Mohon tunggu...
Alin EnggellitaWongsonegara
Alin EnggellitaWongsonegara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya merupakan mahasiswi jurusan Psikologi

Saya Alin Enggellita Wongsonegara, saya merupakan mahasiswi jurusan Psikologi di Universitas Kristen Krida Wacana angkatan 2020. Selain tertarik untuk mempelajari manusia, saya juga tertarik untuk membahas dan menulis isu-isu yang ada dalam masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Manusia yang Cerdas dalam Menyikapi Isu Perpindahan Agama di Indonesia

31 Oktober 2021   14:21 Diperbarui: 31 Oktober 2021   14:27 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika berbicara mengenai agama, Indonesia adalah negara yang mewajibkan rakyatnya untuk memeluk atau meyakini satu agama saja. Keberagaman agama di Indonesia tanpa sadar seakan memaksa rakyatnya untuk memilih satu keyakinan yang tanpa sadar melahirkan kubu mayoritas dan minoritas. Lahirnya dua kubu di antara masyarakat juga melahirkan masalah-masalah baru. Berbagai isu perihal agama menjadi topik yang hangat bahkan sangat menarik di kalangan masyarakat. Salah satunya adalah isu perpindahan agama di Indonesia.

Fenomena perpindahan agama sebetulnya sudah dialami masyarakat Indonesia sejak awal peradaban. Jika kita kembali mengingat pelajaran sejarah, agama mulai masuk di Indonesia melalui jalur perdagangan dan pada saat itu lah mulai terjadi perpindahan agama. Sayangnya, 76 tahun Indonesia berdiri dengan fenomena ini, alih-alih terbiasa, masyarakat Indonesia justru masih mempermasalahkan isu perpindahan agama. Isu perpindahan agama seakan menjadi topik pembicaraan yang tidak ada habisnya. Hidup di lingkungan, daratan, dan langit yang sama pun tidak bisa menghilangkan tembok pembatas antar kelompok umat beragama. Pada akhirnya, isu perpindahan agama tetap menjadi hal yang cukup sensitif di kalangan masyarakat Indonesia.

Isu perpindahan agama banyak menyoroti kalangan artis dan sering kali menuai kontroversi panas. Banyaknya komentar miring, tudingan yang tajam, kritik yang pedas, dan tak jarang kalimat yang mengancam sering dilontarkan masyarakat Indonesia kepada mereka yang terlibat isu perpindahan agama. Seperti pengalaman salah satu artis Indonesia, Dory Harsa yang mendapatkan komentar pedas usai dikabarkan pindah agama.

"Resiko mu dadi artis toh, nek ra arep dinyinyiri netizen ra sah dadi artis masqyuu," 

("Resikomu jadi artis, kalau gak mau dinyiyirin netizen tidak usah jadi artis mas") tulis @diahmegaW, salah satu netizen pada akun media sosial Dory Harsa.

Sungguh miris jika membaca komentar salah satu netizen tersebut. Dory Harsa yang seorang artis seakan bisa dikatakan "layak" untuk mendapat komentar pedas dari warganet. Saya menjadi bertanya-tanya, mengapa kelayakan dalam memperlakukan seseorang didasari dari status sosial mereka? Bukan kah setiap manusia berhak untuk diperlakukan sesuai harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia ? Apa seorang artis mempunyai kapasitas hati, perasaan, dan kesabaran yang jauh lebih tinggi dibandingkan rakyat biasa?

Pengalaman serupa juga dialami oleh pesinetron Bunga Zainal yang baru-baru ini mendapat nyinyiran pedas warganet lantaran pindah agama. Bunga Zainal sempat dituding hanya menginginkan uang suaminya sehingga memutuskan untuk berpindah agama.

"Murtad demi dapat laki-laki tua yang duitnya enggak seberapa. Orang tua, mana orang tua" tulis salah satu netizen pada kolom komentar akun sosial media Bunga Zainal.

Bukan hanya menyudutkan Bunga Zainal, netizen tersebut juga menyerang suami dari Bunga Zainal dengan mengatakan bahwa ia adalah seorang laki-laki tua dan tidak memiliki uang yang banyak. Hanya dari satu fenomena saja, warganet seakan sudah sangat mengetahui dan mengenal kepribadian dari pesinetron Bunga Zainal. Mereka mmberikan komentar ketus seakan hal yang mereka bicarakan adalah suatu kebenaran yang harus dikumandangkan tanpa memikirkan hati dan perasaan orang yang bersangkutan.

Isu perpindahan agama yang ada di Indonesia sebenarnya sering kali menyudutkan kaum agama minoritas. Jika isu perpindahan agama dilakukan dari agama mayoritas pindah ke agama minoritas, maka isu perpindahan agamanya akan menjadi buah bibir masyarakat dan sasaran hujatan para warganet. Sebaliknya, jika isu perpindahan agama dilakukan dari agama minoritas pindah ke agama mayoritas, maka isu perpindahan agama ini seakan tidak ada masalah dan justru akan dibanjiri komentar positif. Bila berpikir secara objektif, sebenarnya fenomena ini cukup wajar terjadi. Apa pun itu, setiap hal yang termasuk mayoritas akan selalu mendapat dukungan lebih banyak dibandingkan dengan minoritas.

Meskipun begitu, memberikan komentar pedas dan menyudutkan seseorang yang pindah agama bukan lah suatu perilaku yang cerdas, terlepas dari agama yang mereka anut sebelumnya. Hal ini karena kebebasan beragama sudah diakui dan tercatat dalam Undang-Undang negara yang berlaku. Pertama, menurut pasal 28E ayat (2) UUD 1945, setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Kedua, dalam pasal 28I ayat (1) UUD 1945 mengakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Terakhir, pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Lantas mengapa isu perpindahan agama masih menjadi permasalahan yang seakan tidak ada ujungnya?

Isu-isu perpindahan agama dan kondisi yang terjadi di kalangan masyarakat seakan mengajak saya untuk menjelajahi berbagai perspektif hingga menghasilkan beberapa pertanyaan. Isu perpindahan agama ini berbicara perihal orang-orang beragama dan orang-orang beriman, namun, apakah memberikan komentar pedas, menghakimi, menyudutkan, bahkan menjelek-jelekan orang lain hanya karena isu perpindahan agama adalah karakter orang-orang beragama dan beriman? Mengapa seseorang berani menghakimi agama orang lain padahal perilaku menghakimi saja sudah sangat tidak mencerminkan karakter orang yang beragama? Atas dasar apa kita memaksa orang lain untuk tetap menganut agama yang sama dengan kita jika hukum negara dan agama itu sendiri pun tidak pernah memaksa?

Pertanyaan di atas mungkin sedikit banyak sulit untuk dijawab. Oleh karena itu, kita harus menjadi manusia yang cerdas dalam menyikapi isu perpindahan agama di Indonesia. Menjadi manusia yang cerdas memang bukan perkara mudah, namun bukan berarti hal ini bisa menjadi alasan kita untuk menyerah. Kita dapat memulainya dengan belajar untuk menghargai kebebasan beragama, mengingat Indonesia memiliki agama dan keyakinan yang beragam. Setelah kita bisa menghargai kebebasan dalam beragama baru lah kita bisa belajar untuk memiliki sudut pandang yang objektif. Di mana sudut pandang yang objektif ini akan mengantarkan kita kepada pola pikir yang lebih terbuka dan kritis dalam bertindak.

Klasik. Mungkin kedua hal ini sudah sering kita dengar bahkan sudah menjadi bekal pembelajaran sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, namun kenyataannya kedua hal ini masih menjadi "PR" bagi kebanyakan orang. Sebenarnya, tidak perlu ide-ide besar jika perilaku mendasar perihal menghargai masih sering membuat kita gusar. Untuk itu, mari kita berproses untuk menjadi manusia yang cerdas dalam menyikapi isu perpindahan agama. Sebab, tidak ada yang lebih indah daripada perdamaian antar umat beragama.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun