Lulus SMA di Ciamis Jawa Barat tahun 94, pesan bapak cuma satu, "Pilih kampus yang terjangkau." Sebagai pensiunan PNS golongan II yang gajinya tak seberapa, saya mafhum.Â
Bapak ingin saya kuliah, tapi tidak terlalu memberatkan keuangan keluarga. Apalagi sebelumnya, kakak saya yang berbeda usia enam tahun, kuliah di PTS, biayanya sangat mahal. Sudah begitu, gagal pula menyelesaikannya, keburu disunting orang lalu punya anak. PTN memang satu-satunya harapan saya. Saat itu memang kampus-kampus negeri masih punya gengsi tinggi, masih dianggap berkualitas, dan tentu saja, relatif murah.
Pertama saya ikut tes masuk Jurusan Desain Grafis ITB yang tesnya khusus. Alhamdulillah lulus. Tapi Bapak masih agak keberatan. Persoalannya, ada anak Om yang lumayan tajir kuliah di situ, dan si Om masih mengeluh biayanya mahal. Kata Bapak, kalau Om yang cukup kaya saja masih mengeluh, apalagi dia?
Ya sudah, harapan berikutnya tinggal menunggu hasil UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) yang sebelumnya bernama Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan kemudian diganti SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Selain desain grafis, jurusan lain yang ada di kepala saya tinggal satu; jurnalistik, karena dari kecil memang sudah senang menulis, dan pengen jadi wartawan.
Ternyata, yang mencantumkan 'jurnalistik' di antara sekian banyak PTN, hanya ada dua, Universitas Padjajaran (Bandung) dan Universitas Hasanuddin (Ujungpandang, Makassar saat ini). Â Tak ada keraguan, saya pilih Unpad pilihan satu, dan Unhas pilihan dua. Ndilalah... pas pengumuman, yang lulus pilihan dua! Saya harus hijrah jauh dari kampung halaman. Melawan arus pula. Saat itu yang paling umum adalah teman-teman dari Timur kuliah ke Barat, lah saya malah dari Barat ke Timur. Tapi nggak ada urusan, yang penting kuliah di PTN. Jauh tak masalah, sekalian berpetualang.
Masalahnya, Ibu saya, Emak saya memanggilnya, yang paling khawatir. Saya tak punya sanak-saudara di kota nan jauh itu. Kotanya seperti apa juga nggak punya bayangan. "Pilih kampus kok yang jauh. Kalau kamu kehabisan duit, mau makan apa? Kalo kamu sakit, siapa yang merawat, kalau..." pokoknya banyak kalaunya. Saya paham kekhawatiran itu, toh saya sendiri juga sebetulnya rada-rada khawatir.
Tapi kekhawatiran itu tak membuat saya mengurungkan niat. Saya tetap berangkat, dua hari setelah pengumuman. Lebih cepat lebih baik, jaga-jaga jangan sampai telat daftar ulang, sekalian cari kos dan beradaptasi. Bapak memberi bekal cukup banyak, ongkos, SPP, biaya kos, dan bekal sehari-hari untuk beberapa minggu, syukur bisa bertahan lebih lama.
Berangkatlah saya ke Surabaya, naik bis. Di Surabaya, saya mendapatkan informasi, naik pesawat terbang ke Makassar biayanya 245 ribu naik Mandala Airline. Itu yang paling murah, padahal tetap saja mahal buat ukuran saya. SPP satu semester saya 'hanya' 180 ribu, itu beneran murah dibandingkan kampus-kampus lain yang di atas 250 ribu. Karena masih ada dana, sudahlah, naik pesawat saja, biar cepat. Lagian, saya pikir, kapan lagi naik pesawat.
Sampai di bandara langsung naik taksi ke kampus dengan tas berisi barang-barang yang ukurannya lebih besar dari badan saya sendiri. Ternyata, daftar ulang belum dibuka. Itupun nanti dilakukan di kampus lama. Lah, di mana pula itu kampus lama? Kotanya saja baru saya injak!
Lagi bengong di dekat gedung rektorat yang megah menjulang tinggi sambil berpikir apa yang harus dilakukan, datanglah sebuah motor bebek Yamaha berplat L, plat Surabaya! Pasti orang Jawa, pikir saya. Saya dekati, saya sapa, dan ternyata dia memang orang Surabaya, namanya Mas Luhur. Kebetulan, dia juga senior saya, jurusannya sama, dan ke kampus untuk persiapan ospek mahasiswa baru, ya saya itu calon peserta ospeknya!
Setelah 'diinterogasi,' Mas Luhur nampaknya trenyuh melihat saya. Dia berbaik hati mengantarkan saya ke posko HIMAJATI (Himpunan Mahasiswa Jawa Timur) yang berada di belakang komplek kampus. HIMAJATI ternyata punya program tahunan, penjemputan mahasiswa baru dari Jawa yang akan kuliah di Makassar. Mereka menempatkan orang di pelabuhan dan bandara, memasang spanduk penjemputan. Tujuannya, membantu calon maba yang belum punya tempat tinggal, ditampung di posko, dibantu melakukan daftar ulang, sampai dibantu mencarikan kos-kosan. Sekalian perekrutan anggota nantinya.
Tapi saya datang terlalu cepat, program itu belum dimulai. Lagipula, saya sebetulnya bukan target. HIMAJATI umumnya diisi mahasiswa dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, pokoknya yang berbahasa Jawa. Sementara meski dari Jawa, saya berbahasa Sunda. Dan memang jarang pula orang dari Jawa Barat yang kuliah di situ. "Kau gabung saja di sini. Tapi nanti aktif juga di HIMAJATI ya!" kata Mas Luhur.
Saya mengangguk. Apa susahnya. Saya juga sudah ditolong dapat tempat tinggal sementara. Dan kegiatan awal saya justru malah jadi panitia penyambutan maba lain. Nongkrong di pelabuhan laut Soekarno-Hatta Makassar, menanyai orang-orang yang 'diduga' calon maba, lalu membawanya ke posko.Â
Ada beberapa orang yang terjaring saat itu. Salah satunya dari Madiun, namanya Heru, anak kedokteran. Ia kemudian menjadi teman sekamar saya di sebuah pondokan yang nyaris semua penghuninya berasal dari Jawa, meski pemiliknya orang Bugis. Kamar saya dan Heru, persis bersebelahan dengan kamarnya Mas Luhur yang tinggal sendirian.
Praktis, dari awal datang, daftar ulang, sampai awal-awal perkuliahan, lingkungan saya adalah lingkungan Jawa. Bahkan dalam waktu singkat, saya pun mulai bisa berbahasa Jawa (logat Suroboyan) karena hari-hari bergaul dengan mereka, baik di kosan maupun di HIMAJATI, karena saya juga ikut aktif di sana. Yah, setidaknya, meski saya 'asing' tapi tak terlalu merasa terasingkan. Menemukan 'saudara-saudara' baru, 'keluarga' baru, karena keluarga beneran memang tak ada di sana.
Ospek waktu itu yang menyeramkan --penuh dengan tekanan mental dan fisik---tak lagi dirasa terlalu berat, karena banyak teman senasib. Apalagi di kamar sebelah, Mas Luhur yang di kampus menjadi senior dan ikut meng-ospek saya (dan sok galak), di kosan selalu membesarkan hati, "Jalani saja. Nanti juga selesai. Kalau sudah selesai, semenderita apapun, ospek ini akan jadi kenangan indah!"
Ya, ospek waktu itu memang 'kejam.' Banyak mahasiswa baru yang tak tahan. Beberapa mengundurkan diri karena tak tahan. Kepala (cowok) digunduli, pake pakean dan aksesoris aneh-aneh, 'olahraga' fisik, bentakan-bentakan, permintaan aneh-aneh dari senior, dan sebagainya. Rangkaiannya juga panjang, pra-ospek, ospek, sampai nanti malam 'bina-akrab.' Kepalan tangan saya luka kiri-kanan akibat push-up di tanah kering, tulang kering benjol kena hantam tongkat, perut mules karena disuruh makan sambel setelah semua lauknya habis. Macem-macem lah (nanti lah saya cerita soal ospek ini, mumpung Kompasiana ngasih kanal khusus buat nostalgia).
Mundur? Pulang? Tidak terlintas sama sekali, meski seorang kawan sejurusan asal Majalengka menyerah dan pulang di hari kedua ospek. Apa kata dunia kalau saya pulang. Mau apa? Mau kuliah di mana? Mau bilang apa sama orangtua?
Saya bertahan. Dan berhasil. Keberadaan maba-maba lain di penampungan HIMAJATI yang senasib sangat berperan, saling membantu (menggunduli kepala saja bergantian), saling menguatkan, juga saling menertawakan nasib masing-masing yang 'tragis' tapi lucu kalau diceritakan.
Benar kata Mas Luhur, rangkaian yang dijalani maba termasuk melewati masa ospek itu, pada akhirnya menjadi kenangan yang selalu dikenang. Penuh penderitaan, tapi menceritakannya kembali menjadi bahan tertawaan yang tak pernah basi. Dan yang penting, bagi saya, rangkaian itu memperkuat mental saya sendiri. Saya menjadi jauh lebih siap menghadapi perjalanan perkuliahan selanjutnya.
Kisah ospek yang menyengsarakan itu, tak pernah sampai pada orang tua saya. Biarkan mereka tahu saya 'baik-baik' saja, toh memang begitu kenyataannya. Tak perlu menambah kekhawatiran mereka. Kuliah jauh itu pilihan saya, bukan pilihan mereka. Saya harus mempertanggungjawabkan pilihan saya itu. Dan sampai sekarang, pilihan itu tak pernah saya sesali sama sekali. Bukan saja soal ilmu yang didapat kemudian, tapi pengalamannya jauh lebih berharga, belajar hidup mandiri, belajar bertanggungjawab pada diri sendiri, dan belajar menghadapi hidup yang sebetulnya jauh lebih kejam ketimbang ospek itu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H