Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Beauty Pilihan

Catatan 90s: (6) Kemeja Flannel Keramat

17 Januari 2021   11:20 Diperbarui: 17 Januari 2021   11:25 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari dulu, saya tak terlalu suka pakai kemeja. Kalau sekarang sering pakai, itu lebih karena tuntutan pekerjaan saja. Pilihannya hanya kemeja 'biasa' atau kemeja batik.

Sebelum masuk kuliah dulu, saya dibelikan tiga potong kemeja lengan panjang oleh Emak, untuk kuliah. Dua kemeja kain 'biasa' dan satunya lagi kemeja flannel kotak-kotak yang saat itu lagi tren. Tapi kemeja flannel saya itu rada nyeleneh warnanya. Bukan kotak-kotak papan catur hitam-putih seperti pada umumnya, tapi biru-oren-putih. Kemeja flannel itulah favorit saya dulu, karena tidak biasa.

Awal kuliah, tiga kemeja itu dipakai bergantian. Tapi lama kelamaan mulai saya tinggalkan. Di kampus waktu itu, ternyata tak terlalu ketat soal aturan pakaian. Pake kaos oblong alias T-shirt pun tak masalah. Sepatu juga begitu. Banyak kawan yang masuk kelas pake sandal jepit biasa dan tidak dipermasalahkan.

Jangankan pakaian, di kelas pun masih bisa merokok, dan tak ada yang protes. Gimana mau protes kalau dosen juga pada ngebul sambil ngajar. Nggak ada AC-AC-an. Kipas angin pun tak ada. Cukup buka jendela yang berderet kiri kanan, selesai.

Ya sudah, saya pun balik ke selera asal, ngampus pake celana jeans, kaos oblong --banyaknya C-59 yang gambarnya macem-macem dengan sablonan bagus dan awet---dan sepatu. Sendal jepit jarang, sesekali saja.

Kemeja-kemeja yang hanya tiga potong itu daialihtugaskan, hanya untuk urusan-urusan 'resmi.' Masuk tahun 95-an saya mulai aktif di pers kampus. Selain reporter, tugas tambahan saya adalah fotografer, karena sudah punya kamera SLR yang juga dipake buat nyari tambahan penghasilan.

Penerbitan pers kampus dalam bentuk majalah tidak terlalu rutin. Bukan apa-apa, soal biaya terbit saja yang susah. Yang paling rutin adalah pengelolaan majalah dinding (mading) yang dipajang di lorong kelas. Namanya Acta Diurna --mengambil nama papan pengumuman zaman Romawi yang dianggap sebagai cikal bakal kegiatan per situ. Mading itu rutin terbit, dua minggu sekali. Formatnya masih diketik dan ditempel, dikasih ilustrasi dan sesekali foto.

Meski hanya dalam bentuk mading, pengelolaannya serius. Saya sering membuat liputan di luar kampus. Terutama konser-konser musik. Nonton, motret, tulis, ketik, kasih foto hasil liputannya, pajang. Entah berapa banyak artis dan band yang saya liput, ada beberapa yang juga berhasil saya wawancara. 

Seingat saya, sejak tahun 95-an saya sudah meliput konsernya Java-Jive, Dewa-19, Kahitna, Protonema, Pure Saturday, /rif, Warna, Base Jam, Ab-Three, Trie Utami, Utha Likumahua, Nafa Urbach, Rossa, Sania, dan lain-lain, termasuk Slank yang baru ganti formasi setelah memecat Pay, Indra, dan Bongky.

Waktu mading menayangkan liputan Slank dan memuat fotonya. Beberapa hari kemudian kaca penghalangnya pecah. Foto Kaka yang sedang beraksi hilang dicopot! Mungkin mahasiswa yang juga Slanker yang mengambilnya. Entahlah.  

Apakah saya harus keluar duit untuk menonton konser-konser itu? Tidak. Meski hanya 'wartawan mading,' saya selalu sukses meyakinkan panitia untuk mengizinkan saya masuk. Ada saja alasannya, dan kamera SLR saya, meski tidak terlalu canggih, cukup meyakinkan mereka kalau saya adalah 'wartawan' serius.

Kadang pula saya mendekati panitia jauh sebelum konser. Biasanya yang saya pakai adalah jalur radio yang sering dijadikan media partner. Untungnya, saya punya banyak temen yang jadi penyiar radio, jadi lebih gampang mendapatkannya. Bukan hanya tiket masuk yang didapat kalau pake jalur radio ini, kadang diajak juga bertemu dan wawancara singkat dengan para artis ini saat mereka melakukan wawancara di radio.

Bonusnya lagi, bisa foto-foto bareng dan santai dengan fara artis itu. Para kru radio sering minta difotokan oleh saya dengan artis-artis itu, dan dikasih cetakan fotonya nanti kalau sudah jadi. Nggak apa-apa, itu capital relationship, biar saya selalu dipanggil kalau ada acara seperti itu lagi.

Tapi ya itu, karena kameranya rada-rada susah buat orang kebanyakan, jadinya kalau giliran saya yang minta difotokan, banyak yang gagal. Entah itu komposisinya yang nggak bagus lah, kurang fokus lah, posenya nggak enak dilihat lah. Macem-macem. Sementara foto mereka bagus-bagus, setidaknya standar lah. Begitulah nasib fotografer zaman dulu, motret orang hasilnya bagus, foto sendiri jarang yang bagus, kecuali difoto oleh sesama fotografer.

Banyak juga ternyata saya berfoto dengan artis dan orang-orang terkenal saat itu. Ya itu tadi, fotonya banyak yang nggak terlalu bagus. Momennya keren, fotonya tak berhasil mengabadikannya. 

Satu foto yang gagal dan saya sesali adalah foto bareng dengan Dhani, pentolan Dewa-19. Padahal saya sedang dalam 'adegan' ngobrol santai. Lensa kamera terputar dalam mode zoom full saat saya menyerahkan padanya. Hasilnya, dalam ruangan yang kecil, dizoom pula. Hasilnya? cuma janggut Dhani dan sedikit wajah saya yang terlihat, itupun ngeblur.

Dari foto-foto yang bisa diselamatkan --entah itu bagus atau tidak---ternyata ada satu hal yang lama tidak saya sadari. Foto-foto saya dengan orang-orang ngetop itu, baik artis, pejabat sampai penyair Taufiq Ismail dan Sutardji Chalzoum Bachri, ternyata punya banyak kesamaan; saya selalu memakai kemeja flannel yang satu itu; yang kotak-kotak biru-oren-putih itu. Padahal rentangnya dari tahun 95-99. Artinya, kemeja itu adalah kemeja keramat. Keramat karena itu pemberian dari almarhum Emak, juga karena sudah 'bersentuhan' dengan banyak prang ngetop!

Foto di atas hanya dua dari foto-foto saya bersama orbek (orang beken, istilah 90s) dengan kemeja itu. Tolong dilihat saja kemejanya, jangan fokus pada wajah saya yang tegang, hehe). Yang kiri bersama Widi AB-Three tahun 95, dan yang kanan bersama Rossa malam tahun baru 99.

Kemeja keramat itu, sudah pensiun sejak tahun 2001 saat pindah ke Jakarta. Kainnya sudah tipis. Tapi ketika saya pindahan ke Jogja tahun 2009, kemeja itu masih saya bawa, dan saya simpan sampai sekarang, meski tak pernah dipakai lagi.

Suatu saat, kalau saya jadi orang terkenal lalu meninggal dan akan dibuatkan musium, silakan pajang kemeja itu. Itu salah satu benda penting buat saya. Masalahnya hanya, saya akan terkenal sebagai apa? Dan siapa pula yang mau membuatkan musimnya....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun