Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (26) Wacana Versus Seni

22 Desember 2020   07:07 Diperbarui: 24 Desember 2020   23:14 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP By Alip Yog Kunandar

Romo Subutov, walikelas Soso itu, memang paling mengerti jalan pikiran muridnya yang satu itu. Ia melihat Soso layaknya bilah pisau dari baja yang sangat bagus. Tepat menanganinya, ia bisa menjadi perkakas yang bisa diandalkan. Sebaliknya, jika salah, ia bisa menjadi senjata pembunuh yang mengerikan. Bilah itu juga tak bisa dihajar palu dengan sangat keras, karena bisa patah. Tapi terlalu lembut juga tidak akan menjadikannya bentuk yang diharapkan. Dua potensi itu sama-sama menonjol dan sama-sama kuat. Anak itu bisa menerima doktrin agama dengan mudah, tapi juga bisa menyerangnya dengan brutal.

Maka, bagi Romo Subutov, satu-satunya cara untuk membentuknya adalah dengan menyeimbangkannya. Ia membiarkan anak itu berkelana mengarugi samudera gagasan, tapi ia juga mengikatkan tali yang sewaktu bisa digunakannya untuk menariknya agar tak terlalu jauh tanpa arah. Romo Subutov, tanpa sepengetahuan Soso, menitipkannya kepada Romo Peter, guru menyanyi yang juga mengasuh paduan suara. Suara anak itu bagus, jadi tanpa kongkalingkong pun sebetulnya Romo Peter bisa merekrutnya. Dengan berada di paduan suara, Romo Subutov berharap bisa meredam pemikiran-pemikiran Soso yang liar.

*****

Apa yang diharapkan oleh Romo Subutov terbukti lumayan ampuh. Dengan berkesenian, Soso memang setidaknya bisa mengimbangi pemikiran-pemikiran kritisnya dengan kepekaan rasa. Menyeimbangkan otak kiri dan kanannya. Di paduan suara, Soso terpilih jadi anggota tetap dan sering tampil dalam berbagai pentas, baik di lingkungan seminari maupun di luar.

Dua kali Soso ikut tampil di Teater Imperial Tiflis.[1] Itu bukan tempat sembarangan. Gedung teater itu adalah salah satu yang tertua di Eropa Timur, dibangun tahun 1851 atas rancangan arsitek keturunan Jerman, Victor Johann Gottlieb Schroter. Bangunan megah bergaya Neo-Moor[2] itu berada di Erivansky Square, berada tak jauh di sebelah utara Seminari Tiflis. Penggagasnya adalah penguasa Rusia untuk Kaukasus, Pangeran Mikhail Vorontsov. Memang pendiriannya sangat politis, untuk meredam gerakan anti-Rusia dengan pendekatan seni. Pangeran Vorotstsov meyakinkan bangsawan-bagsawan Georgia yang tersisa bahwa pendirian gedung teater itu adalah untuk kepentingan masyarakat Georgia, khususnya Tiflis. Sehingga akhirnya diberi lahan, dengan catatan, gedung itu menjadi milik publik, bukan milik perseorangan, dan semua berhak menggunakannya. 

Di masa awal setelah pembukaannya, teater berbahasa Georgia banyak dipentaskan. Tapi semakin lama semakin berkurang, dan itu menjadi bahan kontroversi. Tahun 1874, teater itu sempat mengalami kebakaran. Desas-desusnya adalah kebakaran yang disengaja, karena seniman Georgia merasa tersisih akibat alokasi waktu yang semakin sedikit. Kalaupun diberi izin, waktunya pasti bukan hari yang baik, alias hari sepi penonton. Selain itu, makin ke sini, jumlah orang kaya Georgia di Tiflis juga makin lama makin berkurang, banyak pengusaha pribumi yang bangkrut seperti Jacob Zubalasvili, juragan gula yang gulung tikar hingga rumahnya dijadikan seminari sekarang ini.

Bagi Soso, tampil di gedung teater bersama paduan suaranya itu juga seperti paradoks –sebetulnya sama saja seperti ia masuk seminari yang dikelola Gereja Ortodoks Rusia itu. Di satu sisi, ia merasa bangga, tampil di gedung megah itu. Jujur saja, ia merasa begitu kecil ketika masuk ke ruangan seluas dan semegah itu. Di kiri dan kanan bangunan terdapat tiga lantai untuk penonton, lantai dansa yang luas, dekorasi kain beludru dan sutra berhias sulaman emas dan perak, dan sebuah lampu gantung superbesar yang konon didatangkan khusus dari Marseile Perancis.

Beuuh… kalau saja Mak Keke tau ia akan tampil di situ, orang se-Gori pasti akan geger. Meski kalau mereka nonton, Soso tetap nggak bakalan keliatan di panggung yang luas itu. Apalagi, penampilan mereka juga bukan sebagai pentas utama. Mereka cuma jadi ‘band pembuka’ pertunjukan opera dari Venesia Italia yang bahkan tak bisa ditonton oleh Soso dan kawan-kawan yang keburu digeret ke belakang panggung dan disuruh pulang.

Ya itu, ada rasa bangga bisa tampil di situ, di depan para penguasa Georgia dan Tiflis yang umumnya orang Rusia. Hanya segelintir orang Georgia saja yang menonton –belakangan Soso tahu kalau Pangeran Ilia juga ada di antara penonton pertunjukan itu. Di situlah Soso merasa sedih, bukan karena nggak ditonton oleh emaknya dan orang sekampungnya, tapi karena ia tampil untuk menyenangkan hati orang-orang Rusia itu!

Tapi begitu Romo Peter membagi-bagikan honor manggung, dan setiap anak dapat dua rubel, terobatilah kedongkolan Soso itu. Dua rubel cooy.. kapan lagi bisa dapat duit sebanyak itu hanya dengan tampil tak lebih dari setengah jam?

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun