Cipto melengos. Rasanya Marini sudah semakin keterlaluan. Mungkin itu pula yang membuatnya menjadi semakin sering pamit 'mengerjakan proyek' di Purwokerto, padahal mengunjungi Irma, mantannya semasa SMA-nya yang saat ini sudah sendiri lagi.
Cipto melambaikan tangan pada Ronny, "Tidur ya Sayang, udah malem. Besok kita ke tukang cukur sama-sama!"
*****
Marini sudah pergi bekerja. Mbok Jimah sudah datang, memasak, bersih-bersih, mencuci pakaian, dan lain-lain, lalu mengasuh Ronny seperti biasa. Dulu keberadaan Mbok Jimah sangat penting di rumah itu, karena Marini dan Cipto sama-sama bekerja kantoran. Tapi sejak pandemi covid, Cipto di-PHK, dan ia terpaksa bekerja serabutan dari rumah.
Hari-harinya dihabiskan di rumah. Karena itulah Marini sempat berpikir untuk menghentikan Mbok Jimah sementara. Tapi Cipto tak tega. Mbok Jimah sudah bekerja di rumah itu sejak Ronny belum lahir. Meski berat karena harus menanggung gajinya --yang sebetulnya tak seberapa---jika situasi normal seperti dulu, Cipto memutuskan untuk tetap mempekerjakan perempuan berusia hampir 70 tahun yang masih bugar itu. Lagipula, meski di rumah, ia juga butuh waktu sendiri untuk mengerjakan proyeknya, tanpa harus terganggu oleh Ronny.
"Mbok-Mbok... apa yang menempel di kepala Ayah?" tanya Ronny pada Mbok Jimah, persis seperti semalam saat ia bertanya pada ibunya.
Mbok Jimah melirik dan menatap Cipto, wajahnya mendadak pucat dan kaget. "Astagfirullahaladzim!"
Cipto bingung. "Kenapa sih Mbok?"
"Mas Cip, njenengan temui Ustadz Sodik, njih..." katanya.
"Kenapa sih Mbok? Buat apa saya ketemu dia?" tanya Cipto.
"Nganu Mas, itu ada yang menempel di kepala panjenengan..." kata Mbok Jimah, tapi ia tak lagi menatap ke arah Cipto.