PERINGATAN: Sebelum meneruskan membaca tulisan ini, saya hanya ingin mengingatkan, jika Anda mencari artikel yang bisa membuat Anda ketawa, jangan lanjutkan membaca tulisan ini. Cari saja artikel yang lain yang tayang hari ini di Kompasiana, saya jamin Anda akan banyak menemukannya.Â
Jangan mengira tulisan ini akan lucu, sehingga nantinya Anda merasa tertipu karena sampai selesai tidak ketawa atau bahkan senyum sekalipun. Sebaliknya, jika Anda penasaran kenapa orang di seluruh dunia, termasuk orang Indonesia butuh ketawa, silakan lanjutkan. Tapi tolong jangan ketawa, karena --sekali lagi---tulisan ini tidak lucu. Ini tulisan serius. Sangat serius.
Tertawa atau Ketawa?
Pertanyaan pertama, mana yang baku menurut Bahasa Indonesia. Tertawa atau ketawa? Untuk ini saya tidak akan membahasnya. Banyak ahli bahasa di Kompasiana ini, misalnya Daeng Khrisna Pabhicara. Jadi daripada saya salah, biarkan mereka yang ahli yang meluruskannya. Di tulisan ini, saya akan menggunakan kata 'ketawa' alih-alih 'tertawa.' Bukan karena saya merasa itu yang benar, tapi karena program 'PETASAN' Kompasiana menggunakan kata ini. Daripada saya gagal menang, mendingan saya kena sentil atau diceramahi Daeng Khrisna, masih bisa minta maaf belakangan.
Kenapa Orang Ketawa?
Pertanyaan kedua ini jawabannya gampang; karena lucu. Iya, itu mah anak kecil juga tahu. Tapi kenapa yang dianggap lucu itu kemudian membuat orang ketawa? Untuk menemukan jawabannya, saya bertanya pada Mbah Google. Ia kemudian menyarankan saya membaca penjelasan Plato. Iya, Plato, filsuf Yunani itu, bukan anggota grup lawak Patrio. Kalau yang anggota Patrio itu saya yakin pernah membuat Anda ketawa, tapi --mungkin---tidak akan bisa menjelaskan kenapa dia membuat Anda ketawa.
Nah menurut almarhum Plato, orang ketawa karena merasa dirinya superior dibandingkan orang lain. Ini sejenis dengan pembagian tokoh dalam fiksi; protagonis dan antagonis. Dalam kehidupan nyata, tak ada pembagian itu. Kenapa? Karena semua protagonis adalah 'Saya,' sehingga 'saya' bisa menempatkan siapapun yang tidak 'saya' sukai (merugikan) sebagai antagonis. Terus kenapa perasaan superior itu membuat orang ketawa? Karena 'saya' selalu lebih hebat, lebih pintar, lebih beruntung, dst, daripada orang lain.
Contohnya; ketika ada orang kepleset, 'saya' pun ketawa karena lebih beruntung atau lebih berhati-hati dari dia. Kalau 'saya' yang kepleset? Ya misuh-misuh. Diketawain, ya tambah misuhnya. Contoh lain, kasus Coki Pardede yang berpose memberi minuman di depan gambar anak-anak kurus.Â
Coki merasa superior dibanding anak-anak yang terlihat kelaparan itu, jadi menurutnya itu lucu. Kenapa 'saya' yang ketawa? Karena 'saya' lebih superior daripada Coki, dan menganggapnya goblok, masak iya gambar dikasih minuman. Coba kalau si Coki ngasih minuman langsung di depan anak-anak itu, apa 'saya' masih tertawa?
Peter McGraw dan Caleb Warren mengembangkan teori Plato itu dengan menyebutnya sebagai 'Teori Ketidaksesuaian.' Intinya sih nyaris sama, orang akan ketawa jika melihat adanya ketidaksesuaian tetapi tidak dianggap membahayakan bagi dirinya.
Contohnya; Kabul Basuki anggota Srimulat itu jelas laki-laki (jangan bilang saya sudah membuktikannya ya!), tapi di panggung dia memperkenalkan diri sebagai Tessy, nama yang feminin.Â
Wong dia nyomot nama putri sulungnya, Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik. Ketika seorang lelaki dengan badan berotot mengaku bernama 'Tessy' dan memakai pakaian perempuan, itu jelas tidak sesuai. Tambah tidak sesuai lagi karena 'cewek' kok pake cincin akik segambreng.Â
Itu namanya jukta-jukta posisi. Kenapa disebut tidak membahayakan? Karena kalau Anda (cowok) yang pake, apa itu nggak bahaya? Apalagi kalau keluar bawa-bawa kecrekan dan nyanyi-nyanyi di pinggir jalan. Sudah menjadi bahwan ketawaan, terancam diangkut Satpol PP pula.
Contoh lain, kalau teman Anda bilang, "Jangan lewat kuburan itu, ada kuntilanak gentayangan," ngomongnya pas malam jumat kliwon, gelap-gulita, dan jauh dari pemukiman orang. Kira-kira Anda akan tertawa? Tapi coba teman Anda bilang, "Jangan lewat kuburan itu, ada drakula nyari mangsa!" Kira-kira, mana yang akan membuat Anda ketawa? Coba balik pertanyaan itu di Rumania misalnya, yang mana yang akan membuat orang sana ketawa?
Kenapa Orang Butuh Ketawa?
Pertanyaan ketiga ini tidak dijawab oleh Plato. Lamaaaaa banget nggak ada yang bisa jawab. Barulah ada orang Austria yang bernama Sigmund Freud yang mencoba menjawabnya. Almarhum Freud mengatakan, orang butuh ketawa untuk melepaskan ketegangan. Contohnya, sudah nonton film Bernafas Dalam Kubur, baik yang dibintangi oleh almarhumah Suzzanna maupun versi Luna Maya-nya? (Kalau belum, nonton dulu, baru teruskan bacanya). Inget adegan Suzzanna jajan sate? Apakah Anda tertawa melihat reaksi si tukang sate waktu itu? Kalau enggak, berarti Anda sedang pipis waktu adegan itu.
Contoh lain, kenapa lawakan yang nyerempet-nyerempet saru, cabul, alias porno (bukan adegan ya!), selalu berhasil mengundang tawa? Karena dalam keseharian, Anda 'terkekang' oleh aturan sosial untuk tidak membicarakannya. Dan lawakan membuat 'tanggungjawab' Anda untuk nggak ngomong saru dilepaskan dan diambil alih oleh si pelawak.
Kenapa Indonesia Butuh Ketawa?
Pertanyaan keempat ini hanya bisa dijawab dengan melihat teori dan penjelasan-penjelasan di atas. Pakai saja teorinya Plato. Indonesia butuh ketawa karena Indonesia selalu inferior dalam banyak hal. Jadi mau ngetawain apa? Lihat saja sepakbola. Kalau saja timnas Indonesia menangan, apalagi bisa sampai ngalahin Brasil, Jerman, Spanyol dkk, terus timnas Malaysia dihajar Fiji 10-0, enak kan ketawanya? Contoh lain, ketika COVID merebak di Tiongkok, kita menertawakan kelakuan mereka yang doyan makan hewan-hewan aneh. Sekarang, siapa yang tertawa? Mereka lah... wong jualan vaksinnya laku dibeli sama kita.
Jadi, kenapa Indonesia butuh ketawa? Karena kita sudah lama yang jadi pelawaknya. Jadi kalau mau ketawa ya berhenti jadi pelawak. Jadilah yang superior itu, yang hebat itu, yang beruntung itu. Dengan begitu baru kita bisa ketawa bareng.
Kenapa Anda Tidak Ketawa Juga?
Ini pertanyaan yang nggak bisa saya jawab. Tinggal adu superioritas antara saya dan Anda. Kalau Anda dari tadi tidak ketawa, berarti saya hebat. Saya bisa menertawakan Anda yang kebingungan memahami tulisan saya. Tapi kalau sejak awal Anda sudah ketawa-ketawa, berarti saya juga hebat, karena bisa menulis serius tapi membuat Anda ketawa. Tapi inget, ketawanya harus ada bahannya, jangan ketawa tanpa sebab. Nggak baca tulisan saya kok ketawa-ketawa. Situ sehat?
Terakhir, kalau tulisan ini nggak dijadikan 'Artikel Utama' atau apes-apesnya 'Pilihan', berarti Admin Kompasiana juga butuh ketawa. Terus kalau bisa sampai menang 'PETASAN,' biarlah saya yang ketawa, karena ketawa adalah tanda orang hebat dan sehat. Sekian dan terimakasih. Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H