"Apa yang menempel di kepala Ayah?" tanya Ronny pada ayahnya, saat ia menyambut Cipto yang pulang malam itu dalam hujan lebat. Cipto mengusap kepalanya yang sedari tadi terasa panas karena memakai helm berjam-jam lamanya. Ia memang baru saja pulang ke rumahnya di Jogja setelah menempuh perjalanan dari Purwokerto dengan mengendarai sepeda motor.
"Nggak ada apa-apa kok. Ayo masuk, tolong tutup pintunya ya!" kata Cipto sambil melepaskan sepatunya yang basah, sampai kaus kakinya pun. Kulit kakinya sampai mengkeret karena kedinginan. Menyesal juga dia lewat jalur yang melewati Waduk Sempor, karena hujan turun di sekitar hutan sehingga ia tak bisa mencari tempat berteduh. Ia terpaksa melanjutkan perjalanan meski harus kehujanan dan tak memakai pelindung apapun, selain jaket kulit yang dipakainya. Itupun juga basah ditembus air.
Ia membawa sepatunya ke dalam dan menyimpannya di belakang rumah, dekat tempat Mbok Jimah biasa mencuci.
"Apa yang menempel di kepala Ayah?" anak lima tahun yang belum terlalu lancar bicara itu mengulangi pertanyaan yang sama sambil menengadah ke arahnya, tapi bukan menatapnya, melainkan melihat ke atas kepala Cipto.
Cipto penasaran karena anaknya menanyakan hal itu lagi. Ia berjalan ke arah wastafel yang ada cerminnya. Dan ia tak menemukan apa-apa, selain rambutnya yang mulai panjang dan basah, menempel di keningnya dengan berantakan.
Cipto menghampiri anak satu-satunya itu --maunya sih Ronny jadi anak sulung, tapi adiknya belum hadir juga, padahal Marini istrinya sudah sering berkhayal dengan Ronny soal apa yang harus dilakukan Ronny kalau dia punya adik nanti.
Tapi itu tahun lalu. Saat Marini dinyatakan positif hamil. Tapi janinnya tak berkembang, dan dianggap membahayakan, dan terpaksa harus dikeluarkan. Sejak itu Marini tak mau lagi bicara soal anak. Padahal, Ronny terus-terusan bertanya, kapan adiknya akan datang.
Cipto menuju pintu dan menguncinya, lalu berjalan ke kamar tidur untuk mengantarkan Ronny yang seperti takut didekati olehnya. Sudah beberapa bulan Marini ingin tidur berdua dengan Ronny, padahal ranjang mereka kecil. Akhirnya Cipto yang mengalah. Ruangan kecil yang tadinya untuk kamar Ronny beralih fungsi menjadi kamarnya.
Ia menaruh kasur kecil di lantai, menaruh meja komputer di pojokan, dan sebagainya. Cipto menjadikan kamar itu menjadi kamarnya, lengkap, nyaris seperti saat ia kos di masa bujangan dulu. Jika tak keluar rumah, ia menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar itu, mengerjakan proyek-proyeknya.
Saat masuk ke kamar utama di rumah kecil itu, Marini masih duduk di depan meja rias sedang membersihkan wajahnya. Cipto menurunkan Ronny yang langsung berlari ke arah ibunya. "Mah, Mah, apa itu yang menempel di kepala Ayah?" tanyanya sambil menggoyang-goyangkan tangan ibunya.
Marini mengikuti arah yang ditunjukkan anaknya, melirik kepada Cipto dengan enggan. "Nggak ada apa-apa Sayang. Bilang sama ayah, besok cukur biar wajahnya nggak serem!"