Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Plato Bilang, Orang (Indonesia) Butuh Ketawa

26 Desember 2020   07:50 Diperbarui: 26 Desember 2020   07:53 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Art by Alip Yog Kunandar

Itu namanya jukta-jukta posisi. Kenapa disebut tidak membahayakan? Karena kalau Anda (cowok) yang pake, apa itu nggak bahaya? Apalagi kalau keluar bawa-bawa kecrekan dan nyanyi-nyanyi di pinggir jalan. Sudah menjadi bahwan ketawaan, terancam diangkut Satpol PP pula.

Contoh lain, kalau teman Anda bilang, "Jangan lewat kuburan itu, ada kuntilanak gentayangan," ngomongnya pas malam jumat kliwon, gelap-gulita, dan jauh dari pemukiman orang. Kira-kira Anda akan tertawa? Tapi coba teman Anda bilang, "Jangan lewat kuburan itu, ada drakula nyari mangsa!" Kira-kira, mana yang akan membuat Anda ketawa? Coba balik pertanyaan itu di Rumania misalnya, yang mana yang akan membuat orang sana ketawa?

Kenapa Orang Butuh Ketawa?

Pertanyaan ketiga ini tidak dijawab oleh Plato. Lamaaaaa banget nggak ada yang bisa jawab. Barulah ada orang Austria yang bernama Sigmund Freud yang mencoba menjawabnya. Almarhum Freud mengatakan, orang butuh ketawa untuk melepaskan ketegangan. Contohnya, sudah nonton film Bernafas Dalam Kubur, baik yang dibintangi oleh almarhumah Suzzanna maupun versi Luna Maya-nya? (Kalau belum, nonton dulu, baru teruskan bacanya). Inget adegan Suzzanna jajan sate? Apakah Anda tertawa melihat reaksi si tukang sate waktu itu? Kalau enggak, berarti Anda sedang pipis waktu adegan itu.

Contoh lain, kenapa lawakan yang nyerempet-nyerempet saru, cabul, alias porno (bukan adegan ya!), selalu berhasil mengundang tawa? Karena dalam keseharian, Anda 'terkekang' oleh aturan sosial untuk tidak membicarakannya. Dan lawakan membuat 'tanggungjawab' Anda untuk nggak ngomong saru dilepaskan dan diambil alih oleh si pelawak.

Kenapa Indonesia Butuh Ketawa?

Pertanyaan keempat ini hanya bisa dijawab dengan melihat teori dan penjelasan-penjelasan di atas. Pakai saja teorinya Plato. Indonesia butuh ketawa karena Indonesia selalu inferior dalam banyak hal. Jadi mau ngetawain apa? Lihat saja sepakbola. Kalau saja timnas Indonesia menangan, apalagi bisa sampai ngalahin Brasil, Jerman, Spanyol dkk, terus timnas Malaysia dihajar Fiji 10-0, enak kan ketawanya? Contoh lain, ketika COVID merebak di Tiongkok, kita menertawakan kelakuan mereka yang doyan makan hewan-hewan aneh. Sekarang, siapa yang tertawa? Mereka lah... wong jualan vaksinnya laku dibeli sama kita.

Jadi, kenapa Indonesia butuh ketawa? Karena kita sudah lama yang jadi pelawaknya. Jadi kalau mau ketawa ya berhenti jadi pelawak. Jadilah yang superior itu, yang hebat itu, yang beruntung itu. Dengan begitu baru kita bisa ketawa bareng.

Kenapa Anda Tidak Ketawa Juga?

Ini pertanyaan yang nggak bisa saya jawab. Tinggal adu superioritas antara saya dan Anda. Kalau Anda dari tadi tidak ketawa, berarti saya hebat. Saya bisa menertawakan Anda yang kebingungan memahami tulisan saya. Tapi kalau sejak awal Anda sudah ketawa-ketawa, berarti saya juga hebat, karena bisa menulis serius tapi membuat Anda ketawa. Tapi inget, ketawanya harus ada bahannya, jangan ketawa tanpa sebab. Nggak baca tulisan saya kok ketawa-ketawa. Situ sehat?

Terakhir, kalau tulisan ini nggak dijadikan 'Artikel Utama' atau apes-apesnya 'Pilihan', berarti Admin Kompasiana juga butuh ketawa. Terus kalau bisa sampai menang 'PETASAN,' biarlah saya yang ketawa, karena ketawa adalah tanda orang hebat dan sehat. Sekian dan terimakasih. Wassalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun