Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Catatan 90s: (10) Kamu Salah Jalan? Kami Salah Pulau!

28 Januari 2021   09:54 Diperbarui: 28 Januari 2021   10:10 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota Makassar, Pulau Baranglompo, dan Pulau Balanglompo (sumber: googlemaps)

Di lepas pantai Kota Makassar banyak terdapat pulau-pulau kecil yang ada penghuninya. Penghuninya ya orang lah, saya bukan mau cerita mistis kok. Kalau penghuni yang lain-lain, paling burung dan hewan-hewan lain. Penghuni yang tak keliatan tanya saja paranormal.

Tahun 90-an ketika belum banyak proyek reklamasi, ada beberapa pulau yang bisa dilihat jelas kalau nongkrong sambil makan malam di Pantai Losari. Dua yang terlihat adalah Pulau Laelae dan Pulau Laelae Caddi yang juga jadi penghalang ombak. Di sebelah utara, kalau naik ke Benteng Rotterdam, akan terlihat pulau lain, Pulau Khayangan yang jadi tempat wisata.

Lebih jauh lagi, dan tak terlihat, ada Pulau Samalona, juga pulau wisata yang cocok buat snorkeling. Pulau ini pernah dijadikan lagu oleh penyanyi reggae Imanez. Ke barat lagi ada dua pulau Kodingareng, Kodingareng Lompo dan Kodingareng Keke. Ada pulau Bonetambu yang lebih jauh, dan dua pulau lagi Bara Caddi (kecil) dan Bara Lompo (besar).

Tahun 96, saya sudah masuk semester lima, sudah saatnya jadi pengurus himpunan jurusan yang bernama KOSMIK (Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi). Setelah semua pengurus terpilih, giliran melakukan rapat kerja (raker) untuk menentukan program kerja setahun ke depan.

Saya sendiri jadi sekretaris Klub Kine dan Fotografi (KIFO), jadi wajib hadir. Rencananya, raker itu akan dilaksanakan tiga hari dua malam di Pulau Baralompo (kadang juga disebut Baranglompo), sebuah pulau yang cukup besar dengan fasilitas cukup lengkap. Hari jumat berangkat, Minggu pulang.

Sayangnya, hari Jumat itu, saya masih ada kerjaan bersama dosen saya, jadi tak bisa langsung ikut, baru bisa menyusul hari Sabtu siang. Tak apa kata kawan-kawan, rapatnya baru dimulai Sabtu siang sampai selesai. Ya sudah, saya pun berniat menyusul.

Pekerjaan bersama dosen itu melibatkan beberapa orang, banyaknya adalah para senior yang tak lagi perlu ikut rapat. Sementara yang satu angkatan yang wajib ikut raker hanya saya dan seorang kawan berasal dari Sumatera Utara, namanya Anggiat Simatupang. Saya memanggilnya Bang John. Usianya memang lebih tua, karena sebelum masuk Unhas, dua tahun ikut sekolah seminari di kampungnya. Saya dan John itulah yang akan menyusul kawan-kawan yang lain.

Sabtu siang, setelah pekerjaan yang dibegadangi itu usai, saya dan John bersiap menyusul ke Baranglompo. Senior saya yang berasal dari Lombok ditanyai, bagaimana cara pergi ke Pulau Baranglompo. Dengan yakin, Bang Ali menyebut, "Kau pergi saja ke Paotere, tanya di sana..." katanya. Paotere adalah pelabuhan kapal tradisional yang berada sebelah utara Pelabuhan Soekarno-Hatta yang dijadikan pelabuhan kapal pelni dan kapal pengangkut kontainer.

Tanpa pikir panjang lagi, saya dan John langsung naik angkot ke kota, lalu naik becak ke dalam pelabuhan Paotere. Tukang becak menunjukkan tempat kapal-kapal penumpang yang mengantar ke pulau-pulau di sekitar Makassar.

Turun dari becak, sebuah kapal kayu langsung terlihat. Tulisannya jelas, B. Lompo. Saya dan John tak bertanya lagi, langsung naik. Penumpang lain juga mulai memenuhi kapal. Kami tak kebagian tempat di dalam, terpaksa duduk di atap seperti sebagian penumpang yang lain, bersama barang-barang mereka. Kapal langsung berangkat, entah karena jadwal atau karena memang sudah penuh.

Di atas atap kapal, sesama penumpang yang lain saling mengobrol akrab. Karena sama-sama pendatang (satu orang Sunda satu orang Batak) dan tak mengerti bahasa mereka, saya ngobrol dengan John saja. Satu jam sudah lewat. Saya dan John mulai bertanya-tanya, "Kok belum sampai ya Kang, katanya nggak sampai sejam saja..." tanya John. Saya menggeleng, ya nggak tahu lah. Tadi juga soal ongkos, katanya sekian ribu, kok dua kali lipat lebih mahal.

Menjelang sore kapal baru merapat ke sebuah pulau kecil. Penumpang lain langsung bubar. Saya dan John celingak-celinguk. Kok tidak ada tanda-tanda kawan-kawan yang lain? Biasanya kalau lagi ada acara, biar serius sekalipun, pasti ada aja yang berkeliaran. Kami pun mengelilingi pulau itu, tak juga ada tanda-tanda, entah itu orang yang dikenal maupun spanduk atau apa lah. Dua kali keliling, tak ada.

Kami pun bertanya pada warga yang berkumpul di depan sebuah rumah panggung. Tapi tak ada seorang pun yang tahu soal kegiatan mahasiswa. "Setahu saya, ada mahasiswa di sini itu dua bulan yang lalu, anak-anak yang KKN, dari Unhas juga..." kata seorang warga. Bingung lah kami.

"Memangnya dimana rapatnya?" tanya yang lain. "Di pulau Pak, Baranglompo..." jawab kami. "Baranglompo?" meledaklah tawa orang-orang yang berkumpul itu. Sementara kami makin kecut. Ada apakah gerangan?

Setelah tawanya reda, seseorang menjelaskan. "Dek, ini bukan Pulau Baranglompo. Ini Pulau Balanglompo! Kalau Baranglompo itu di Makassar, ini di Pangkep!" (Kabupaten Pangkajene Kepulauan, kabupaten di sebelah utara Kota Makassar setelah Kabupaten Maros yang bagian daratannya di Pulau Sulawesi hanya sedikit, sisanya pulau-pulau kecil di Selat Makassar sampai ke dekat perairan Masalembu di Laut Jawa yang berbatasan dengan Kabupaten Sumenep Madura sana!).

Lemes lah sudah kami. Sudah hari makin sore, salah pulau dan salah kabupaten pula! Hanya karena perbedaan sebuah huruf 'R' dan 'L' tapi jauuuuh.... Baranglompo dan Balanglompo!

 "Kalau mau ke Baranglompo, harusnya naik kapalnya dari Kayubangkoa, bukan dari Paotere!" kata warga yang lain. Nah itu, saya juga sudah rada ragu sejak diberi tahu Bang Ali. Di Makassar memang ada satu dermaga kecil lagi, namanya Kayubangkoa, letaknya tak jauh dari Benteng Rotterdam. Saya pernah naik kapal kecil dari situ waktu main ke Pulau Kayangan!

"Jadi bagaimana kalau kami mau ke sana sekarang?" tanya John setelah sadar kami nyasar pulau. "Ya besok pagi, naik kapal ke Paotere, terus ke Kayubangkoa, baru naik kapal ke sana!" jawab warga. Menginap dulu? Jelas nggak bisa lah, acara di sana pasti sudah mulai. Kalau datang besok, acaranya sudah selesai, jangan-jangan malah sudah bubar!

"Tak ada yang langsung?" tanya John. Warga menggeleng semua. "Kecuali kalau kalian mau sewa kapal. Tapi itu juga susah, belum tentu ada yang berani. Kalau sudah sore begini ke sana itu melawan ombak, ombaknya sudah mulai besar pula!"

Seorang warga kemudian menghubungi pemilik kapal, kapal kecil yang tadi kami tumpangi dari Paotere. Dia bersedia mengantar kami langsung ke Baranglompo, tapi minta ongkos 150 ribu. "Sudah murah itu dek, cuma buat bensin saja. Apalagi kita PP tanpa penumpang lain..."

John melirik saya. Dia tak punya duit segitu. Sialnya, atau malah untungnya? Saya mengantongi duit 250 ribu, honor liputan dari majalah HAI edisi liburan yang baru saya cairkan. Apa boleh baut, saya pun menyetujuinya. Tak ada pilihan.

Setelah pamit pada warga yang sebagian masih menertawakan 'nasib' kami, saya dan John naik lagi ke kapal yang tadi. Kosong. Hanya berempat. Saya, John, dan dua kru. Ombak Selat Makassar sudah tinggi. Celakanya, kami menuju ke arah selatan alias melawan ombak. Tadinya kami duduk di dalam, tapi karena jendelanya tak berkaca, air laut masuk dari segala arah, kami tetap basah kuyup.

Saya dan John memilih keluar, berdiri di anjungan, bersandar di atap rendah kapal itu. Kapal kayu yang kosong itu benar-benar menjadi sasaran ombak, dihantam dari depan, dilawan dengan mesin kecil. Basah kuyuplah sudah, ya baju, ya tas. Saya dan John 'dipaksa' menikmati ketegangan itu. Kami merentangkan tangan (inget adegan Leonardo di Caprio dan Kate Winslet dalam film Titanic? Percayalah, adegan itu diilhami oleh kami, hehe... setidaknya kami sudah melakukannya sebelum film itu muncul lebih dari setahun kemudian, akhir 1997).

Entah berapa jam kami melawan ombak. Yang jelas, kami tiba di Pulau Baranglompo setelah hari gelap. Tak salah lagi. Di sekitar dermaga sudah banyak kawan-kawan yang nongkrong, menunggu makan malam sebelum rapat dilanjutkan. Mereka keheranan melihat kami basah kuyup. Lebih heran lagi, karena kami tiba malam, padahal tak ada kapal ke sana malam-malam.

Meski tengsin dan malas cerita, cerita itu bocor juga. Hari itu dua kali kami diketawai orang di dua pulau yang hanya beda huruf 'R' dan 'L' itu. Malam itu, meski rapat masih berlanjut, kami tak ikut. Saya dan John meriang. Pakaianpun dipinjami kawan yang lain, tanpa daleman pula...

Siapa yang salah? Ya kami sendiri lah, sudah hanya mengandalkan informasi dari Bang Ali yang juga pendatang, tak mau bertanya pula selama di perjalanan. Tapi siapa yang menyangka memang, nama kapal yang kami naiki juga cukup meyakinkan B. Lompo, tak ditulis lengkap. Kalaupun ditulis lengkap, Balanglompo, mungkin kami juga nggak bakalan ngeh. Sama saja.

Tak apalah, meski kecut, duit melayang banyak, kalau mengingat peristiwa itu, saya dan John pasti tertawa terbahak-bahak. "Kita sudah mengilhami film Titanic Kang, ayo minta royalti sama James Cameron..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun