Kadang pula saya mendekati panitia jauh sebelum konser. Biasanya yang saya pakai adalah jalur radio yang sering dijadikan media partner. Untungnya, saya punya banyak temen yang jadi penyiar radio, jadi lebih gampang mendapatkannya. Bukan hanya tiket masuk yang didapat kalau pake jalur radio ini, kadang diajak juga bertemu dan wawancara singkat dengan para artis ini saat mereka melakukan wawancara di radio.
Bonusnya lagi, bisa foto-foto bareng dan santai dengan fara artis itu. Para kru radio sering minta difotokan oleh saya dengan artis-artis itu, dan dikasih cetakan fotonya nanti kalau sudah jadi. Nggak apa-apa, itu capital relationship, biar saya selalu dipanggil kalau ada acara seperti itu lagi.
Tapi ya itu, karena kameranya rada-rada susah buat orang kebanyakan, jadinya kalau giliran saya yang minta difotokan, banyak yang gagal. Entah itu komposisinya yang nggak bagus lah, kurang fokus lah, posenya nggak enak dilihat lah. Macem-macem. Sementara foto mereka bagus-bagus, setidaknya standar lah. Begitulah nasib fotografer zaman dulu, motret orang hasilnya bagus, foto sendiri jarang yang bagus, kecuali difoto oleh sesama fotografer.
Banyak juga ternyata saya berfoto dengan artis dan orang-orang terkenal saat itu. Ya itu tadi, fotonya banyak yang nggak terlalu bagus. Momennya keren, fotonya tak berhasil mengabadikannya.Â
Satu foto yang gagal dan saya sesali adalah foto bareng dengan Dhani, pentolan Dewa-19. Padahal saya sedang dalam 'adegan' ngobrol santai. Lensa kamera terputar dalam mode zoom full saat saya menyerahkan padanya. Hasilnya, dalam ruangan yang kecil, dizoom pula. Hasilnya? cuma janggut Dhani dan sedikit wajah saya yang terlihat, itupun ngeblur.
Dari foto-foto yang bisa diselamatkan --entah itu bagus atau tidak---ternyata ada satu hal yang lama tidak saya sadari. Foto-foto saya dengan orang-orang ngetop itu, baik artis, pejabat sampai penyair Taufiq Ismail dan Sutardji Chalzoum Bachri, ternyata punya banyak kesamaan; saya selalu memakai kemeja flannel yang satu itu; yang kotak-kotak biru-oren-putih itu. Padahal rentangnya dari tahun 95-99. Artinya, kemeja itu adalah kemeja keramat. Keramat karena itu pemberian dari almarhum Emak, juga karena sudah 'bersentuhan' dengan banyak prang ngetop!
Foto di atas hanya dua dari foto-foto saya bersama orbek (orang beken, istilah 90s) dengan kemeja itu. Tolong dilihat saja kemejanya, jangan fokus pada wajah saya yang tegang, hehe). Yang kiri bersama Widi AB-Three tahun 95, dan yang kanan bersama Rossa malam tahun baru 99.
Kemeja keramat itu, sudah pensiun sejak tahun 2001 saat pindah ke Jakarta. Kainnya sudah tipis. Tapi ketika saya pindahan ke Jogja tahun 2009, kemeja itu masih saya bawa, dan saya simpan sampai sekarang, meski tak pernah dipakai lagi.
Suatu saat, kalau saya jadi orang terkenal lalu meninggal dan akan dibuatkan musium, silakan pajang kemeja itu. Itu salah satu benda penting buat saya. Masalahnya hanya, saya akan terkenal sebagai apa? Dan siapa pula yang mau membuatkan musimnya....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H