Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (26) Wacana Versus Seni

22 Desember 2020   07:07 Diperbarui: 24 Desember 2020   23:14 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP By Alip Yog Kunandar

“Kalau semua orang menjadi pendeta, lalu siapa yang memberi makan pendeta? Tuhan kan tidak menurunkan makanannya secara langsung, walaupun katakanlah Ia bisa..” tanya Soso, ketika ia berdiskusi dengan Romo Subutov, walikelasnya. Kalau sama Romo Subutov, Soso berani bertanya begitu, bahkan berdebat sekalipun. Tapi jangan coba-coba dengan guru yang lain. Bukan jawaban yang akan didapatkannya, tapi hajaran.

“Tentu saja tidak semua orang harus menjadi pendeta. Kau betul, kalau semua jadi pendeta, untuk apa dunia yang indah ini diciptakan…” kata Romo Subutov. “Ini soal keseimbangan, sebagian orang menjadi petani, sebagian orang menjadi nelayan, sebagian menjadi pedagang, sebagian menjadi politisi, sebagian menjadi polisi atau tentara, dan sebagiannya lagi menjadi pendeta. Semuanya untuk saling melengkapi. Petani butuh nelayan butuh pedagang butuh politisi butuh polisi dan butuh pendeta. Tak ada yang bisa mengurusi dirinya sendiri…” lanjutnya.

“Saya tidak berpikir Rusia seperti itu, Romo…” kata Soso. “Mereka mengirimkan gereja ke sini, menyuruh orang menyembah Tuhan, sementara urusan dunia mereka yang mengurusi. Kalaupun orang Georgia mengurusi dunia, dunianya dipersempit. Petani berkutat menjadi petani, pedagang berkutat menjadi pedagang…”

“Sssst…” Romo Subutov menghentikan kalimat Soso. “Jangan ngomongin itu di sini. Bahaya. Aku tahu apa yang kamu pikirkan…” katanya. “Begini saja sederhananya. Ketika kamu memilih masuk ke sini, berarti kamu sudah memilih untuk berkhidmat di jalan Tuhan. Kelak, jika kau selesai dan kembali ke masyarakat, tugasmu adalah mendampingi para petani, nelayan, pedagang dan sebagainya, untuk tetap di jalan Tuhan, tanpa harus membuat mereka meninggalkan pekerjaannya…”

“Bagaimana bisa mendampingi mereka, kalau pengetahuan kita hanya dari satu sisi? Bukankah akan lebih baik lagi ketika mendampingi mereka kita juga mengerti jalan hidup mereka dan cara mereka berpikir dan menilai Tuhan?” tanya Soso lagi.

“Tentu saja…” kata Romo Subutov. “Di sini kamu juga belajar ekonomi, matematika, ilmu alam, dan sebagainya. Itu bekal untuk melakukan yang kamu bilang tadi…”

“Terus kenapa sekolah melarang pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan? Melarang siswa membaca buku tertentu, melarang karya sastra si anu dibaca?”

“Karena tidak semua siswa bisa dan siap menerima benturan pemikiran!” kata Romo Subutov.

“Berarti ada yang salah dengan sekolah ini…” kata Soso lagi. “Kita hanya disuruh makan yang sehat, tapi tidak disiapkan untuk menghadapi penyakit!”

“Orang sehat akan lebih kebal pada penyakit!” kata Romo Subutov lagi.

Soso diam. Romo Subutov tersenyum, “Aku mengerti jalan pikiranmu. Aku suka caramu berpikir. Tapi hati-hati, mendekati penyakit, meski itu hanya untuk mempelajarinya agar kamu tidak sakit, juga membuka peluang untukmu terkena penyakit itu!” Romo Subutov berdiri, menepuk pundak Soso. “Jaga kesehatanmu, jangan sampai kamu terkena penyakit dan menjadi penyebar penyakit!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun