Barangkali yang paling konyol adalah waktu ikut tim untuk lomba antarkampus. Saya kebagian jatah ikut menulis resensi film. Film yang akan diresensi sudah ditentukan panitia. Saya lupa judulnya. Peserta diminta menonton di bioskop, gratis.
Kebetulan saya sudah menonton film itu beberapa hari sebelumnya. Jadi ketika acara nonton gratis itu dilaksanakan, saya tak ikut. Bukan itu saja, resensinya malah sudah jadi. Tinggal setor.
Celakanya, ternyata filmnya diganti. Bukan film yang diumumkan sebelumnya, tapi jadi film berjudul The English Patient yang belum pernah saya tonton, bocorannya pun tak punya! Saya baru tahu setelah mau setor tulisannya. Kawan-kawan setim sudah gelisah. Bisa-bisa gagal juara kalau sampai saya tak menyetor.
Dengan waktu tersisa yang tak lebih dari tiga jam, saya harus menyelamatkan diri, dan terutama menyelamatkan tim. Pergi ke bioskop untuk menonton filmnya dulu jelas nggak mungkin. Bioskopnya jauh, waktu tayangnya nggak tau pula, dan waktu pasti habis buat menontonnya saja. Saya bergerilya, nanya kiri-kanan nyari teman yang sudah menonton film itu.
Kebetulan ada. Saya suruh dia cerita jalan ceritanya, dan apapun yang bisa dia ingat dari film itu. Untuk tahu nama-nama pemain, penulis skenario, dan sutradaranya, saya menelpon teman yang rumahnya dekat bioskop. Saya suruh mampir dan mencatat dari poster film.
Data yang secukupnya itu saya bawa pulang ke kosan. Ambil mesin tik, tulis. Alih-alih fokus pada cerita --hanya digambarkan sekilas saja---saya buka Buku Pintar, cari soal data-data pemenang Oscar yang berkaitan dengan orang-orang terkait dengan film itu. Tambahi data lain-lain yang saya anggap nyambung.
Selesai. Setor. Tim bisa diselamatkan, setidaknya saya bisa menyumbang poin buat tim, meski mungkin tak terlalu besar. Lumayan daripada kosong sama sekali. Eh, taunya, resensi film dari film yang tidak saya tonton itu malah menang, menyumbang angka yang lumayan buat tim. Tim saya pun juara umum setelah memenangi empat dari enam kategori, termasuk resensi film yang saya tulis itu.
Beberapa hari kemudian, saya sengaja pergi ke bioskop untuk menonton filmnya. Dan ternyata, banyak hal dalam filmnya yang malah tak sesuai. Keliru nama pemain, ada bagian penting dalam film yang malah tak saya singgung, dan lain-lain. Entah kenapa bisa menang, mungkin karena tulisan saya malah tak fokus pada filmnya, tapi latar sosial di film itu. Entahlah.
Soal Buku Pintar yang berjasa tadi, kalau tak salah, saya pernah membelinya sebanyak lima kali, entah edisi yang mana saja. Yang jelas, edisi terakhir yang saya punya adalah tahun 2007. Itu edisi satu-satunya yang saya beli setelah meninggalkan Makassar dan hijrah ke Jakarta. Edisi-edisi yang saya beli di Makassar sudah tak tahu kemana, entah ada yang mulung untuk dikoleksi, entah dijual kiloan jadi bungkus gorengan.
Edisi tahun 2007 itu masih saya simpan sampai sekarang. Memang sudah tak lagi sering digunakan, karena mencari data sudah jauh lebih mudah melalui internet. Ada 'Buku Pintar' lain yang mengalahkannya saat ini, entah dari sisi praktis maupun soal isinya yang lebih update.
Tapi apapun, saya tetap menaruh hormat dan terimakasih pada Pak Iwan Gayo, penyusun buku itu. idenya menghadirkan sumber data segala ada dalam satu buku patut diacungi jempol. Tapi apa boleh buat, zaman memang sudah berubah. Buku itu sudah banyak pesaingnya yang lebih sakti dalam banyak aspek.