"Bapak tahu kenapa saya sekolah di seminari yang didirikan oleh Gereja Rusia?" tanya Soso.
Lelaki itu menggeleng.
"Karena politik..." kata Soso. "Coba Rusia tak pernah masuk ke Georgia. Apakah kami akan seperti mereka? Belum tentu kan? Mungkin saja kami, termasuk saya, masih jadi penganut pagan. Atau jadi Muslim kalau Persia atau Ottoman bertahan lebih lama. Atau mungkin tak beragama sama sekali...."
Pak Sorokoff mengangguk-angguk, "Aku sebetulnya canggung berhadapan denganmu..." katanya. "Kalau kau bilang politik, aku adalah musuhmu, karena aku orang Rusia. Kalau kau bilang agama, aku juga adalah musuhmu, karena kamu sekarang yang menjadi 'Rusia' sementara aku bukan...."
"Karena itulah," kata Soso, "ketika politik Rusia bergabung dengan agama, maka kita menjadi sekutu. Setidaknya orang senasib..." kata Soso.
Saat itu Pak Hameed datang bersama dengan si Vaso yang tampak masih sangat mengantuk.
"Benar..." kata Pak Sokoroff, "Termasuk Pak Hameed kawanku ini. Kalau dia malah musuh agama dan musuk politik sama Rusia..." sambungnya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kalian ngobrol apa?" tanya Pak Hameed.
"Sudahlah, nanti kita lanjutkan..." kata Pak Sorokoff sambil berdiri. Ia lalu berjalan ke belakang rumahnya, dan tak berapa lama, kembali lagi bersama istrinya membawakan makanan.
Sebuah panci besar berisi sup berwarna merah darah disajikan bersama beberapa potong roti.
Istrinya Pak Sorokoff membagikan piring berisi masing-masing sepotong roti, lalu menuangkan sup kental yang masih mengepulkan asap itu di atasnya.