga berantakan, keluarga-keluaramu mulai menjauh, sampai akhirnya si Keke itu harus menghidupimu seorang diri. Pontang-panting ke sana-sini!"
"Saya bahkan tak ingat kalau ibu saya punya saudara, Mak..." kata Soso.
"Kau masih terlalu kecil saat mereka masih sering berkunjung, mungkin kau tak bisa mengingatnya sama sekali..." imbuh Mak Meme.
"Bagaimana ceritanya paman saya itu terbunuh polisi, Pak?" Soso melirik Pak Jojo.
Pak Jojo menggeleng, "Entahlah. Aku hanya mendengarnya begitu, kata tetangga-tetangga yang lain. Katanya ada orang yang menyusul ibumu membawa kabar itu. Terus ibumu pergi ke sana. Itu saja yang kutahu!" jawabnya. "Kalaupun aku bertemu dengan paman dan bibi-bibimu, aku juga mungkin sudah tak mengenalinya lagi!"
"Bagaimana sekolahmu?" tanya Mak Meme.
"Ya begitulah Mak, baik saya bisa sekolah setinggi ini!" jawab Soso.
Mak Meme tersenyum, "Ya, tapi ibumu sangat bangga dengan itu. Dua anak lainnya, anaknya keluarga Kapanadze dan Iremashvili kan beda, mereka orang berada. Sementara ibumu, ya begitulah. Betapa bangganya kamu bisa sekolah di sana dengan beasiswa. Sebagai tetangga yang tahu bagaimana ibumu dulu, kita juga ikut bangga sama kamu So. Yaah siapa tahu, kamu adalah orang yang bisa mengubah nasib orang-orang di sini menjadi lebih baik. Setidaknya ya jadi contoh, supaya pada rajin sekolah!"
Soso tersipu, "Makasih Mak, Pak..." kata Soso. "Makan malamnya membuat saya terkenang masa kecil. Tapi saya harus pulang, istirahat, badan saya masih pegal-pegal habis naik kereta. Apalagi besok saya harus kembali ke Tiflis, mencari tahu soal ibu dan paman saya itu!"
Mak Meme menepuk-nepuk pundaknya, "Ya sudah. Kalau kau enggan sarapan di rumah bapak tirimu, datang saja ke sini, sarapan seadanya!"
Soso mengangguk, lalu pamitan. Pulang dan meniatkan diri untuk tidur, meski ternyata tak bisa langsung lelap. Terlalu banyak yang berkelindan di dalam pikirannya.
*****
Soso terbangun karena ketukan di pintu rumahnya. Ia baru sadar kalau ia berada di rumah masa kecilnya di Gori. Buru-buru ia bangkit dan membuka pintu. Tahunya Mak Meme datang mengantarkan makanan.
"Ditunggu dari tadi gak datang-datang So, taunya masih tidur!" katanya. "Nih sarapan dulu, habis itu kalau mau tidur lagi ya terserah!"
"Duh, jadi ngerepotin, Mak!" kata Soso sambil menerima paket sarapan itu, roti dan labio, seperti yang biasa disajikan Mak Keke. Bedanya, Mak Meme tak membawakannya segelas susu seperti kebiasaan ibunya.
"Nanti kalau kamu mau pergi, pulang ke Tiflis, bilang-bilang dulu ya!" kata perempuan baik hati itu.
Soso mengangguk, "Makasih ya Mak..."
Mak Meme mengangguk lalu meninggalkannya.
Meski kepala Soso masih terasa berat oleh kantuk, ia tak meneruskan tidurnya. Ia menghabiskan sarapannya dan minum air putih di teko tembikar yang entah sudah berada di situ berapa lama. Ia tak peduli, toh rasanya masih segar. Kotor karena debu sedikit tak apalah, pikirnya.
Ia bingung mau ngapain. Tak ada kereta ke Tiflis jam segitu. Dulu juga ia berangkat sore menjelang malam. Itupun ia tak yakin apakah hari ini ada atau jangan-jangan juga tak setiap hari. Atau mungkin ia memang perlu pergi ke stasiun untuk memastikannya. Itulah yang terpikir olehnya.
Meski ia membawa bekal pakaian, Soso memilih untuk mencari baju-baju di lemari yang berada di dekat ranjang tuanya. Ia menemukan baju-bajunya dulu, tapi ternyata sudah banyak yang butut, dan terutama ukurannya sudah pada ciut.
Ia tersenyum sendiri, benar mungkin kata Pak Jojo kemarin, badannya sudah lebih besar. Sesuatu yang tentu saja tak ia sadari. Apalagi semasa kecil, ia dikenal sebagai anak yang terlambat perkembangan tubuhnya. Entah karena penyakit, atau mungkin juga karena kurang gizi. Gara-gara itu, Soso batal mengganti pakaian dengan pakaian lamanya, dan mengambil bekal pakaian di tas buntelannya, lalu pergi untuk mandi.
*****
Tak ada kereta ke Tiflis hari itu. Rupanya kereta Poti-Tiflis, atau sebaliknya, masing-masing berjarak dua hari. Ini yang tak ia ingat atau tak ia perhatikan. Mungkin dulu, ia selalu pas harinya, jadi seolah kereta itu ada setiap hari.
Jelas Soso bingung dibuatnya. Ia tak ingin berlama-lama di Gori tanpa ibunya. Gori tanpa Mak Keke itu seperti labio tanpa kacang. Apalagi ibunya sedang mengurusi sebuah masalah yang berada tak jauh dari Tiflis.
Selain itu, ia tak mau berurusan lagi dengan Bonia. Gadis itu membuat Soso tak nyaman sekarang. Waktu Mak Keke ada saja, ia mencuri-curi kesempatan hingga Soso tergoda lagi. Apalagi kalau ia tahu sekarang Soso sendirian di rumahnya, gawat-surawat. Soso bener-bener ingin menghindar darinya. Bukan munafik, tapi ia tak nyaman. Bagaimana pun juga, Bonia adalah adik tirinya sekarang. Apa kata orang kalau tahu ia masih ada apa-apanya dengan anak Pak Koba yang sudah jadi ayah tirinya itu!
Celakanya, tak ada tempat untuk bersembunyi di Gori itu. Ke manapun ia pergi, akan ada orang yang mengenalinya, dan mungkin bisa menyampaikannya kepada Pak Koba, Yuri, dan juga Bonia. Apalagi kawan-kawan masa kecilnya yang tak lain adalah kawan si Yuri juga. Masak iya dia harus cerita kalau ia menghindari Bonia. Bisa-bisa malah ketahuan skandal yang sesungguhnya, yang ia coba untuk sembunyikan. Baginya, ia boleh ketahuan nakal dengan perempuan lain, tapi bukan dengan Bonia. Kasihan anak itu. Bagaimanapun Soso masih mengingat kebaikannya. Tapi situasinya sudah benar-benar berbeda sekarang!
Karena kebanyakan pikiran, Soso malah jadi luntang-lantung dekat stasiun, sampai sebuah suara mengagetkannya.
"Kamu, Soso kan? Joseph Djugashvili!" seorang perempuan muda berdiri di depannya sambil menatap tajam seolah sangsi dengan penglihatannya.
Soso juga begitu, rasanya ia mengenali gadis itu, tapi, ingatannya tak bisa memberinya sebuah petunjuk apapun.
"Aku Lisa. Lisa Akopova, kawan main Bonia!"
Soso langsung tersenyum, ia ingat sekarang. Tapi meski potongan wajahnya masih bisa diingat, Soso merasa bahwa gadis itu sudah banyak berubah, lebih bersih dan lebih menarik. "Ah ya... aku ingat sekarang. Kau yang ditaksir kawanku si Seva kan?"
Gadis itu tersipu malu, "Jangan begitu dong. Itu kan dulu, waktu masih bocah!"
Soso tertawa, "Apa yang kau lakukan di sini?"
Lisa mengernyitkan dahinya, "Lah, rumahku kan gak jauh dari sini. Kamu sendiri ngapain di sini?"
"Ah iya, aku lupa..." kata Soso. "Aku mau nyari tiket kereta ke Tiflis!"
"Temanmu si Peta dan si Seva kan sudah balik ke Tiflis semingguan yang lalu, kok kamu masih di sini?"
"Aku pulang, ada urusan!" jawab Soso.
"Kok si Bonia nggak cerita kalau kamu pulang?"
Soso gelagapan, cewek di depannya ini sahabatnya si Bonia, tak mungkin ia berbohong, pasti ia tahu semuanya. "Belum ketemu, aku baru datang semalem, terus nyari tiket dulu buat kembali ke Tiflis!" jawabnya.
"Jangan bohong!" katanya. "Aku tahu, kamu pasti menghindarinya kan?"
Soso garuk-garuk kepala. Bingung mau ngomong apa.
"Ayo ke rumahku, daripada ngobrol di sini!"
Soso tak bisa menolak.
*****
"Aku tahu semua ceritamu dengan Bonia. Dia menceritakan semuanya padaku!" kata gadis blasteran Georgia dan Rusia itu. Bapaknya Rusia, dan ibunya asli Gori.
"Semua?" Soso melongo.
Lisa mengangguk, "Semua!"
"Termasuk..." Soso nggak tega melajutkannya.
"Ya pokoknya semua!"
Soso jadi salah tingkah. Soal hubungannya dengan Bonia, memang banyak kawan-kawannya yang tahu. Tapi tak ada yang tau lebih. Bahkan si Yuri, kakak Bonia yang juga sahabat Soso juga kemungkinan besar tak tahu, karena ia memang tak pernah cerita, dan merahasiakannya. Tapi Bonia? Bisa jadi ia tak serapat itu merahasiakannya, mungkin saja ia bercerita pada salah satu temannya, teman yang dianggapnya bisa dipercaya. Si Lisa ini mungkin salah satunya, kalau bukan satu-satunya.
"Dia sangat tertekan," kata Lisa lagi, "Begitu mendengar bapaknya melamar ibumu, dia kabur, bermalam di rumahku, dan nangis terus-terusan!"
Soso sudah bisa menebaknya. Tak salah lagi, pasti Bonia memang menceritakan semuanya.
"Aku tak bermaksud menyakitinya..." kata Soso.
"Ya, aku tahu. Dia juga tahu. Tapi perasaannya padamu nggak bisa dibohongi!"
"Makanya aku jadi agak males pulang ke sini..." imbuh Soso, akhirnya.
"Aku ngerti. Tapi masak iya kamu akan menghindarinya terus, sementara kamu pasti akan menemui ibumu sendiri kan?"
Soso mengangguk, "Itulah..."
"Dia sedang belajar melupakanmu kok..."
Soso diam sejenak, "Bantu dia ya, kasihan!"
Lisa tersenyum, "Tentu saja. Dia sahabat baikku..."
*****
BERSAMBUNGL (100) Kembali ke Sekolah, Kembali ke Masalah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H