Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Catatan 90s: (11) Kisah Buku Pintar

10 Februari 2021   15:07 Diperbarui: 10 Februari 2021   15:22 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Pintar dan 'pesaing'-nya (dokpri)

Jauh sebelum internet menjadi 'perpustakaan' baru, menulis sebuah artikel 'serius' adalah hal yang cukup sulit. Data-data penting dan informasi tambahan yang dimasukkan untuk memperkaya tulisan harus didapatkan dengan susah payah; pergi ke perpustakaan, mencatat, lalu mulai menuliskannya.

Satu informasi 'kecil,' misalnya ibukota sebuah negara atau kota A tertelak di negara mana, harus membuka sebuah buku dulu --atlas misalnya---itupun masih terasa kurang. Harus mencari buku yang lain. Alhasil, waktu penulisan lebih banyak dihabiskan untuk mencari data. Atau, tertunda karena ada data yang kurang.

Sejak zaman aktif di Pers Mahasiswa, ketika membuat tulisan entah itu, yang berbentuk straight news, feature saya punya kebiasaan menyelipkan data-data 'kecil' seperti itu. Memang tidak penting, tapi memberi nilai lebih pada tulisan.

Ketika menyebut sebuah kota, letak negara saya tak cukup rasanya, perlulah pula dimasukkan informasi lain, seperti posisi --di pegunungan, tepi laut, pinggir sungai, cuacanya, dan sebagainya.

Apalagi saat menulis fiksi seperti cerpen atau novel. Berbagai informasi tambahan itu menjadikan deskripsi latar menjadi lebih hidup, baik latar tempat maupun latar waktu. Kan tidak lucu menulis cerita zaman Siti Nurbaya, tapi orangnya saling berhubungan dengan whatsapp misalnya. Sefiksi-fiksinya, kata Kenneth Burke, sebuah cerita itu harus punya rasionalitas.

Mencari data dan menuliskannya adalah dua hal yang berbeda. Mencari data bisa santai. Tapi menuliskannya, itulah yang masalah. Menulis butuh mood. Dan mood ini bisa hilang kalau lagi asyik menulis, butuh data yang sebetulnya 'kecil,' tapi terpaksa dihentikan karena harus mengubrek-ubrek buku atau mencari ke perpustakaan dulu.

Bisa-bisa balik dari perpustakaan mood-nya sudah hilang gara-gara menemukan ide baru. Mau nulis artikel ilmiah, pulang ke rumah malah jadi pengen nulis cerpen. Belum lagi kalo di perpustakaan melihat cewek gebetan sama cowok lain, mau nulis kisah cinta malah berubah jadi pengen nulis cerita kriminal.

Supaya tidak terganggu dengan kebutuhan berburu data kecil itu dan membuat mood melayang. Dulu saya punya buku yang judulnya 'Buku Pintar' yang ditulis oleh Iwan Gayo. Buku itu berisi beragam informasi kecil dalam banyak hal dan banyak bidang ilmu.

Dari lambang negara sampai lambang zodiak. Pokoknya, ibarat toko, itu adalah toko serba ada. Kalau dalam dongen Wiro Sableng, seperti sosok Kakek Segala Tahu, tapi dalam bentuk buku.

Bukunya tebal, dan tentu saja cukup menguras kantong. Yang bikin sebel, baru beli buku itu, beberapa bulan kemudian muncul lagi edisi revisinya. Terus begitu, karena memang banyak informasi yang terus diperbaharui. Nama-nama presiden, menteri, adalah contoh informasi yang sering di-update.

Saya punya buku itu pertama kali tahun 95-an. Entah edisi ke berapa, yang jelas edisi pertama buku itu adalah tahun 1986. Tak banyak teman-teman yang tahu kalau saya punya buku serba tahu itu. Itu jadi senjata rahasia saya dalam membuat tulisan. Beberapa kali saya memenangkan lomba menulis berkat bantuan buku itu.

Barangkali yang paling konyol adalah waktu ikut tim untuk lomba antarkampus. Saya kebagian jatah ikut menulis resensi film. Film yang akan diresensi sudah ditentukan panitia. Saya lupa judulnya. Peserta diminta menonton di bioskop, gratis.

Kebetulan saya sudah menonton film itu beberapa hari sebelumnya. Jadi ketika acara nonton gratis itu dilaksanakan, saya tak ikut. Bukan itu saja, resensinya malah sudah jadi. Tinggal setor.

Celakanya, ternyata filmnya diganti. Bukan film yang diumumkan sebelumnya, tapi jadi film berjudul The English Patient yang belum pernah saya tonton, bocorannya pun tak punya! Saya baru tahu setelah mau setor tulisannya. Kawan-kawan setim sudah gelisah. Bisa-bisa gagal juara kalau sampai saya tak menyetor.

Dengan waktu tersisa yang tak lebih dari tiga jam, saya harus menyelamatkan diri, dan terutama menyelamatkan tim. Pergi ke bioskop untuk menonton filmnya dulu jelas nggak mungkin. Bioskopnya jauh, waktu tayangnya nggak tau pula, dan waktu pasti habis buat menontonnya saja. Saya bergerilya, nanya kiri-kanan nyari teman yang sudah menonton film itu.

Kebetulan ada. Saya suruh dia cerita jalan ceritanya, dan apapun yang bisa dia ingat dari film itu. Untuk tahu nama-nama pemain, penulis skenario, dan sutradaranya, saya menelpon teman yang rumahnya dekat bioskop. Saya suruh mampir dan mencatat dari poster film.

Data yang secukupnya itu saya bawa pulang ke kosan. Ambil mesin tik, tulis. Alih-alih fokus pada cerita --hanya digambarkan sekilas saja---saya buka Buku Pintar, cari soal data-data pemenang Oscar yang berkaitan dengan orang-orang terkait dengan film itu. Tambahi data lain-lain yang saya anggap nyambung.

Selesai. Setor. Tim bisa diselamatkan, setidaknya saya bisa menyumbang poin buat tim, meski mungkin tak terlalu besar. Lumayan daripada kosong sama sekali. Eh, taunya, resensi film dari film yang tidak saya tonton itu malah menang, menyumbang angka yang lumayan buat tim. Tim saya pun juara umum setelah memenangi empat dari enam kategori, termasuk resensi film yang saya tulis itu.

Beberapa hari kemudian, saya sengaja pergi ke bioskop untuk menonton filmnya. Dan ternyata, banyak hal dalam filmnya yang malah tak sesuai. Keliru nama pemain, ada bagian penting dalam film yang malah tak saya singgung, dan lain-lain. Entah kenapa bisa menang, mungkin karena tulisan saya malah tak fokus pada filmnya, tapi latar sosial di film itu. Entahlah.

Soal Buku Pintar yang berjasa tadi, kalau tak salah, saya pernah membelinya sebanyak lima kali, entah edisi yang mana saja. Yang jelas, edisi terakhir yang saya punya adalah tahun 2007. Itu edisi satu-satunya yang saya beli setelah meninggalkan Makassar dan hijrah ke Jakarta. Edisi-edisi yang saya beli di Makassar sudah tak tahu kemana, entah ada yang mulung untuk dikoleksi, entah dijual kiloan jadi bungkus gorengan.

Edisi tahun 2007 itu masih saya simpan sampai sekarang. Memang sudah tak lagi sering digunakan, karena mencari data sudah jauh lebih mudah melalui internet. Ada 'Buku Pintar' lain yang mengalahkannya saat ini, entah dari sisi praktis maupun soal isinya yang lebih update.

Tapi apapun, saya tetap menaruh hormat dan terimakasih pada Pak Iwan Gayo, penyusun buku itu. idenya menghadirkan sumber data segala ada dalam satu buku patut diacungi jempol. Tapi apa boleh buat, zaman memang sudah berubah. Buku itu sudah banyak pesaingnya yang lebih sakti dalam banyak aspek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun