Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (61) Kuliah Singkat Kapitalisme Kolektif
*****
Kereta api yang menarik enam gerbong penumpang itu berjalan lambat menuju ke arah timur. Tampak lebih lambat dari biasanya. Mungkin karena di beberapa titik salju menumpuk. Bemper besi segitiganya yang meruncing ke depan, yang sepintas mirip dengan kumis, berkali-kali menyeruduk gundukan-gundukan salju yang membandel. Sudah diseruduk dalam perjalanan sebelumnya, atau oleh kereta lain, kembali menumpuk, dan harus diseruduk lagi.
Gunung dan lembah-lembah di sepanjang jalur kereta yang berangkat dari Poti pagi itu tampak memutih oleh tumpukan salju. Pada sebuah dataran yang seharusnya menghijau karena rumput, sekelompok rusa merah[1] di seberang sungai tampak mengais-ngais rumput yang tertimbun salju dengan moncongnya. Sementara seekor jantan besar yang nyaris sebesar sapi, dengan sepasang rangga yang gagah berlari-lari mengejar dan mengusir kawanan lain yang mendekat.
Soso memperhatikan rusa-rusa itu dari jendela kereta. Ia teringat dulu, bapaknya, Pak Beso pernah pergi berburu dengan para tetangganya di Gori, dan pulang membawa seekor rusa jantan yang besar. Satu kampung berpesta makan daging rusa itu. Ia masih bisa mengingat rasa dagingnya yang kenyal dengan bau yang khas, agak-agak menyengat, tapi tak semenyengat bau daging kambing.
Kulit rusa itu, yang berwarna kemerahan, disamak oleh Pak Beso dan dijadikan alas tidur. Rangganya dijadikan hiasan. Seingatnya, hiasan tanduk rusa itu masih ada di rumahnya, dijadikan gantungan baju-baju oleh Mak Keke. Nyaris terabaikan dan terlupakan, seperti kenangan itu. Kalau saja Soso tak melihat rusa-rusa liar tadi, mungkin juga ia tak bakalan ingat soal itu.
Pak Beso tak pernah lagi pergi berburu sejak itu, dan ia tak pernah lagi makan daging rusa. Sepeninggal Pak Beso, rasanya makin jarang ada menu daging di meja makan rumahnya. Paling sering ya ikan hasil pancingannya di Sungai Kura. Atau sesekali ayam yang entah didapat Mak Keke dari mana. Kalau telur, hampir tiap hari, sebagai teman puri sarapan paginya, yang nyaris berulang-ulang setiap hari.
Soso pernah disuruh memelihara sepasang kambing. Kata Mak Keke, kambing-kambing itu bisa diperah susunya buat sarapan paginya. Tapi Soso tak terlalu telaten. Mak Keke juga nggak kira-kira. Anak-anak di kampung situ mana ada yang menggembalakan ternak.
Jadi ketika Soso disuruh mengurus kambing itu, ia menjadi kesepian, tak bisa bermain dengan kawan-kawannya. Akibatnya ya kambing itu sering ditinggalkan dan dibiarkan mencari makan sendiri.
Ya sudah, akhirnya kambing-kambing itu malah jadi kerjaan tambahan Mak Keke yang harus mengejar-ngejarnya untuk dibawa pulang. Karena jengkel, dan mungkin butuh duit, kambing itupun dijual tak lebih dari seminggu sejak dibeli.
Soso tersenyum sendiri saat mengingat hal itu. Barangkali ia memang tak punya bakat jadi penggembala, seperti si Mahmoud yang dikenalnya di Batumi. Anak itu bisa menggembala puluhan ekor domba, sementara dia, dua ekorpun tak terurus.
Dalam ingatannya yang jauh lebih samar, saat bapaknya masih di rumah, Pak Beso datang membawakan seekor kelinci gemuk dengan bulu putih-keabu-abuan. Masih hidup meski tampak terluka. Kalau tak salah, kelinci itu dibeli Pak Beso dari pemburu yang menangkapnya, mungkin ditangkap oleh anjing, bukan ditembak atau dipanah.
Tapi Soso merasa kasihan melihatnya. Kelinci itu malah dilepaskannya. Pak Beso marah-marah. Sehari kemudian, tetangganya menemukan potongan kepala kelinci di belakang rumahnya. Kelinci malang itu benar yang dilepaskan oleh Soso. Dan habis dimangsa anjing kampung.
"Kau lihat! Biar bagaimanapun, kelinci itu tetap akan mati. Kalau tidak kau lepaskan, setidaknya itu jadi makan malam kita, bukan makan malam anjing liar!" katanya.
Soso menyesali kebodohannya itu. Kalau saja dulu tak dilepaskannya, setidaknya ia pernah merasakan daging kelinci. Sampai sekarang, tak pernah lagi ia punya kesempatan.
"Sengaja kubeli itu biar kamu tahu rasanya. Sapi atau kambing terlalu mahal, setidaknya aku masih bisa membelikanmu daging kelinci, biar badanmu itu ada dagingnya juga!" kata Pak Beso.
Mengingat itu membuat Soso teringat pada Pak Beso. Ia tak tahu apakah bapaknya itu benar-benar pergi ke Rustavi lalu bekerja di pabrik baja seperti yang disarankannya atau tidak. Kalau tidak, dimanakah sekarang ia berada, Rustavi, Tiflis, Gori, atau tempat lainnya. Apakah ia bekerja atau kembali menjadi pemabuk gelandangan.
"Nantilah kucari ke Rustavi sebelum sekolah mulai..." pikir Soso. Ia malu dengan begitu banyaknya orang yang berbaik hati kepadanya selama petualangan ke Batumi, Poti, hingga saat ini ia sedang menuju Gori.
Orang-orang itu berbuat baik kepada orang-orang lain yang tak dikenalnya, bahkan yang berbeda keyakinan sekalipun. Sementara ia? Bapaknya sendiri saja --lepas apakah Pak Beso itu bapak kandungnya atau bukan---malah ia abaikan. Sengaco-ngaconya Pak Beso di kemudian hari, lelaki itu pernah --dan mungkin masih---menyayanginya, dan menganggapnya sebagai anaknya.
*****
Soso tertidur dalam kereta itu. Saat terbangun, menurut orang yang duduk di sebelahnya, kereta sudah lama meninggalkan stasiun Khashuri. Berarti sudah dekat dengan Gori. Berbeda dengan tempat-tempat sebelumnya --sebelum Soso tertidur---makin mendekati Gori tak terlalu banyak lagi salju yang terlihat. Kalaupun ada, tipis saja. Jangan-jangan di Gori, seperti biasanya, salju tak terlalu lebat.
Dan benar saja, ketika salib di menara gereja sekolahnya dulu terlihat, atap bangunan itu tak terlihat ditutupi salju tebal. Lega rasanya saat ia turun dari kereta itu. Ia menengok sekolah masa kecilnya, berjalan melewatinya, lalu tak lama kemudian dia sampai di depan rumahnya. Sepi. Seperti kandang sapi yang sudah lama tak dipakai.
Soso baru sadar. Ibunya tak lagi tinggal di situ, tapi di rumahnya Pak Koba, suami barunya, ayah tirinya sekarang. Meski begitu, ia tetap membuka pintu rumahnya itu, seperti biasa, tak terkunci. Bukan saja karena tak ada maling, tapi mungkin maling juga tahu, tak ada barang berharga yang bisa diambil dari tempat itu.
Karena hari sudah gelap, Soso segera mencari pematik api dan menyalakan lampu minyak. Rumah kecil itu benar-benar seperti gudang di ladang pertanian. Banyak perabotan yang bergeletakan tak terurus. Sarang laba-laba berjuntai di mana-mana. Di pojokan tempat biasanya Mak Keke duduk menjahit, tanduk rusa yang tadi diingatnya terlihat mencuat, bagian bawahnya penuh dengan gantungan pakaian dan kain-kain tak jelas.
Soso menyingkirkan buntelan-buntelan kain yang menumpuk di tempat tidurnya. Membentangkan kain di atas kasur jeraminya, lalu membaringkan tubuh lelahnya. Pandangan matanya kemana-mana, menyusuri setiap benda berikut segala kenangan yang bisa diingatnya.
Perutnya sudah terasa lapar. Ia tahu, tak akan menemukan makanan di situ. Tapi ia malas kalau harus menyusul Mak Keke ke rumah Pak Koba saat itu.
Tiba-tiba pintu rumahnya berderit dan didorong dari luar. Soso kaget karena ia tak menduga aka nada orang yang datang.
"Siapa di dalam?" terdengar suara seorang perempuan.
"Mak!" kata Soso begitu mengenali suara itu.
Dan benar saja, suara itu tak lain dari Mak Keke, ibunya. Soso langsung bangkit dan berlari mendekatinya.
Mak Keke tentu saja kaget bercampur senang melihat anak semata wayangnya itu. "Kenapa kau ada di sini So, sejak kapan?" tanya Mak Keke yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
"Baru saja Mak, baru aja baringan..." jawab Soso.
"Kamu kan tau Mak tak lagi tinggal di sini..." kata Mak Keke.
Soso nyengir, "Iya Mak, tau... Lah, Mak sendiri kenapa bisa ke sini?" Soso balik bertanya.
"Gak tau lah, dari tadi siang kok pengen banget ke sini, tapi nggak sempet terus..." jawab Mak Keke, "Barusan lewat kok ada lampu nyala. Taunya kamu!"
Soso tersenyum.
"Ayo ke sana, makan..." kata Mak Keke, "Di sana banyak makanan, kalo di sini mah nggak ada apa-apa..."
"Nanti aja lah Mak, males... pengen di sini dulu, malah pengen tidur di sini aja, jangan di sana..." kata Soso.
"Ya Mak tau kalau kamu pasti akan lebih betah di sini. Tapi biar bagaimanapun kamu tetap harus ke sana, setidaknya temui dulu bapak tirimu, saudara-saudara tirimu, baru nanti balik lagi ke sini. Kan mereka juga bukan orang yang baru kamu kenal..." kata Mak Keke.
"Besok aja lah Mak..." kata Soso, "Malas jalan nih, masih capek..."
"Lah tapi kamu belum makan kan?" tanya Mak Keke lagi.
Soso mengangguk, "Ambilin dari sana dong Mak..."
Mak Keke manyun, "Haah ngerjain aja ni bocah, ke sananya ogah, makannya mau!"
Soso nyengir.
"Ya udah. Tungguin di sini, Mak ambilkan. Tapi kau beres-beres dulu situ, biar nggak kayak kandang sapi!"
*****
Setelah mengambilkan makanan dari tempatnya Pak Koba, Mak Keke menemani Soso makan di rumah lamanya itu, rumah peninggalan mantan suaminya, Pak Beso, bapaknya Soso.
"Aku sudah bilang sama Pak Koba, kamu datang dan akan tidur di sini. Tapi besok kau harus menemuinya!" kata Mak Keke.
Soso mengangguk, mulutnya penuh dengan makanan.
"Kamu dari mana sih, anak-anak lain, si Seva dan si Peta sudah balik sejak lama, kamu nggak nongol-nongol. Katanya kamu ke Batumi ya?" tanya Mak Keke.
Soso mengangguk, "Jalan-jalan dulu lah Mak, mumpung liburan..." jawabnya.
"Ya nggak apa-apa, Mak ngerti kamu pengen maen. Zaman dulu kan kamu nggak pernah kemana-mana. Nggak pernah diajak kemana-mana pula. Tapi bukan karena kamu menghindari pulang ke sini kan?" tanya Mak Keke.
Ah, tau juga dia soal itu, bathin Soso. Naluri seorang ibu begitu tajam, bahkan tadi pun Mak Keke sudah bilang kalau sejak siang dia sudah pengen ke sini, berarti sudah punya firasat.
"Ya enggak lah Mak, ini buktinya saya pulang..." kata Soso.
"Yaah kali aja kamu nggak setuju dengan pernikahan Mak sama Pak Koba, terus kamu jadi malas pulang..."
Soso meneguk minumannya, "Bukannya nggak setuju Mak, cuma dulu saya kaget. Sampai sekarang juga, rasanya masih aneh punya bapak baru.."
"Tapi nggak apa-apa kan?" tanya Mak Keke.
Soso menggeleng. "Tapi Mak jangan marah ya kalau saya nanti menemui Bapak..."
"Memangnya kamu tahu dimana Bapakmu?"
Soso mengangguk, "Dia pernah menemui saya di sekolah...." jawab Soso. Ia lalu menceritakan semuanya. "Tapi saya nggak tau, apa dia jadi ke Rustavi atau enggak..." tutup Soso.
"Yaah mudah-mudahan saja Bapakmu itu mulai berpikir waras, mau hidup bener. Sukur-sukur nanti dia punya bini lagi, biar ada yang mengurusinya..."
Soso diam.
"Ya sudah, Mak balik ke sono dulu ya. Kalau kamu mau ke sana sekarang ya ayo, kalau mau tidur di sini dulu juga nggak apa-apa..." kata Mak Keke lagi.
"Saya di sini aja dulu Mak..." jawab Soso.
*****
BERSAMBUNG: (63) Urusan Sudah Selesai?
Catatan:
[1] Caspian red deer (Cervus elaphus maral)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI