Mohon tunggu...
Alipir Budiman
Alipir Budiman Mohon Tunggu... Guru - hanya ingin menuliskannya

Bekerja sebagai pendidik di MTs Negeri 1 Banjar (dahulu namanya MTs Negeri 2 Gambut) Kabupaten Banjar, Kalsel. Prinsip saya: Long Life Education. Gak pandang tuanya, yang penting masih mau belajar, menimba ilmu. Gak peduli siapa gurunya, yang penting bisa memberi manfaat dan kebaikan...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hebat!! Peraturan Sekolah Menjadi Mandul Menghadapi Siswa yang Merupakan Anak Guru

24 April 2016   17:02 Diperbarui: 24 April 2016   17:13 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adapun respons positif bertujuan agar tingkah laku yang sudah baik akan lebih bertambah frekuensinya sehingga akan lebih baik lagi di masa mendatang. Sedang respons negative bertujuan agar seseorang yang memiliki tingkah laku yang tidak baik itu dapat berubah dan lambat laun akan mengurangi bahkan menghilangkan tingkah laku tidak baiknya.

Tetapi bagaimana jika yang melanggar itu, justru siswa yang ayah atau ibunya mengajar di sekolah tersebut? Tata tertib sekolah dilanggar, dan parahnya lagi, guru yang menjadi orangtuanya justru melindungi dia dengan berbagai alasan.

Contohnya :

  • Pada waktu Penerimaan Peserta Didik Baru, si anak guru tersebut nilainya rendah, dan termasuk dalam kategori tidak lulus. Tapi dengan berbagai alasan dan pertimbangan, sang anak akhirnya bisa lulus dan berhak menggunakan seragam sekolah.
  • Peraturan Sekolah menyepakati penggunaan baju seragam lengan pendek, tapi si anak guru berani memakai baju lengan panjang. Pernah ditegur oleh guru BK, tetapi justru orang tuanya yang membela anaknya. Bila ditegur oleh Tim Tatib, orangtua berkilah dengan berbagai alasan, seperti alasan lebih Islami.
  • Sekolah melarang siswa ke sekolah menggunakan kendaraan bermotor, si anak malah menggunakan mobil ke sekolah.
  • Peraturan sekolah tidak boleh menggunakan HP di sekolah, sang orangtua malah menitipkan HP nya kepada si anak, dengan alasan kemudahan berkomunikasi. Hal ini tentu saja menimbulkan kecemburuan di kalangan siswa lain.
  • Pada saat terlambat masuk sekolah, siswa lain diberi sanksi disiplin seperti mengumpulkan sampah, sedang si anak guru tidak diberi sanksi apa-apa. Kalaupun sewaktu-waktu diberi sanksi, si orangtua protes dengan alasan bla-bla-bla.
  • Kalau sang anak berkelahi, si orangtua bukannya menasihati sang anak, tetapi justru menasehati seterunya agar mengalah pada sang anak. Tampak sekali sang anak dengan berbusung dada menunjukkan kejagoannya karena dibela orangtua. Pihak Tim Tata Tertib? Hanya bisa jadi macan ompong.
  • Bila siswa lain tidak turun melebihi 14 hari, akan diberi sanksi, dan sanksi terberat: tidak berhak mengikuti ulangan umum. Tapi pada saat sang anak tidak hadir melebihi 2 bulan, maka tidak ada satupun tindakan yang diberikan oleh Tim Tata Tertib karena orangtua selalu membela anak dengan berbagai alasan. Jika didasarkan pada peraturan persyaratan kelulusan, yakni mengikuti seluruh program pembelajaran, maka si anak tidak berhak diluluskan, karena tidak menyelesaikan seluruh program pembelajaran.

Nah, di sini dilematisnya peraturan sekolah. Di satu sisi, kita ingin menegakkan peraturan sekolah. Tetapi bagi guru yang berprasangka negative, tata tertib ini dianggap sebagai senjata untuk memojokkan  dirinya, bahkan dianggap untuk menghancurkan masa depan anaknya. Padahal, seandainya mau mengerti, mau mendengarkan pendapat orang, semua untuk kebaikan sang anak, dan tentunya juga sekolah.

Sekolah seperti kehilangan harga diri di mata siswa. Keberpihakan sekolah terhadap sang anak guru, ketidakkonsistenan sekolah terhadap peraturan yang dibuat, suatu saat akan menjadi boomerang bagi sekolah. Sekolah tak akan bisa berbuat apa-apa terhadap tekanan dari pihak luar yang menggunakan senjata “contoh perlakuan sekolah terhadap anak guru” untuk menekan sekolah.

Mau menciptakan mutu sekolah? Omong kosong kalau tidak ada iklim yang kondusif di sekolah. Salah satu iklim yang kondusif yang diinginkan adalah tegaknya disiplin sekolah. Disiplin sekolah yang berwibawa dan ditaati oleh semua komponen pendidikan di sekolah merupakan kata kunci untuk membentuk sekolah yang berkualitas.

Jadi, omong kosong bicara tentang kualitas sekolah, kalau disiplin saja belum bisa dilaksanakan. Karena disiplin merupakan lapis terluar dari suatu system pendidikan di sekolah, sedang lapis terdalamnya adalah kualitas. Disiplin sekolah yang berwibawa dengan mudah dapat dilihat oleh masyarakat dari sikap, tingkah laku, dan perbuatan para guru dan siswanya. Demikian juga sebaliknya, sekolah yang memiliki tata tertib yang mandul dengan mudah dapat diketahui oleh masyarakat melalui siswanya.

 Mau madrasah yang bermutu? Mimpi atau bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun