Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Catatan 90s: (2) Pengalaman Kuliah Jauh

11 Januari 2021   09:48 Diperbarui: 11 Januari 2021   10:25 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi saya datang terlalu cepat, program itu belum dimulai. Lagipula, saya sebetulnya bukan target. HIMAJATI umumnya diisi mahasiswa dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, pokoknya yang berbahasa Jawa. Sementara meski dari Jawa, saya berbahasa Sunda. Dan memang jarang pula orang dari Jawa Barat yang kuliah di situ. "Kau gabung saja di sini. Tapi nanti aktif juga di HIMAJATI ya!" kata Mas Luhur.

Saya mengangguk. Apa susahnya. Saya juga sudah ditolong dapat tempat tinggal sementara. Dan kegiatan awal saya justru malah jadi panitia penyambutan maba lain. Nongkrong di pelabuhan laut Soekarno-Hatta Makassar, menanyai orang-orang yang 'diduga' calon maba, lalu membawanya ke posko. 

Ada beberapa orang yang terjaring saat itu. Salah satunya dari Madiun, namanya Heru, anak kedokteran. Ia kemudian menjadi teman sekamar saya di sebuah pondokan yang nyaris semua penghuninya berasal dari Jawa, meski pemiliknya orang Bugis. Kamar saya dan Heru, persis bersebelahan dengan kamarnya Mas Luhur yang tinggal sendirian.

Praktis, dari awal datang, daftar ulang, sampai awal-awal perkuliahan, lingkungan saya adalah lingkungan Jawa. Bahkan dalam waktu singkat, saya pun mulai bisa berbahasa Jawa (logat Suroboyan) karena hari-hari bergaul dengan mereka, baik di kosan maupun di HIMAJATI, karena saya juga ikut aktif di sana. Yah, setidaknya, meski saya 'asing' tapi tak terlalu merasa terasingkan. Menemukan 'saudara-saudara' baru, 'keluarga' baru, karena keluarga beneran memang tak ada di sana.

Ospek waktu itu yang menyeramkan --penuh dengan tekanan mental dan fisik---tak lagi dirasa terlalu berat, karena banyak teman senasib. Apalagi di kamar sebelah, Mas Luhur yang di kampus menjadi senior dan ikut meng-ospek saya (dan sok galak), di kosan selalu membesarkan hati, "Jalani saja. Nanti juga selesai. Kalau sudah selesai, semenderita apapun, ospek ini akan jadi kenangan indah!"

Ya, ospek waktu itu memang 'kejam.' Banyak mahasiswa baru yang tak tahan. Beberapa mengundurkan diri karena tak tahan. Kepala (cowok) digunduli, pake pakean dan aksesoris aneh-aneh, 'olahraga' fisik, bentakan-bentakan, permintaan aneh-aneh dari senior, dan sebagainya. Rangkaiannya juga panjang, pra-ospek, ospek, sampai nanti malam 'bina-akrab.' Kepalan tangan saya luka kiri-kanan akibat push-up di tanah kering, tulang kering benjol kena hantam tongkat, perut mules karena disuruh makan sambel setelah semua lauknya habis. Macem-macem lah (nanti lah saya cerita soal ospek ini, mumpung Kompasiana ngasih kanal khusus buat nostalgia).

Mundur? Pulang? Tidak terlintas sama sekali, meski seorang kawan sejurusan asal Majalengka menyerah dan pulang di hari kedua ospek. Apa kata dunia kalau saya pulang. Mau apa? Mau kuliah di mana? Mau bilang apa sama orangtua?

Saya bertahan. Dan berhasil. Keberadaan maba-maba lain di penampungan HIMAJATI yang senasib sangat berperan, saling membantu (menggunduli kepala saja bergantian), saling menguatkan, juga saling menertawakan nasib masing-masing yang 'tragis' tapi lucu kalau diceritakan.

Benar kata Mas Luhur, rangkaian yang dijalani maba termasuk melewati masa ospek itu, pada akhirnya menjadi kenangan yang selalu dikenang. Penuh penderitaan, tapi menceritakannya kembali menjadi bahan tertawaan yang tak pernah basi. Dan yang penting, bagi saya, rangkaian itu memperkuat mental saya sendiri. Saya menjadi jauh lebih siap menghadapi perjalanan perkuliahan selanjutnya.

Kisah ospek yang menyengsarakan itu, tak pernah sampai pada orang tua saya. Biarkan mereka tahu saya 'baik-baik' saja, toh memang begitu kenyataannya. Tak perlu menambah kekhawatiran mereka. Kuliah jauh itu pilihan saya, bukan pilihan mereka. Saya harus mempertanggungjawabkan pilihan saya itu. Dan sampai sekarang, pilihan itu tak pernah saya sesali sama sekali. Bukan saja soal ilmu yang didapat kemudian, tapi pengalamannya jauh lebih berharga, belajar hidup mandiri, belajar bertanggungjawab pada diri sendiri, dan belajar menghadapi hidup yang sebetulnya jauh lebih kejam ketimbang ospek itu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun