Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (10) Solidaritas di Pabrik

6 Desember 2020   05:30 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:44 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (9) Toko Buku Yahudi

*****

Soso sudah memutuskan berhenti les bahasa di tempatnya Pak Dmytro. Ia juga sudah bisa membaca huruf Latin, jauh lebih singkat daripada ia belajar huruf Rusia. Mungkin yang tak terlalu senang Soso berhenti belajar itu adalah Irena. Tapi Irena juga tahu situasinya. Toh, mereka masih sering bertemu sesekali. Sesekali bahkan Irena membawakannya makanan ke pabrik untuk makan siang Soso. “Biar nggak selalu makan labio doang tiap hari. Kamu udah kayak orang kurang gizi!” katanya. Soso sih senang-senang saja. Apalagi makanan yang dibawa Irena seringkali berbeda dengan makanan yang sering ia temukan. Mungkin itu makanan orang Ukraina, karena kata Irena, ia sendiri yang masak itu dibantu ibunya, eh, ibunya yang masak dan ia membantunya…

Karena tak lagi belajar di rumah Pak Dmytro, Soso sekarang menjadikan toko buku milik Pak Yedidya sebagai tempat belajar baru. Lelaki Yahudi itu berbaik hati meminjamkan buku-buku di tokonya kepada Soso. Jadi ia tak perlu membelinya lagi. Sebagai gantinya, Soso harus menceritakan kembali is buku-buku itu kepadanya. “Mataku sudah terlalu lelah untuk membaca, So…” alasannya. Tentu saja Soso tak keberatan sama sekali. Di saat yang sama, ia juga mengasah bahasa Rusia-nya dengan Pak Yedid. Dari tempat Pak Yedid, ia melahap berbagai jenis buku. Ia tak pilih-pilih soal buku apa yang dibacanya, dan siapa penulisnya. Tapi belakangan ia memang tertarik lagi dengan karya-karya sastra klasik. Entah itu dari sastrawan Rusia, Jerman, atau manapun.

Sementara di pabrik, tak ada perubahan apapun. Tak juga ada tanda-tanda ia akan naik pangkat, dari buruh angkut menjadi apa lah. Upahnya juga masih sama. Sampai suatu ketika, pabrik dilanda geger. Tak hujan tak angin, Sungai Kura yang berada persis di sebelah bangunan pabrik meluap. Pabrik kebanjiran. Keesokan harinya, lebih dari separuh pekerja tak masuk. Mereka terserang dua penyakit, gatal dan muntah-muntah. Pak Sese juga tak berangkat kerja, dari semalam tubuhnya demam dan muntah-muntah terus. Soso juga sebetulnya merasakan gatal-gatal di tubuhnya, terutama di bagian kaki. Tapi ia memaksakan diri berangkat.

Pekerja anak hanya tujuh orang yang tersisa, termasuk Soso. Sampai di pabrik, pekerjaan tidak berjalan, karena pekerja-pekerja penting, mandor, tukang jahit, tukang sol, tukang samak, banyak yang tak masuk. Mereka hanya mondar-mandir kayak anak ayam yang kehilangan induknya.

Di pojokan sana, bapaknya si Bulac orang Turki itu sedang bersitegang dengan Sergei Kustov, orang kepercayaan Gregori Adelkhanov pemilik pabrik itu. Adelkhanov sendiri tak pernah terlihat muncul di pabrik. Soso nggak pernah tau seperti apa bos nomer satunya itu. konon, Adelkhanov tidak tinggal di Tiflis, tapi di Baku[1] mengurusi bisnisnya yang serupa di sana. Jadi operasional pabrik di Tiflis itu dikelola oleh Sergei Kustov itu. Itupun dia jarang nongol ke pabrik, dan seolah tak peduli dengan apapun yang terjadi di pabrik, selama produksi masih berjalan. Tapi hari itu istimewa, karena pabrik nyaris lumpuh, jadi ia pun datang.

Tiga anak Armenia yang tak Soso kenal namanya berdiri di belakang Soso yang ikut merubung bapaknya si Bulac yang tampak emosi.

“Tidak ada libur. Pabrik harus tetap berjalan. Pesanan sudah harus dikirimkan ke Kiev[2] segera!” kata Kustov sambil membentak bapaknya si Bulac dengan bahasa Rusia.

“Tapi anakku hampir mati, aku harus pulang!” jawab bapaknya si Bulac dengan bahasa Rusia belepotan.

“Pulang saja, dan besok tak usah masuk lagi!” bentak Kustov, “Banyak orang yang mau kerja di sini!” lanjutnya.

Bapaknya si Bulac menggerundel dalam bahasa yang tak dimengerti, dan ia pun meninggalkan tempat itu.

Kustov lalu mengedarkan pandangan pada pekerja yang makin ramai mengerubunginya. "Kalian liat apa? Bubar! Kerja, kerja, kerja!” bentaknya.

“Apa yang harus kami kerjakan? Perabotan banyak yang rusak kena banjir, pekerja banyak yang tidak masuk!” kata seorang lelaki berbadan besar. Soso hanya tau dia orang Armenia, tapi tak tahu namanya.

“Mana mandor-mandor?” tanya Kustov sambil mengelilingkan pandangannya.

Tapi tak ada satu orang pun yang menyahut, karena tak ada seorang pun mandor yang masuk.

Kustov makin emosi, tapi rupanya ia juga tahu, situasinya kacau, mandor-mandor pada absen, pekerja nyaris habis, rantai produksi otomatis terganggu. “Kenapa bisa kacau begini?” tanyanya, entah pada siapa.

“Banyak yang keracunan, nggak tau dari makanan atau dari air minum…” kata seseorang, “Yang lainnya gatal-gatal, karena limbah penyamakan menyebar kemana-mana!”

Kustov terdiam sejenak. “Ya sudah, hari ini libur produksi!” katanya. Ia lalu melirik pada lelaki Armenia berbadan besar itu. “Kau, pimpin pekerja lain membersihkan pabrik. Besok semua harus berjalan lagi. Yang tidak masuk, vykhod!”[3] 

*****

Keesokan harinya, jumlah pekerja bukannya bertambah, malah semakin habis. Pak Sese juga belum bisa berangkat. Tubuhnya masih sangat lemah. Beberapa pekerja juga dikabarkan kritis. Sementara yang datang juga tak benar-benar sehat, semuanya paling tidak merasakan gejala gatal-gatal di tubuhnya. Termasuk Soso.

Jumlah pekerja yang tak lebih dari 30 orang itu berkumpul bersama, tak lagi mengenal asal. Tak lagi berkelompok-kelompok berdasarkan jenis pekerjaan. Lelaki Armenia yang kemarin memimpin pekerjaan membersihkan pabrik, panggilannya Pak Samvel, memimpin ‘rapat darurat’ itu. Awalnya ia terlihat terpaksa memimpin karena ditunjuk si Kustov itu. Tapi karena nggak ada seorang pun pekerja berpangkat mandor yang datang, hukum rimba berjalan alami, yang paling kuat yang menjadi pemimpin. Dan tak ada seorang pun yang keberatan. Sebaliknya, mereka barangkali malah keberatan kalau disuruh memimpin, lha wong honornya nggak ada, tapi kalau ada apa-apa didamprat duluan.

“Tak ada yang bisa kita lakukan sekarang…” kata Pak Samvel dengan bahasa Rusia yang terbata-bata. “Alat-alat mungkin sudah bisa dipakai sebagian, tapi alur kerja masih terganggu, karena makin banyak orang yang tak datang. Apa yang akan kita sampaikan kalau Pak Kustov datang nanti?”

“Apa kita bisa terus bekerja sementara teman-teman kita meregang kesakitan?” tanya seseorang, nampaknya orang Georgia.

“Ya. Harusnya pabrik mengurusi nasib pekerjanya dulu, sebelum memikirkan soal produksi!” kata Soso, ia tak tahan untuk diam saja.

Semua mata menatap padanya, seorang anak, pemuda tanggung, tapi sudah berani bicara seperti itu. Tapi, semua setuju dengan omongannya, dan seolah menunggu apa yang akan dia katakan lagi.

Seolah mendapatkan izin untuk bicara, Soso melanjutkannya, “Mereka yang sakit, bukan karena penyakitnya sendiri. Sumber penyakitnya ada di sini, di pabrik ini, lepas dari banjir yang tiba-tiba masuk. Mungkin juga karena makanan atau minumannya juga ikut tercemar. Ini musibah. Harusnya pabrik peduli pada pekerjanya, bukan memaksa pekerja lain untuk terus bekerja menuruti target mereka!” kata Soso.

“Tapi kita juga akan mati kalau tidak bekerja. Mencari pekerjaan sekarang bukan persoalan mudah…” kata seorang lelaki beraksen Georgia. Setahu Soso dia tukang sol.

“Terus apa yang mau bidza[4] kerjakan sekarang? Sepatu mana yang mau dipasang sol-nya, kalau penjahit juga tidak menyelesaikan bagiannya?” tanya Soso dengan sopan.

“Maksudmu kita harus libur lagi sekarang? Lha kemarin saja kita bersih-bersih upah nggak dihitung, ini malah mau nambah libur. Bisa bisa minggu ini kita nggak terima upah sama sekali…” kata seseorang lagi.

“Bisa nggak kita lupakan dulu soal upah?” tanya Soso. “Saya tahu itu penting buat paman-paman semua karena punya anak dan istri. Tidak seperti saya yang masih bocah. Tapi bagaimana kalau yang tidak bekerja itu, yang sakit karena kejadian di pabrik ini adalah paman sendiri? Terus paman tidak masuk kerja, tak dapat upah, dan seterusnya… lalu tiba-tiba pas sudah sembuh, mau balik lagi, posisi paman sudah digantikan oleh pekerja lain?”

“Terus apa yang harus kita lakukan?” tanya orang Georgia yang tadi.

“Kita libur. Datangi itu si Kustov, minta pabrik mengurusi mereka. Kalau sudah, baru kita lanjutkan pekerjaan yang bisa kita lakukan…” kata Soso.

“Aku tidak mau ikut-ikutan. Aku akan di sini dan menunggu apa yang diperintahkan Bos…” kata seorang lelaki berlogat Armenia.

Soso mau ngomong, tapi Pak Samvel keburu berdiri dan menghardik orang itu, “Kau tidak ikut, kuganti kau dengan orang lain, tak peduli kau keluargaku!” katanya dengan galak.

Lelaki itu diam.

“Dengar,” kata Pak Samvel lagi pada orang-orang yang berkumpul. “Aku tidak mengatasnamakan pekerja asal Armenia atau apa, aku mengatasnamakan diriku sebagai pekerja pabrik ini. Dan kita harus mendengarkan anak muda ini!” katanya. Ia melirik pada Soso. “Teruskan apa rencanamu!”

“Kita datangi si Kustov, minta pengobatan mereka yang sakit, minta keringanan mereka beristirahat sampai sembuh dan dijamin akan mendapatkan lagi pekerjaannya kalau sudah sembuh nanti!” kata Soso.

“Kalau dia nggak mau dan kita dipecat?” tanya seseorang.

“Makanya kita harus kompak. Kalau kita kompak, apa si Kustov itu berani memecat kita semua? Apa jadinya pabrik ini kalau semua pekerjanya dipecat? Siapa yang akan menjalankan produksi? Siapa yang bisa mengejar target yang sudah ditentukan?” Soso makin berapi-api. “Nggak mungkin dia memecat kita semua. Pekerja sepertiku bisa diganti cepat karena hanya mengandalkan tenaga. Tapi pekerjaan lain yang butuh keahlian dan pengalaman? Coba aja kalau dia berani mecat kita semua. Satu bulan saja belum tentu pabrik ini bisa berjalan normal lagi dengan pekerja-pekerja baru!”

Semua mengangguk-angguk. Semua setuju apa yang dikatakan anak yang sebelumnya hanya dikenal sebagai pendongeng itu. “Tapi sekali lagi, kita harus kompak. Jika hanya sebagian yang ikut, percuma!” pungkas Soso.

“Kuhajar siapa yang tak ikut!” kata Pak Samvel.

“Silakan rumuskan apa yang mau dituntut dari si Kustov itu. Harus segera agar si Kustov tak menghubungi dulu bosnya di Baku kalau dia juga nggak mau dipecat gara-gara orderan telat…” kata Soso.

Para pekerja dewasa mulai berkumpul lebih dekat lalu berbincang dan berdebat soal apa yang akan diminta. Soso sendiri mundur dan bergabung dengan pekerja anak-anak lainnya yang tersisa.

“Kau, ikut sini, sampaikan apa usulmu!” kata Pak Samvel sambil melirik pada Soso.

“Paman semua tahu apa yang harus diminta, karena sudah lama bekerja di sini… kami, anak-anak, ikut saja apa yang diputuskan, termasuk apa yang perlu kami bantu nanti!” jawab Soso.

Soso beneran tak ikut rapat komisi orang dewasa itu. Untungnya aja mereka nggak rebutan dulu pengen jadi pemimpin sidang atau ribut nyariin yang nyembuinyiin palu. Keputusannya juga cepat meski nggak harus sampai voting. Sampai akhirnya seseorang mengumumkan pada semua hasil putusan bersama, terutama soal tuntutan. Intinya, menuntut soal pengobatan, jaminan tidak dipecat bagi yang sakit, dan satu lagi, permintaan agar si Bulac dan bapaknya dipekerjakan lagi nanti. Tuntutan yang terakhir itu cukup mengharukan bagi Soso, ternyata, meski si Bulac dan bapaknya itu minoritas, bahkan tak punya kelompok, pekerja lain juga mengingat nasibnya yang malang. Setelah diputuskan, ramai-ramai pekerja menuju rumah Sergei Kustov untuk menyampaikan tuntutan para pekerja itu. Soso dan pekerja anak lainnya ikut, tapi tidak ikut menemui si Kustov.

Dan benar kata Soso. Sergei Kustov tak berdaya dengan ancaman para pekerja. Ia tak punya pilihan selain memenuhi tuntutan para pekerja itu, meski tak semuanya. Intinya, pabrik mau membiayai pekerja yang sakit, berjanji tidak akan memecat mereka, tapi dua hari tanpa produksi pekerja tak mendapat upah, termasuk juga yang sakit tidak mendapat upah, sampai mereka kembali bekerja. Dan satu lagi,  meski dengan agak enggan, Kustov juga bersedia mempekerjakan lagi si Bulac dan bapaknya. Sementara permintaan si Kustov agar pekerja mulai produksi sebisanya besok –untuk mengejar target—disetujui oleh para pekerja.

Sepulang demo yang sukses itu, Soso mengajak Ogur, satu-satunya pekerja anak Georgia yang masih masuk, untuk menengok keluarga si Bulac. Sayangnya, ia hanya bisa bertemu dengan bapaknya. Si Bulac sendiri tidak selamat!

*****

BERSAMBUNG: (11) Kabar dari Kampung

Catatan: 

[1] Ibukota Azerbaijan sekarang, saat itu juga bagian dari Kekaisaran Rusia

[2] Ibukota Ukraina, juga bagian Kekaisaran Rusia saat itu

[3] Keluar; Rusia

[4] Paman; Georgia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun