Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (91) Tergoda Lagi

26 Februari 2021   18:53 Diperbarui: 1 Maret 2021   20:22 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi ia tak pernah punya kesempatan seperti itu. Rumahnya di Gori tak cukup besar. Tak punya kamar sendiri, hanya sebuah pojokan. Tak nyaman membaca atau menulis di sana. Pasti terganggu oleh Mak Keke yang mondar-mandir.

Lalu kalau di rumahnya sendiri ia tak bisa melakukannya, di mana lagi ia bisa? Di rumah Pak Sese dan Mak Imel, ia hanya menempati sebuah ruangan kecil, sempit dan tak terlalu nyaman berada di dalamnya berlama-lama.

Ia membayangkan rumah kontrakan si Lado. Itu mungkin mendekati impian sederhananya, ada kamar-kamar, ruangan lain, dan enak untuk tinggal berlama-lama sendirian. Tapi itu kan bukan rumahnya, bukan rumah si Lado. Kalau kawannya itu nanti kehabisan duit atau tak lagi ada yang membiayai, entah akan tinggal di mana anak itu.

Ia membayangkan lagi kamar si Said. Letaknya di bagian belakang rumah, ada jendela yang bisa dibuka untuk melihat pemandangan ladang di belakangnya. Kamar seperti itu yang diinginkannya saat ini. Tapi jelas ia tak ingin ke tempatnya si Said di Rustavi hanya untuk mencari suasana seperti itu.

Atau, jangan-jangan pondok kayu tempat ia menghabiskan malam bersalju dengan Natasha di Batumi, tepi Laut Hitam dan muara Sungai Chorokhi yang ia inginkan? Rasanya tempat itu memang cocok untuk menyepi. Ia membayangkan duduk di teras pondok itu, memandang Laut Hitam, membaca, sambil menikmati kopi panas dan mengisap tembakau.

Duh... ia mendadak kangen tempat itu. Tapi ia rada-rada enggan membayangkan Natasha yang menemaninya seperti dulu. Entahlah, perasaan 'jijik'-nya masih belum bisa hilang juga. Perempuan secantik dia, memiliki suami yang tak dicintainya, lalu mengumbar nafsunya pada banyak lelaki yang disukainya, termasuk dirinya!

Perasaan di-'istimewa'-kan yang sebelumnya hadir dalam dirinya, mendadak sirna begitu saja setelah mendengar cerita si Lado, Nunu, Silva, dan yang lain-lainnya juga pernah tidur dengan Natasha. Yaah, mungkin bukan salah Natasha. Salahnya sendiri yang merasa seperti itu. Natasha tidak suci, ia juga. Lalu apa bedanya?

*****

"Koba... tidur saja di dalam kalau kamu lelah, jangan di sini!" seseorang mengguncang-guncangkan tubuh Soso.

Soso membuka mata. Di depannya tampak Natela. Ia baru sadar kalau ia tertidur di kursi. "Uh, maaf, aku ketiduran..." kata Soso sambil menegakkan badannya.

"Nggak apa-apa. Kalau kamu capek, pindah aja ke dalam, jangan di sini!" kata Natela lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun