Memilih kuliah jauh di pertengahan tahun 90-an rasanya memang penuh tantangan. Yang paling repot adalah soal mengolah keuangan, dan bertahan jika kehabisan uang sementara kiriman uang belum tiba. Saya merasakan betul hal ini.
Belum genap sebulan menjadi mahasiswa baru, bekal uang yang dibawa dari kampung sudah sangat menipis. Habis untuk ini-itu, mulai dari peralatan di kosan, keperluan kuliah, ongkos kesana-kemari, dan tentu saja untuk biaya makan sehari-hari.
Soal makan sebetulnya saya tak boros-boros amat. Saya cepat beradaptasi dengan lingkungan. Di sekitaran kampus Unhas waktu itu, banyak warung makan. Kebanyakan pemiliknya adalah orang-orang dari Jawa. Bangunan warung didirikan di atas rawa-rawa di pinggiran tembok kampus.
Dari tempat kos saya, harus melewati 'gang' berupa jembatan kayu yang alasnya jarang-jarang selebar satu meteran. Kalau berpapasan dengan orang lain, harus hati-hati, jangan sampai bersenggolan, bisa nyemplung ke rawa. Saya pernah nyemplung sekali gara-gara menginjak bagian pinggir dan paku di ujung sana sudah lepas. Alhasil, rencana pergi kuliah batal karena badan belepotan lumpur rawa.
Salah satu warung langganan saya, namanya Warung Dian, persis di jalan tikus di belakang Gedung Workshop Fakultas Teknik. Di situ, makanannya lumayan masuk selera saya. Yang terkenal adalah nasi ayamnya, seporsi dulu 750 rupiah. Menurut kawan yang sekarang jadi dosen di almamater saya, warung itu masih ada, bergeser lokasinya sedikit dan sudah menempati bangunan permanen, bukan rumah panggung dengan lantai kayu lagi.
Tapi ya itu, dulu warung-warung makan paling cepat buka jam 10 pagi. Kebiasaan sarapan saya bergeser lebih siang, makin lama makin siang, akhirnya sarapan digabungkan makan siang, ditambah nanti sore atau malam. Dua kali sehari.
Makan dua kali sehari berarti saya perlu 1.500, kali tigapuluh hari, sebulan setidaknya butuh 45.000 rupiah. Ke kampus tak perlu ongkos, tinggal jalan kaki. Keperluan lainnya adalah patungan listrik yang dibagi rata seluruh penghuni kos, rata-rata 5.000 perbulan.
Ketika bekal menipis, saya segera mengirim surat ke kampung, memberi tahu alamat kosan, dan juga perkiraan kebutuhan perbulan. Saya mengajukan uang seratus ribu sebulan. Teman sekamar yang anak kedokteran, mengajukan 200 ribu. Maklum, dia banyak praktikum.
Setelah menunggu lebih dari seminggu dengan kondisi keuangan yang makin kritis, sampai harus mengurangi makan nasi menjadi sekali sehari, penyelamat itu datang. Ada kiriman uang untuk saya dalam bentuk WP, Wesel Pos. Nilainya? Jauh dari proposal yang diajukan. Angka yang tercantum hanya 50.000. Ada catatan di sampingnya, tulisan Bapak "Untuk biaya hidup sebulan. Nanti kiriman setelah tanggal 4, menunggu gajian."
Sebulan 50 ribu? Untuk makan saja, hitung-hitungannya perlu 45.000, sisanya buat listrik. Untuk yang lain-lain? Tapi mau apa lagi, saya harus bersiap untuk mengelola uang itu selama sebulan ke depan. Nanti lah dipikirkan bagaimana, yang penting uang harus dicairkan dulu.
Tapi ternyata, mencairkan WP tidak mudah. Tidak semua kantor pos bisa mencairkan dana. Paling aman, pergi ke kota, ke kantor pos pusat. Berangkatlah ke sana. Dan ternyata, itu juga tidak bisa langsung cair. Saya diminta menunjukkan KTP yang sesuai dengan alamat kirim. Jelaslah saya kelabakan.Â
Petugas loket menyarankan saya untuk meminta tandatangan RT/RW terus ke kelurahan minta distempel, untuk menguatkan kalau saya memang tinggal di alamat itu. Persoalannya, untuk sampai ke kantor pos itu, saya sudah mengabiskan sisa uang saya. Mana sempet-sempetnya jajan es dulu lagi. Kirain bisa langsung balik bawa duit!
Karena kasihan, petugas loket menyuruh saya menghadap atasannya, entah apa jabatannya, yang jelas bukan kepala kantor pos lah. Saya menceritakan masalahnya. "Kiriman dari mana?" tanya pegawai pos yang lebih tinggi jabatannya itu. "Dari orang tua Pak, dari Ciamis.." jawab saya.
"Kamu orang Ciamis?" tanya si bapak, eh, belum bapak-bapak banget sih, masih muda, mungkin belum sampai 30 tahunan. Taunya, si bapak itu orang Sunda, dari Bandung. Ah, lega rasanya ketemu orang sekampung. Setelah berkenalan dan bercerita ngalor-ngidul dulu, Kang Nunuy, namanya, bersedia menolong mencairkan WP saya dengan satu pesan, "Besok suruh bapakmu kirim pake alamat kampus. Sebelum ke kantor pos, minta tandatangan orang tata usaha, sekalian stempelnya. Jangan lupa, bawa kartu mahasiswa. Dijamin langsung cair!"
Ah, begitu rupanya cara 'aman' mencairkan WP. Bulan-bulan berikutnya urusan pencairan tak lagi ruwet. Yang bikin ruwet adalah angkanya yang tidak bergerak, tetap segitu! Tak berani saya minta tambah pada Bapak. Karena saya yakin, kalau ada, pasti dikasih lebih.
Ternyata, bisa juga saya hidup dengan kiriman bulanan sebesar itu. Ada saja rezeki dari kiri dan kanan yang membuat saya bisa bertahan. Sejak itu saya tambah yakin bahwa rezeki itu rahasia Tuhan. Tak perlu memikirkan angka-angka yang tak masuk akal itu. Pun sampai sekarang, soal gaji yang saya terima. Angka-angka itu takkan membesar hanya dipelototin.
Teman sekamar saya, proposalnya dikabulkan, kirimannya 200 ribu sebulan. Tapi selalu mengeluh menjelang akhir bulan, sementara saya kadang masih ada sisanya. Sesekali meminjamkannya meski bukan angka yang besar. Pernah malah kiriman wesel sebulan saya dipinjam untuk keperluannya dan baru diganti beberapa minggu kemudian. Tapi tetap saja saya masih bisa makan dan berangkat ke kampus.
Kiriman melalui Wesel Pos menyambung hidup saya hampir selama dua tahunan. Tahun pertama angkanya tak berubah. Tahun kedua, naik sepuluh ribu, jadi 60 ribu sebulan. Tahun kedua, saya malah mendapatkan kiriman WP dari sumber yang lain, angkanya lebih besar, 100 ribuan sekali terima. Dari mana? Ingat cerita saya soal Nona M? (kalo penasaran silakan klik di sini). Lumayan, bisa bernafas lebih panjang, malah bisa membeli yang lain-lain yang tak pernah dibeli sebelumnya.
Nasib Wesel Pos sendiri saya tak tahu lagi sekarang. Mungkin layanannya masih ada. Hanya saja saya sudah lama tak menggunakannya. Sistem perbankan yang lebih canggih membuat pengiriman uang menjadi jauh lebih mudah dan cepat. Bagaimanapun nasibnya, layanan pos yang satu itu pernah begitu berjasa menyambung hidup saya di perantauan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI