"Tiflis itu seperti Pelacur Tua, haha..." katanya sambil tertawa, "Jalannya lebar dan beraspal, tamannya indah, gedung teater megah, tapi hanya riasan semata. Sementara pasar adalah giginya yang menghitam, dan tubuhnya penuh luka, kuburan dan ladang yang hancur karena perang.[1] Masyarakatnya kehilangan jiwa, dijamah oleh orang-orang Rusia, bahkan Armenia..."
Soso melongo. Ia makin takjub dengan pemikiran lelaki yang berdiri di sampingnya itu. Tapi masih dengan sebuah pertanyaan besar. Kenapa orang yang terlihat begitu anti-Rusia itu bisa menjadi 'orang kepercayaan' Rusia di Poti!
"Bagaimana Tuan bisa mengenal Pangeran Ilia Chavchadze?" tanya Soso.
"Orang-orang Georgia yang terpelajar pasti mengenalnya. Tak bisa dipungkiri bahwa pemikiran-pemikirannya banyak mengilhami gerakan nasionalisme baru Georgia. Termasuk aku...." jawabnya. "Soal nasionalisme, aku sejalan dengan pemikirannya. Tapi banyak pula hal-hal yang tidak sejalan dengannya..."
"Orang-orang menyebut mereka yang sejalan dengan pemikiran Pangeran Ilia sebagai Piverli Dasi.[2] Bahwa pertanian dan kedaulatan pangan warga Georgia itu penting. Tapi di masa depan, Georgia tak bisa hanya mengandalkan lagi dari urusan pertanian. Dunia ini berkembang dengan pesat. Pemikiran-pemikiran baru seperti kapitalisme berikut industrialisasi dan sebagainya, perlu juga dipikirkan. Tapi bukan dengan menjadi korban, melainkan menjadi pemain. Kapitalisme di Georgia saat ini hanya menguntungkan para pemodal Rusia, sementara tak ada orang Georgia yang menjadi pemodal. Itu yang harus dipikirkan!" lanjutnya.
"Saya membaca buku Marx tentang kapitalisme...." kata Soso.
"Oh ya? Apa pendapatmu?" tanya Tuan Nikoladze.
"Seingat saya dia mengkritik kapitalisme itu sebagai sebuah sistem yang melahirkan kelas-kelas baru dalam masyarakat..." jawab Soso.
"Ya..." kata Tuan Nikoladze. "Tapi kapitalisme nyaris tak bisa dihindari lagi. Karena itu, bukan kapitalismenya yang harus dihindari, tapi penguasaan modalnya..."
Soso mengikuti langkah kaki lelaki itu. Sebuah perbincangan yang menarik baginya. Mendengarkan pemikiran orang-orang yang sudah berbuat, tak hanya menggulirkan wacana. Meski mungkin tetap saja ada celah untuk didiskusikan.
"Karena itu, ketika kapitalisme tak bisa dilawan, kita harus berkompromi dengannya. Aku dan beberapa kawan seperti Giorgi Tsereteli, Petre Umikashvili, Sergei Meskhi,[3] berpikir bahwa, kapitalisme itu harus diadopsi di Georgia, dengan beberapa penyesuaian..." kata Tuan Nikoladze lagi.