Petugas loket menyarankan saya untuk meminta tandatangan RT/RW terus ke kelurahan minta distempel, untuk menguatkan kalau saya memang tinggal di alamat itu. Persoalannya, untuk sampai ke kantor pos itu, saya sudah mengabiskan sisa uang saya. Mana sempet-sempetnya jajan es dulu lagi. Kirain bisa langsung balik bawa duit!
Karena kasihan, petugas loket menyuruh saya menghadap atasannya, entah apa jabatannya, yang jelas bukan kepala kantor pos lah. Saya menceritakan masalahnya. "Kiriman dari mana?" tanya pegawai pos yang lebih tinggi jabatannya itu. "Dari orang tua Pak, dari Ciamis.." jawab saya.
"Kamu orang Ciamis?" tanya si bapak, eh, belum bapak-bapak banget sih, masih muda, mungkin belum sampai 30 tahunan. Taunya, si bapak itu orang Sunda, dari Bandung. Ah, lega rasanya ketemu orang sekampung. Setelah berkenalan dan bercerita ngalor-ngidul dulu, Kang Nunuy, namanya, bersedia menolong mencairkan WP saya dengan satu pesan, "Besok suruh bapakmu kirim pake alamat kampus. Sebelum ke kantor pos, minta tandatangan orang tata usaha, sekalian stempelnya. Jangan lupa, bawa kartu mahasiswa. Dijamin langsung cair!"
Ah, begitu rupanya cara 'aman' mencairkan WP. Bulan-bulan berikutnya urusan pencairan tak lagi ruwet. Yang bikin ruwet adalah angkanya yang tidak bergerak, tetap segitu! Tak berani saya minta tambah pada Bapak. Karena saya yakin, kalau ada, pasti dikasih lebih.
Ternyata, bisa juga saya hidup dengan kiriman bulanan sebesar itu. Ada saja rezeki dari kiri dan kanan yang membuat saya bisa bertahan. Sejak itu saya tambah yakin bahwa rezeki itu rahasia Tuhan. Tak perlu memikirkan angka-angka yang tak masuk akal itu. Pun sampai sekarang, soal gaji yang saya terima. Angka-angka itu takkan membesar hanya dipelototin.
Teman sekamar saya, proposalnya dikabulkan, kirimannya 200 ribu sebulan. Tapi selalu mengeluh menjelang akhir bulan, sementara saya kadang masih ada sisanya. Sesekali meminjamkannya meski bukan angka yang besar. Pernah malah kiriman wesel sebulan saya dipinjam untuk keperluannya dan baru diganti beberapa minggu kemudian. Tapi tetap saja saya masih bisa makan dan berangkat ke kampus.
Kiriman melalui Wesel Pos menyambung hidup saya hampir selama dua tahunan. Tahun pertama angkanya tak berubah. Tahun kedua, naik sepuluh ribu, jadi 60 ribu sebulan. Tahun kedua, saya malah mendapatkan kiriman WP dari sumber yang lain, angkanya lebih besar, 100 ribuan sekali terima. Dari mana? Ingat cerita saya soal Nona M? (kalo penasaran silakan klik di sini). Lumayan, bisa bernafas lebih panjang, malah bisa membeli yang lain-lain yang tak pernah dibeli sebelumnya.
Nasib Wesel Pos sendiri saya tak tahu lagi sekarang. Mungkin layanannya masih ada. Hanya saja saya sudah lama tak menggunakannya. Sistem perbankan yang lebih canggih membuat pengiriman uang menjadi jauh lebih mudah dan cepat. Bagaimanapun nasibnya, layanan pos yang satu itu pernah begitu berjasa menyambung hidup saya di perantauan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H