Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sudah Lama Tak Ingat Nama-nama Menteri

23 Desember 2020   13:42 Diperbarui: 24 Desember 2020   09:02 2270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://twitter.com/sandinoor/status/1186151209922527232

Yah, sebut saja saya anak generasi Orba. Itu fakta sejarah. Emak melahirkan saya tahun 1976. Saat itu Pak Harto sudah jadi presiden satu dekade sebelum saya lahir. Ia 'jatuh' ketika saya hampir menyelesaikan S1 saya di Universitas Hasanuddin Makassar. 

Waktu itu, jelang Mei 1998 saya baru pulang KKN, di Kabupaten Polewali-Mamasa (Polmas) yang saat ini sudah menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Barat. 300 kilometer lebih jaraknya dari kampus. Kuliah nyaris beres, tinggal skripsi.

Di tempat KKN saya, Desa Nepo, Kecamatan Wonomulyo, yang lebih dari 80 persen penduduknya adalah transmigran dari Jawa memang ada masyarakat yang punya TV. Semua pake antena parabola. Jadi lebih banyak siaran dari stasiun luar negeri daripada TV nasional. 

Pemuda-pemuda di sana lebih hafal lagu-lagu band Malaysia ketimbang musisi lokal. Kata 'band' saja tak akrab di telinga mereka. Mereka menyebutnya 'kumpulan' layaknya orang negeri jiran itu. 

Saya nanya Slank, taunya Slam. Iwan Fals hanya terdengar namanya saja, ditanya lagunya yang mana, tak ada yang tahu. Nike Ardilla disangka penyanyi Malaysia gara-gara bawa lagu Duri Terlindung yang ngetop di sana.

Dua bulan di lokasi, tak pernah keluar jauh, apalagi 'mudik' ke Makassar (buat apa juga, pulang ke Makassar juga anak kos). Lebaran Idul Adha di sana, lumayan, banyak sapi mau dipotong, daripada di kosan manyun. Gonjang-ganjing politik cuma terasa sebelum pergi KKN, tapi tak tahu kalau selama dua bulan itu terus memanas. 

Krisis moneter? Juga berasa di awal sebelum berangkat KKN. Di lokasi? Nah ini, dari 11 desa di kecamatan Wonomulyo itu, 9 adalah desa 'Jawa' dari mayoritas penduduknya sampai nama-nama desanya; Sidodadi, Bumiayu, Sidorejo, Sumberjo... dan dua sisanya desa 'Mandar' bukan karena namanya saja; Nepo dan Tumpiling, tapi memang penduduknya orang Mandar, suku asli sana.

Jika desa 'Jawa' berada di 'daratan' dengan penghasilan utama penduduknya dari bertani, dua desa 'Mandar' itu berada di pinggir laut, di tepi Teluk Mandar. Ada yang petani, nelayan juga, tapi paling banyak adalah mengolah tambak, bandeng dan udang. 

Yang disebut terakhir itulah yang membuat krisis moneter di lokasi KKN saya tidak dilihat sebagai musibah, tapi berkah. Sekilo udang, dari harga 27 ribu perkilo, melesat hingga 180 ribu dalam hitungan hari. Banyak yang kaya mendadak. 

Beli motor Yamaha RX King sekaligus dua, yang satu buat di 'kota' yang satu buat dinas ke tambak! Bandeng tak lagi diurusi, meski tetap dipelihara. Kami, anak-anak KKN diberi jaminan oleh Pak Kades, selama tambaknya masih di wilayah desanya, ambil ikan bandeng gratis, bebas, tak perlu minta izin, asal jangan ngambil udang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun