Waktu sedang panas-panasnya debat soal kurban bibit unggul, Nyi Iteung, istri Kabayan nongol. “Ini teh pada ngeributin apa sih?” tanyanya sambil menatap Kabayan dan Kang Samud. “Ini Teung, Kang Samud mau beli si Jumhur buat dijadikan hewan kurban. Kan nggak kira-kira, masak bibit unggul mau dijadikan kurban!” jawab Kabayan sambil melirik istrinya. Kang Samud nggak mau kalah, “Yeeh, Teung, saya mah kan cuma bisnis hewan kurban, saya nggak peduli hewannya itu bibit unggul atau enggak, yang penting laku!” katanya.
“Udah!” bentak Iteung, “Dua-duanya bener. Kang Samud juga perlu pilih-pilih domba, jangan memusnahkan bibit unggul. Tapi Kang Kabayan juga gak bisa larang-larang orang yang mau berkurban dengan hewan kurban yang istimewa, apalagi Kang Samud cuma jual-beli saja!” katanya. Iteung lalau melirik suaminya, “Terus, memangnya si Jumhur sudah jadi milik Akang pake mau dijual segala? Akang kan masih utang seekor domba yang belum dibayar sama Abah buat hajatan waktu kita nikahan dulu!”
“Yeee… ini kan dari tadi juga ngomongnya, seandainya si Jumhur ada di tangan saya!” jawab Kabayan sambil cengar-cengir. Kang Samud langsung nyadar kalau mereka debat pepesan kosong. Iteung sendiri langsung mendelik pada suaminya, lalu melirik Kang Samud, “Udah Kang Samud. Sana cari orang yang beneran punya domba atau kambing, jangan ngomong sama orang yang suka ngimpi!”
Kang Samud ngeloyor tanpa ngomong. Ia masih sebel dengan dirinya sendiri dan sama si Kabayan, kok bisa-bisanya dia debat soal domba yang nggak ada wujudnya! Tapi di jalan, dia mulai berpikir, soal bibit unggul itu mungkin bener juga. Kalau ia selalu menjual bibit unggul, lama kelamaan nggak ada lagi domba yang bermutu yang bisa dia jual di musim-musim kurban berikutnya….
Jogja, 7 September 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H