Mohon tunggu...
Alip Riduan
Alip Riduan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa 43222010024/ Universitas MercuBuana

NIM: 43222010024 Jurusan: Akuntnsi, Kampus : Universitas Mercu Buana. Dosen pengampu: Prof. Apollo Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tugas Quiz - Diskursus Jeremy Bentham's Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

14 Desember 2023   15:16 Diperbarui: 15 Desember 2023   05:48 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama: Alip Riduan

NIM: 43222010024

Jurusan: Akuntansi

Dosen Pengampu: Prof. Apollo Dr, M.Si.Ak

Sebelum Kita Memasuki materi "Diskursus Jeremy Bentham's Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia" alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu siapa itu Jeremy Bentham?

Siapa itu Jeremy Bentham?

Jeremy Bentham lahir pada tanggal 15 Februari 1748 di Rumah Houndsditch, London. Ayahnya bernama Jeremiah Bentham yang merupakan seorang pengacara kaya dan ibu bernama Alicia Whitehorn.

Sejak kecil, Bentham sudah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Ia sudah bisa membaca dalam usia 3 tahun. Pada usia 12 tahun, Bentham dikirim ke Universitas Oxford untuk belajar hukum di bawah bimbingan ayahnya. Ia lulus pada usia 15 tahun pada 1763.

Setelah itu Bentham melanjutkan studi pasca sarjana di Lincoln's Inn untuk mempersiapkan karirnya sebagai pengacara. Akan tetapi setelah praktik beberapa tahun, Bentham kehilangan minat dalam dunia hukum. Ia lebih tertarik mengejar karir akademis.

Pada 1769, Bentham menerbitkan karya pertamanya berjudul "A Fragment on Government" yang berisi kritik tajam terhadap teori hukum alam William Blackstone. Buku ini sukses mengangkat namanya dalam diskursus filsafat politik Inggris.

Kemudian pada 1776 hingga 1789, Bentham menghabiskan waktunya di Rusia atas undangan Pangeran Potemkin. Di sana ia menulis banyak risalah dan artikel yang kelak dikumpulkan dalam "Works" (1843). Karya utamanya adalah "An Introduction to the Principles of Morals and Legislation" (1789) yang bertujuan mengadakan kodifikasi hukum Inggris. Buku ini berisi gagasan terkenalnya utilitarianisme dan felicific calculus (perhitungan kebahagiaan).

Pada 1791-1794, Bentham merancang proyek "Panopticon" yang merupakan model penjara sirkular ideal yang memungkinkan pengawasan maksimal terhadap para tahanan. Bentham habiskan banyak dana dan usaha untuk proyek ini meski akhirnya gagal terealisasi.

Pada 1808-1832 Bentham pindah ke Westminster. Di sana ia banyak menulis soal reformasi sosial dan pendirian demokrasi. Bentham bersama James Mill dan putranya John Stuart Mill merintis mazhab Philosophical Radicals yang menjadi cikal bakal liberalisme modern. Pemikiran Bentham banyak diterapkan Parlemen Inggris dalam legislasi pada masa itu.

Di akhir hayatnya Bentham sangat produktif menulis risalah dan surat mengenai berbagai isu sosial, termasuk hak gay dan kesejahteraan hewan. Ia gigih memperjuangkan kebebasan pers, pemilihan umum rahasia, dan pemisahan kekuasaan gereja-negara. Bentham juga mendukung gerakan emanispasi perempuan dan anti perbudakan.

Bentham wafat pada 6 Juni 1832 di usia 84 tahun, meninggalkan warisan pemikiran utilitarianisme dan liberal yang mempengaruhi sistem politik, hukum dan pendidikan modern. Ia dimakamkan di gereja St Margaret's Westminster Abbey.

apa itu Hedonistic Calculus?

Alip Riduan 2
Alip Riduan 2

Hedonistic Calculus adalah sebuah konsep yang dicetuskan oleh filsuf Inggris Jeremy Bentham sebagai bagian dari teori etika utilitarianismenya.

Utilitarianisme bertujuan mengukur sejauh mana perbuatan/tindakan manusia dapat menghasilkan kebahagiaan (happiness) dan mengurangi penderitaan (pain).

Hedonistic Calculus adalah kerangka kerja analitis yang dikembangkan Bentham untuk mengukur tingkat kebahagiaan atau utilitas (kegunaan) dari suatu tindakan bagi sebanyak mungkin orang.

Inti dari Hedonistic Calculus adalah melakukan perhitungan atau kalkulasi terhadap unsur-unsur yang mempengaruhi kesenangan dan kesakitan manusia akibat suatu tindakan, kebijakan, atau keputusan.

Unsur-unsur yang dihitung tersebut antara lain intensitas kesenangan/kesakitan, durasi/lamanya, kepastian atau ketidakpastiannya, jarak waktu terjadinya, kesuburan (productivity), kemurnian, dan luas dampak yang ditimbulkannya.

Dengan kata lain, Hedonistic Calculus berusaha memberi bobot kuantitatif dan mengukur secara matematis tingkat kebahagiaan individu maupun sosial dari suatu perbuatan. Inilah mengapa konsep ini dinamakan "perhitungan hedonistik".

Jadi Hedonistic Calculus merupakan model analisis kesenangan-kepedihan yang menjadi landasan pemikiran etika Bentham.

Lalu bagaimana Jeremy Bentham dapat mengetahui kebahagiaan atau kepedihan seseorang?

Menurut Bentham, manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk mengejar kebahagiaan (happiness) dan menghindari rasa sakit (pain). Oleh karena itu, ia berusaha mengukur atau menghitung (to calculate) kesenangan (hedone) dan kepedihan setiap tindakan manusia. Inilah asal muasal konsep Hedonistic Calculus.

Melalui Hedonistic Calculus, Bentham ingin memberikan kerangka kerja kuantitatif untuk menentukan apakah suatu tindakan itu baik/buruk secara moral. Ia mengidentifikasi 7 faktor yang memengaruhi kebahagiaan maupun kepedihan, yaitu:

  1. intensitas

  2. Durasi
  3. Kecertian atau ketidakpastian
  4. Kedekatan
  5. Kesuburan
  6. Kemurnian
  7. Luas jangkauan

Dengan menjumlahkan dan mengurangi elemen-elemen ini, maka utilitas atau kegunaan suatu tindakan bagi kebahagiaan secara keseluruhan dapat dihitung secara kuantitatif. Inilah inti Hedonistic Calculus menurut Bentham.

Apa Peran penting dari konsep Hedonistic Calculus dalam bidang hukum?

Penerapan Hedonistic Calculus dalam Bidang Hukum memiliki peran penting dalam menganalisis fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Penerapan ini melibatkan pengukuran dan perhitungan kebahagiaan atau kenikmatan dalam konteks hukum. Dalam kasus kejahatan korupsi, Hedonistic Calculus dapat digunakan untuk menganalisis motivasi dan dampak dari tindakan korupsi terhadap masyarakat. Namun, ada keterbatasan dalam memahami kejahatan korupsi dengan menggunakan Hedonistic Calculus yang berfokus pada aspek hedonistik semata. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan alternatif seperti pendekatan pragmatis, etis, dan hukum dalam menangani kejahatan korupsi agar masalah ini dapat diselesaikan secara komprehensif dan efektif.

Aapa Hubungan konsep Hedonistic Calculus dengan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia?

Alip Riduan 3
Alip Riduan 3

Konsep ini memusatkan pada pengukuran kebahagiaan manusia melalui kalkulasi hedonik. Hedonistic Calculus melibatkan pemilihan tindakan berdasarkan tingkat kebahagiaan yang mereka hasilkan. Konsep ini telah diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk dalam hukum. Namun, Hedonistic Calculus juga mendapatkan kritik karena ada batasan dalam memahami fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Kejahatan korupsi merupakan masalah yang kompleks dan melibatkan banyak faktor, sehingga tidak bisa sepenuhnya dipahami melalui pendekatan Hedonistic Calculus saja. Dalam memahami dan menangani fenomena kejahatan korupsi, perlu dilakukan pendekatan alternatif yang pragmatis, etis, dan hukum.

Penerapan Hedonistic Calculus dalam Bidang Hukum memiliki peran penting dalam menganalisis fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Penerapan ini melibatkan pengukuran dan perhitungan kebahagiaan atau kenikmatan dalam konteks hukum. Dalam kasus kejahatan korupsi, Hedonistic Calculus dapat digunakan untuk menganalisis motivasi dan dampak dari tindakan korupsi terhadap masyarakat. Namun, ada keterbatasan dalam memahami kejahatan korupsi dengan menggunakan Hedonistic Calculus yang berfokus pada aspek hedonistik semata. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan alternatif seperti pendekatan pragmatis, etis, dan hukum dalam menangani kejahatan korupsi agar masalah ini dapat diselesaikan secara komprehensif dan efektif.

Studi kasus kemudian digunakan untuk melihat aplikasi Hedonistic Calculus pada kasus kejahatan korupsi di Indonesia. Alternatif pendekatan juga dibahas sebagai upaya untuk menangani kejahatan korupsi, termasuk pendekatan pragmatis, etis, dan hukum. Dalam kesimpulannya, diskursus Jeremy Bentham dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang fenomena kejahatan korupsi di Indonesia serta alternatif pendekatan yang dapat diambil dalam upaya pemberantasannya.

Kritik terhadap Hedonistic Calculus membuka ruang untuk merenungkan kelemahan dalam konsep ini. Salah satu kritik utama terhadap Hedonistic Calculus adalah ketidakmampuannya dalam menggambarkan kejahatan korupsi yang kompleks di Indonesia. Konsep ini terlalu berfokus pada hasil akhir yang menguntungkan, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan korupsi. Selain itu, Hedonistic Calculus dianggap tidak peka terhadap nilai moral dan etika yang mendasari kejahatan korupsi. Dalam kasus korupsi di Indonesia, penting untuk mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dan menyeluruh dalam memahami fenomena ini. Kesadaran akan dampak sosial, ekonomi, dan politik dari korupsi menjadi penting untuk mengembangkan pendekatan yang efektif guna memberantas kejahatan ini. 

Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

Fenomena kejahatan korupsi di Indonesia adalah salah satu isu yang perlu dicermati. Kejahatan korupsi memiliki definisi dan karakteristik khusus yang mencerminkan penyimpangan dalam moralitas dan nilai-nilai masyarakat. Sejarah kejahatan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa ini bukanlah masalah baru dan telah melanda negara ini selama bertahun-tahun. Beberapa faktor penyebab meningkatnya kejahatan korupsi antara lain adalah rendahnya integritas, sistem hukum yang lemah, dan tindakan penegakan hukum yang tidak tegas. Analisis Hedonistic Calculus terhadap kejahatan korupsi memberi kita pemahaman tentang motivasi di balik tindakan korupsi dan dampaknya secara sosial. Namun, perlu diakui bahwa terdapat keterbatasan dalam penggunaan Hedonistic Calculus untuk memahami kejahatan korupsi secara menyeluruh. Untuk menangani masalah ini, ada alternatif pendekatan yang bisa dilakukan, seperti pendekatan pragmatis, etis, dan hukum.

Korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan kewenangan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Korupsi mencakup berbagai tindakan seperti penggelapan uang negara, penerimaan suap, pemerasan, kolusi tender proyek, nepotisme dalam rekrutmen pegawai negeri, dan lain sebagainya. Intinya korupsi melibatkan penggunaan wewenang jabatan publik secara ilegal dan tidak etis demi kepentingan pribadi.

Kejahatan korupsi memiliki sejumlah karakteristik khas. 

Pertama, korupsi selalu melibatkan pejabat atau aparat negara karena mereka memiliki akses terhadap sumber daya dan dana publik. Kedua, ada unsur penyalahgunaan kepercayaan dan kewenangan jabatan untuk kepentingan pribadi, sehingga merugikan kepentingan umum dan negara.

Ketiga, biasanya terdapat kerahasiaan dan konspirasi antara pihak-pihak yang terlibat korupsi. Mereka sengaja menutupi perbuatannya agar tidak terdeteksi. Keempat, ada unsur timbal balik dan saling menguntungkan antara pihak pemberi dan penerima suap atau antara pihak yang terlibat korupsi.

Kelima, tindakan korupsi selalu melanggar norma-norma hukum dan etika yang berlaku, sehingga tergolong sebagai extra-legal activity atau illegal conduct. Dengan memahami karakteristik-karakteristik ini, upaya pemberantasan korupsi bisa dilakukan lebih efektif. Upaya represif melalui hukuman, juga harus dikombinasikan dengan upaya pencegahan dan penguatan integritas dari dalam aparat negara sendiri.

Korupsi di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Namun, korupsi baru menjadi fenomena meluas pasca kemerdekaan, khususnya pada masa Orde Baru di bawah rezim Soeharto selama 32 tahun.

Pada masa Orde Baru, korupsi sangat sistematis dan melibatkan keluarga Soeharto serta kroni-kroninya. Monopoli dan nepotisme menjadi lumrah demi memperkaya diri penguasa. Ditambah lagi minimnya transparansi dan akuntabilitas sektor publik yang memudahkan pejabat berbuat korupsi.

Kasus korupsi besar era Soeharto antara lain monopoli dan penyelewengan oleh yayasan-yayasan keluarganya, penggelapan dana Bulog, mark-up proyek PLTN dan pembebasan tanah Pertamina, serta berbagai suap pengadaan proyek oleh para kroni rezim Orde Baru.

Setelah runtuhnya Soeharto pada 1998, korupsi tetap saja berlangsung meskipun banyak pejabat telah ditangkap dan diadili. Pelaku korupsi kini tidak lagi terpusat di keluarga penguasa, tapi sudah menyebar ke partai politik dan lintas kementerian serta daerah. Kasus Bank Century dan korupsi pengadaan e-KTP serta alutsista di era reformasi contoh korupsi sistemik itu.

Jadi sejarah korupsi di Indonesia sudah berlangsung lama dan akarnya sudah menyebar serta menggerogoti sendi-sendi birokrasi. Pemberantasan korupsi di Indonesia memerlukan upaya yang sistematis, masif dan berkelanjutan, bukan sekadar menghukum pelaku korupsi. Reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih juga mutlak diperlukan.

Peningkatan kasus korupsi dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa praktik korupsi semakin mengakar dan sistemik di Indonesia. Beberapa faktor utama yang menyebabkan hal tersebut adalah:

Pertama, lemahnya penegakan hukum dan rendahnya efek jera. Banyak kasus korupsi yang tidak terdeteksi apalagi dihukum semestinya. Pejabat cenderung merasa kebal hukum dan berani menyalahgunakan wewenangnya untuk korupsi.

Kedua, transparansi dan akuntabilitas sektor publik yang masih lemah. Hal ini memudahkan pejabat melakukan korupsi karena minim pengawasan. Sistem birokrasi dan anggaran negara yang rumit juga memungkinkan celah korupsi.

Ketiga, budaya patronase dan nepotisme yang membuat pejabat memanfaatkan jabatannya untuk menguntungkan keluarga, kerabat dan kroni politiknya. Praktik KKN sudah mendarah daging dalam birokrasi Indonesia.

Keempat, rendahnya gaji aparat negara sehingga mendorong pegawai mencari penghasilan tambahan melalui korupsi. Kondisi ekonomi yang kurang baik juga memotivasi koruptor mencari keuntungan pribadi.

Kelima, kurangnya mekanisme check and balances dalam kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta antara pemerintah pusat dan daerah. Ini memungkinkan pejabat menyalahgunakan kekuasaannya tanpa kontrol yang memadai.

Hubungan antara Hedonistic Calculus dan Kejahatan Korupsi di Indonesia

Hubungan antara Hedonistic Calculus dan Kejahatan Korupsi membuka pintu untuk analisis yang dalam mengenai fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Dalam konteks Hedonistic Calculus, kejahatan korupsi dapat dipandang sebagai upaya individu atau kelompok untuk mencapai kepuasan pribadi dengan mengorbankan kepentingan publik. Dalam analisis Hedonistic Calculus, kejahatan korupsi dapat dikategorikan sebagai tindakan yang menghasilkan kesejahteraan pribadi dan kepuasan ekonomi bagi pelaku korupsi. Namun demikian, pendekatan ini memiliki keterbatasan dalam memahami motivasi dan efek jangka panjang dari kejahatan korupsi. Penting bagi kita untuk mencari alternatif pendekatan, seperti pendekatan pragmatis, etis, dan hukum, agar dapat lebih efektif dalam memberantas kejahatan korupsi di Indonesia. 

Analisis Hedonistic Calculus terhadap Kejahatan Korupsi membuka pandangan baru dalam pemahaman fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Dalam konteks ini, Hedonistic Calculus menyediakan kerangka kerja yang memungkinkan evaluasi dan pengukuran konsekuensi tindakan korupsi. Dengan menjelaskan konsep-konsep seperti hedon, felisitas, dan pengorbanan, Hedonistic Calculus dapat membantu dalam menganalisis motivasi di balik kejahatan korupsi. Analisis ini juga dapat memberikan pemahaman tentang mengapa korupsi terus meningkat di Indonesia dan menyoroti keterbatasan dari perspektif Hedonistic Calculus dalam memahami fenomena ini secara menyeluruh. Dengan mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan politik dari kejahatan korupsi, Hedonistic Calculus memberikan dasar yang kuat untuk pendekatan dalam menangani masalah ini, baik melalui pendekatan pragmatis, etis, maupun hukum. 

Dampak kejahatan korupsi dalam perspektif Hedonistic Calculus adalah mengancam keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Kejahatan korupsi merugikan banyak pihak, baik secara finansial maupun moral. Dalam kacamata Hedonistic Calculus, korupsi dapat menimbulkan ketidakadilan dan penderitaan bagi banyak orang. Dampaknya juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan sistem hukum. Hedonistic Calculus dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan atau penderitaan yang timbul akibat korupsi, dan hasil analisis ini dapat menjadi dasar bagi tindakan pencegahan dan penindakan korupsi. Namun, perlu diakui bahwa Hedonistic Calculus memiliki keterbatasan dalam memahami kejahatan korupsi secara menyeluruh. Terdapat faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi fenomena kejahatan korupsi, seperti faktor sosial, budaya, dan struktural, yang perlu diperhatikan dalam menangani masalah ini. 

Dalam konteks analisis kasus kejahatan korupsi di Indonesia, terdapat keterbatasan dalam penerapan konsep Hedonistic Calculus. Konsep ini tidak sepenuhnya mampu memahami kompleksitas dan latar belakang yang melatarbelakangi tindakan korupsi. Kejahatan korupsi seringkali melibatkan aspek sosial, politik, budaya, dan struktural yang tidak dapat dihitung semata-mata berdasarkan kepuasan atau penderitaan individu. Hedonistic Calculus juga tidak mempertimbangkan aspek kualitatif dalam analisis tindakan korupsi, seperti kehancuran sistem nilai, kerugian sosial, dan ketidakadilan yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam memahami dan menangani fenomena kejahatan korupsi di Indonesia, yang mencakup aspek-etis, hukum, dan pragmatis. 

Dikarenakan diIndonesia walaupun menggunakan konsep Hedonistic Calculus tidak memiliki kemampuan yang kpmpleks dalam menggambarkan kejahatan korupsi di Indonesia. Maka dari itu diperlukan alternatif cara guna menangani kejahatan korupsi di Indonesia.

Alternatif pendekatan

Pendekatan Pragmatis dalam Pemberantasan Kejahatan Korupsi adalah salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menangani fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran praktis dan efisien dalam memberantas korupsi, dengan fokus pada penindakan dan pemberian hukuman yang tegas kepada pelaku korupsi. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi dan menerapkan sistem yang lebih transparan dalam mengelola keuangan negara. Selain itu, pendekatan pragmatis juga melibatkan partisipasi aktif dari semua sektor masyarakat dalam memberantas korupsi, baik itu pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum. Pendekatan ini diharapkan dapat mengurangi angka kejahatan korupsi dan menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan bebas dari korupsi di Indonesia. 

Pendekatan Pragmatis

Pendekatan pragmatis dalam pemberantasan kejahatan korupsi merupakan alternatif yang efektif dan rasional. Pendekatan ini mempertimbangkan hasil yang diperoleh dari tindakan pemberantasan, dengan memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Prinsip utama dari pendekatan pragmatis adalah fleksibilitas dalam mengadopsi strategi yang paling efektif dan efisien dalam mengatasi kejahatan korupsi. Pendekatan ini juga melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dan penerapan sanksi yang tegas terhadap pelaku korupsi. Dengan menggunakan pendekatan pragmatis dalam pemberantasan kejahatan korupsi, Indonesia dapat mengurangi jumlah kasus korupsi dan mencapai tujuan keadilan serta keberlanjutan pembangunan. 

Pendekatan Etis

Pendekatan Etis dalam Pemberantasan Kejahatan Korupsi didalam konteks Indonesia, melibatkan prinsip-prinsip moral dan integritas dalam memerangi praktik korupsi. Pendekatan ini mencakup penekanan pada tanggung jawab individu dalam menghindari dan melawan korupsi, serta nilai-nilai etika yang harus ditegakkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Pendekatan etis juga mencakup peningkatan kesadaran dan edukasi tentang konsekuensi negatif dari korupsi, serta mengembangkan budaya integritas yang kuat di semua lapisan masyarakat. Dengan mengadopsi pendekatan etis, diharapkan dapat tercipta sistem yang lebih transparan, terpercaya, dan adil, sehingga dapat mengurangi praktik korupsi yang merugikan bangsa dan negara. 

Pendekatan Hukum

Pendekatan hukum dalam pemberantasan kejahatan korupsi merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan. Pendekatan ini melibatkan penggunaan peraturan hukum dan lembaga hukum untuk mencegah dan menghukum para pelaku kejahatan korupsi. Dalam hal ini, bentuk hukuman yang diterapkan haruslah memberikan efek jera dan memberikan keadilan bagi semua pihak yang terdampak. Sebagai contoh, langkah-langkah yang dapat diambil berupa peningkatan pengawasan, penegakan hukum yang tegas, serta pengembangan lembaga anti korupsi yang kuat. Dengan menerapkan pendekatan hukum ini, diharapkan dapat meminimalisir perbuatan korupsi di Indonesia dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. 

Kesimpulan

Hedonistic Calculus Jeremy Bentham adalah suatu teori yang mengukur kebahagiaan manusia berdasarkan jumlah kesenangan dan penderitaan yang dirasakan. Di Indonesia, fenomena kejahatan korupsi semakin meningkat dengan adanya faktor-faktor penyebab seperti ketidakadilan, kurangnya pengawasan, dan rendahnya moralitas. Analisis Hedonistic Calculus terhadap kejahatan korupsi menunjukkan bahwa korupsi menghasilkan kesenangan bagi pelaku, namun menimbulkan penderitaan bagi masyarakat yang menjadi korban. Meskipun Hedonistic Calculus dapat digunakan untuk memahami fenomena kejahatan korupsi, terdapat keterbatasan dalam penggunaannya karena tidak dapat menggambarkan dampak jangka panjang dan tidak dapat menilai aspek-aspek moral. Dalam menangani kejahatan korupsi, terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan, antara lain pendekatan pragmatis yang berfokus pada efisiensi dan hasil, pendekatan etis yang berlandaskan pada nilai-nilai moral, dan pendekatan hukum yang menggunakan sistem peraturan hukum sebagai landasan. Kesimpulannya, untuk mengatasi kejahatan korupsi diperlukan pendekatan yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek-aspek hedonistik, etika, dan hukum.

Noorsanti, I. A., & Yudhanti, R. (2023). Jeremy Bentham's Legal Expediency Relevance to the Indonesian Government's Policy in Prospering Village Communities through Village Funds. Sultan Jurisprudence: Jurnal Riset Ilmu Hukum, 3(2), 183-193.untirta.ac.id

Weruin, U. U. (2019). Teori-Teori Etika Dan Sumbangan Pemikiran Para Filsuf Bagi Etika Bisnis. Jurnal Muara Ilmu Ekonomi Dan Bisnis.untar.ac.id

Safiudin, K., Firmansyah, M. B., Laili, I., & Rohma, I. A. (2022). KOMUNIKASI CHATTING MEDIA SOSIAL SEBAGAI BENTUK EKSPRESI REMAJA DALAM MENCAPAI UTILITARIANISME. NIVEDANA: Jurnal Komunikasi dan Bahasa, 3(2), 153-163.HTML

V. Bianchini, "The Felicific Calculus and the Art of Life according to James and John Stuart Mill," in James Mill, John Stuart Mill, and the History of ..., 2023.HTML

S. Sinha, "Theory of Utility and the Modern Legislation: A study of application of Bentham's Utilitarian Theory," Journal of Legal Studies and Criminal Justice, 2020.royalliteglobal.com

Syarifuddin, M. "Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Perbankan." 2023.unhas.ac.id

Yuhono, J. "PENCEGAHAN KORUPSI MELALUI DISTRIBUSI KEBAHAGIAAN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA." National Conference on Law Studies (NCOLS), 2020.upnvj.ac.id

Ririhena, L. L., 2022. Buku ajar "Etika Kristen".HTML

Rizki, Q., 2022. Korupsi Menurut Perspektif Ibn 'Asyur (Studi Analisis tematis dalam Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir).iiq.ac.id

Noor, R. S., 2020. Pendidikan Karakter Anti Korupsi sebagai Bagian dari Upaya Pencegahan Dini Korupsi Di Indonesia. Morality: Jurnal Ilmu Hukum.upgriplk.ac.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun