Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Debat Soal Berkurban dengan Bibit Unggul

7 September 2015   10:11 Diperbarui: 7 September 2015   10:11 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Punya kambing atau domba Yan?” tanya Kang Samud yang melintas di depan Kabayan saat ia sedang asyik tiduran di bale-bale depan rumahnya. “Ngapain nanya kambing atau domba sama saya Kang?” Kabayan balik nanya tanpa beranjak. “Yaa siapa tau punya…” jawab Kang Samud. “Kalau punya emangnya kenapa?” Kabayan nanya lagi. “Yaa kalau punya siapa tau mau dijual…” jawab Kang Samud. “Kalau mau dijual, emangnya kenapa?” tanya Kabayan lagi. “Yaa kalau mau dijual, biar saya yang beli…” jawab Kang Samud lagi.

Kali ini Kabayan bangkit dan membuang bulu ayam yang sedari tadi dipakenya buat membersihkan kupingnya. “Ada sih Kang. Kalau harganya cocok sih saya mau aja jual…” kata Kabayan. Mendengar hal itu, Kang Samud langsung semangat dan duduk di batang pohon kelapa yang ada di dekat bale-bale. “Kambing apa domba?” tanya Kang Samud. “Domba, jantan, si Jumhur. Dah cukup umur!” jawab Kabayan.

Kang Samud langsung sumringah, “Waah boleh tuh! Boleh saya liat dulu?” tanyanya. Kabayan menggeleng, “Soal liat mah gampang Kang. Kalau Akang lihat, pasti jatuh cinta. Cuma persoalannya pelik kalo saya jual si Mimin…” jawab Kabayan. “Pelik gimana Yan? Soal harga kan bisa diatur, asal cocok pasti langsung saya bayar kes..” tanya Kang Samud.

Kabayan garuk-garuk kepala, “Gini Kang. Si Jumhur itu kan domba saya, asli turunan Garut. Kalau dilihat dari silsilahnya sih turunan menak (bangsawan). Kakeknya si Jumhur itu mantan petarung, lahir dan besar di Garut, tanduknya muntir tilu (tiga lilit), pamacek (pejantan untuk dikawinkan) hebat, sering juara kontes. Nah, dia punya anak, bapaknya si Jumhur yang dibawa oleh Bah Eusleum, mertua saya ke sini dan dikawinkan sama domba asli kelahiran Cibangkonol, dan lahirlah si Jumhur. Bapaknya si Jumhur juga istimewa, jadi si Jumhur juga punya bakat istimewa…” papar Kabayan. Kang Samud bengong, “Aah saya mah nggak perlu tau silsilahnya Yan, yang penting mah liat dombanya, kalau cocok saya beli. Gitu aja!” kata Kang Samud.

“Naah itu persoalannya…” kata Kabayan, “Makanya saya selesaikan dulu ceritanya,” sambungnya. Kang Samud terpaksa diam. “Si Jumhur yang punya silsilah istimewa itu secara de jure sudah jadi milik saya. Bah Eusleum dulu menitipkan bapaknya si Jumhur pada saya waktu mau dikawinkan sama emaknya si Jumhur. Perjanjiannya, kalau anak emaknya si Jumhur punya dua anak, maka satu buat saya, dan satu buat Abah. Waktu itu, emaknya si Jumhur melahirkan dua, si Jumhur dan si Jumhar. Sehari setelah kelahirannya, Abah datang dang menunjuk si Jumhar jadi miliknya, dan si Jumhur milik saya. Tapi dua minggu kemudian, si Jumhar mati kejepit kandang. Abah menggugat kepemilikan si Jumhur, katanya itu jadi pengganti si Jumhar. Akhirnya semuanya dibawa pulang, bapaknya, emaknya, dan si Jumhur sendiri. Padahal, si Jumhur itu jelas-jelas punya saya! Gimana coba pendapat Akang?” tiba-tiba Kabayan bertanya pada Kang Samud.

Kang Samud jelas gelagapan ditanya begitu. “Yaa emang, seharusnya itu jadi punya kamu. Atau paling tidak, setengahnya punya kamu!” jawabnya. “Naah itu dia Kang. Tapi Abah mah begitu, nggak mau tau. Jadinya saya cuma kebagian ngasuhnya aja dulu, tapi sekarang malah dikuasai dia. Sebagai orang tua angkatnya kan seharusnya saya diberi hak untuk menengok!” kata Kabayan dengan mimik serius. Kang Samud jadi salah tingkah, “Maaf Yan. Saya nggak mau nyampurin urusin keluarganya orang, apalagi keluarga domba. Saya cuma nyari domba atau kambing yang bisa saya beli!”

“Nah itu dia Kang. Kalau saja si Jumhur ada di tangan saya, pasti saya jual!” kata Kabayan. Kali ini giliran Kang Samud yang garuk-garuk kepala. “Ya udah deh Yan, saya ikut prihatin soal kasus si Jumhur. Mudah-mudahan bisa diselesaikan secara kekeluargaan, biar nggak merusak mentalnya si Jumhur, biar nggak jadi domba broken home. Saya pamit dulu ya!” kata Kang Samud.

“Eh, bentar Kang!” cegah Kabayan. “Kang Samud nyari-nyari kambing atau domba buat apa sih?” tanyanya. Kang Samud menghentikan niatnya untuk pergi, “Yaa biasa lah Yan, ini kan udah deket musim kurban, ya buat dijual lagi pada yang mau kurban!” jawab Kang Samud. “Kalau… ini mah kalau Kang. Misalnya si Jumhur yang istimewa itu ada di tangan saya, Kang Samud mau beli dan dijual lagi buat kurban?” tanya Kabayan. “Yaaa bisa jadi, selama harganya cocok!” jawab Kang Samud.

“Naah ini…” kata Kabayan, “Saya yang nggak setuju!” lanjutnya. Kang Samud bengong, “Kenapa?” tanya Kang Samud. “Kan Kang Samud tau kalau si Jumhur itu bibit unggul. Kalau dia dijadikan pamacek, pasti hasilnya istimewa. Anak-anak dan keturunannya nanti akan mewarisi trah kakeknya yang istimewa. Lah, kalau Akang beli terus dijual buat kurban, artinya Kang Samud memutus sebuah rantai keturunan domba istimewa. Apa jadinya nanti domba-domba kita kalau turunannya nggak jelas?” kata Kabayan dengan nada tinggi.

Kang Samud terpancing juga, “Eh Yan, soal keturunan si Jumhur, saya nggak peduli. Saya mah cuma peduli sama kambing atau domba yang layak jual dan kira-kira menguntungkan. Gak peduli domba itu turunan siapa!” kata Kang Samud. “Yee, nggak bisa Kang… Akang sebagai penjual juga harus punya pisi masa depan. Kalau yang namanya kambing atau domba istimewa mah jangan dijadikan hewan kurban dong. Nanti generasi domba-domba penerus akan menurun kualitasnya dan nggak bisa bersaing di dunia. Inget Kang, bentar lagi MEA!” kata Kabayan.

“Eh Yan, saya mah nggak ada urusan sama si Mea. Urusan saya mah sama kambing atau domba buat kurban. Lagian kata ustad, orang berkurban itu harus dengan yang baik. Berkurban itu jangan dengan kambing atau domba asal-asalan, sakit, cacat, dan seterusnya. Jadi si Jumhur yang istimewa itu malah cocok untuk jadi hewan kurban!” kata Kang Samud. Kabayan ikut panas, “Iya, tapi jangan bibit unggul dong. Kira-kira dikit, kan masih banyak domba lain yang memenuhi syarat, yang penting jangan bibit unggul kayak si Jumhur!”

Waktu sedang panas-panasnya debat soal kurban bibit unggul, Nyi Iteung, istri Kabayan nongol. “Ini teh pada ngeributin apa sih?” tanyanya sambil menatap Kabayan dan Kang Samud. “Ini Teung, Kang Samud mau beli si Jumhur buat dijadikan hewan kurban. Kan nggak kira-kira, masak bibit unggul mau dijadikan kurban!” jawab Kabayan sambil melirik istrinya. Kang Samud nggak mau kalah, “Yeeh, Teung, saya mah kan cuma bisnis hewan kurban, saya nggak peduli hewannya itu bibit unggul atau enggak, yang penting laku!” katanya.

“Udah!” bentak Iteung, “Dua-duanya bener. Kang Samud juga perlu pilih-pilih domba, jangan memusnahkan bibit unggul. Tapi Kang Kabayan juga gak bisa larang-larang orang yang mau berkurban dengan hewan kurban yang istimewa, apalagi Kang Samud cuma jual-beli saja!” katanya. Iteung lalau melirik suaminya, “Terus, memangnya si Jumhur sudah jadi milik Akang pake mau dijual segala? Akang kan masih utang seekor domba yang belum dibayar sama Abah buat hajatan waktu kita nikahan dulu!”

 “Yeee… ini kan dari tadi juga ngomongnya, seandainya si Jumhur ada di tangan saya!” jawab Kabayan sambil cengar-cengir. Kang Samud langsung nyadar kalau mereka debat pepesan kosong. Iteung sendiri langsung mendelik pada suaminya, lalu melirik Kang Samud, “Udah Kang Samud. Sana cari orang yang beneran punya domba atau kambing, jangan ngomong sama orang yang suka ngimpi!”

Kang Samud ngeloyor tanpa ngomong. Ia masih sebel dengan dirinya sendiri dan sama si Kabayan, kok bisa-bisanya dia debat soal domba yang nggak ada wujudnya! Tapi di jalan, dia mulai berpikir, soal bibit unggul itu mungkin bener juga. Kalau ia selalu menjual bibit unggul, lama kelamaan nggak ada lagi domba yang bermutu yang bisa dia jual di musim-musim kurban berikutnya….

 

Jogja, 7 September 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun