Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (42) Iblis

7 Januari 2021   12:06 Diperbarui: 8 Januari 2021   11:04 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Itu bukan menjelajah, tapi eksodus. Terpaksa menjelajah karena tak punya kampung lagi!" kata si Lado. "Tapi mungkin juga itu bisa disebut menjelajah, karena pelan-pelan mereka mulai berkuasa di mana-mana. Pelan tapi pasti. Di sini saja sudah mulai kan? Tuh tanya si Soso yang punya sahabat orang Yahudi!"

Soso nyengir saat Lado menyinggung teman Yahudinya, yang tak lain Pak Yedid, pemilik toko buku itu. Ia sendiri merasa tidak ada yang salah soal pertemanannya dengan Pak Yedid, menguntungkan malah. Tapi entah kenapa, si Lado selalu sentimen kalau ngomongin Pak Yedid, dan selalu menyebutnya ebrauli, Yahudi, tanpa mau menyebut namanya, padahal dia juga sudah kenal.

"Kenapa sih kamu benci banget sama orang Yahudi?" tanya Soso.

Lado tersenyum, "Aku nggak benci, cuma nggak suka aja..." jawabnya. "Mereka itu bukannya mengurusi nasibnya sendiri, tapi malah mengemis-ngemis minta bantuan kemana-mana. Seolah hanya mereka saja yang punya masalah besar!"

"Memang masalah mereka lebih besar dari masalah kita ya?" tanya Seva.

"Sebetulnya sama saja.." jawab si Lado lagi, "Kampung mereka itu menjadi perebutan, bukan saja soal wilayah, tapi soal simbol agama. Apa bedanya coba dengan kita? Wilayah kita juga sudah sejak lama jadi perebutan. Sungai Kura itu sudah berabad-abad lamanya menjadi simbol penaklukan. Kalau kau berhasil menyeberanginya, baik ke utara maupun ke selatan, sudah dianggap sukses. Tapi kita? Siapapun yang menguasai, kita tak pernah meninggalkan kampung halaman kita sendiri!"

"Karena tidak pernah diusir!" kata Soso.

"Kenapa diusir? Karena mereka tak pernah mau kompromi!"

"Ngomong-ngomong, kampungnya orang Yahudi itu penghasil apa sih? Kok diperebutkan terus?" tanya si Seva.

"Penghasil nabi-nabi!" jawab Lado sambil tertawa, "Termasuk nabi-nabi yang kalian puja!"

Lagi asyik ngobrol ngalor-ngidul nggak jelas, dua teman si Lado, Silva dan Noe Zhordania datang. Soso langsung merasa tak nyaman. Silva memang bermulut kasar, tapi ia masih terlihat menghormati perasaan orang lain. Berbeda dengan si Nunu yang kemarin memuji puisinya, tapi juga merendahkannya dengan terang-terangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun