**Chapter 4: Konfrontasi dengan Rian**
Hujan turun deras saat Anton mengendarai mobilnya ke arah pinggiran kota, tempat Rian, pacar Lisa, dilaporkan bersembunyi. Jantungnya berdegup kencang saat mendekati tujuan, perasaan waspada yang telah lama mencekam hatinya. Ini adalah titik penting dalam penyelidikan. Jika Rian benar-benar tahu sesuatu, dia bisa menjadi kunci yang membuka misteri kematian Lisa dan Adi. Ada banyak yang harus dijelaskan, termasuk keberadaan sosok misterius yang berkaitan dengan cermin mematikan itu.
Anton berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tampak reyot, jauh dari hiruk-pikuk kota. Cahaya dari dalam rumah itu samar-samar menerobos celah jendela yang tertutup tirai tebal. Ini adalah tempat persembunyian Rian. Dengan hati-hati, Anton keluar dari mobil, merapatkan jaketnya untuk melindungi diri dari dinginnya udara malam, dan berjalan menuju pintu. Siska mengikuti di belakang, matanya tak lepas dari setiap sudut.
Setelah beberapa ketukan yang ragu-ragu, pintu terbuka dengan perlahan. Di sana, berdiri seorang pria kurus dengan wajah yang pucat dan mata yang cekung, penuh dengan kegelisahan---Rian. Dia menatap Anton dengan tatapan ketakutan, seolah-olah menyadari bahwa dunia yang ia kenal telah berubah menjadi mimpi buruk.
"Rian?" Anton bertanya dengan tenang, meski nada suaranya menuntut kejelasan.
Rian mengangguk lemah, lalu tanpa berkata apa-apa, dia membiarkan Anton dan Siska masuk ke dalam rumah. Ruangan itu sempit, dengan aroma pengap yang mengambang di udara, menandakan bahwa Rian mungkin sudah bersembunyi di sini selama beberapa waktu. Mereka bertiga duduk di ruang tamu yang nyaris kosong, hanya ada sebuah sofa lusuh dan meja kecil di depannya.
"Aku tahu kau sedang ketakutan," kata Anton, mencoba membangun kepercayaan. "Kami di sini hanya untuk mendapatkan kebenaran. Kami tahu kau mengenal Lisa, dan kami perlu mendengar ceritamu."
Rian menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Aku... aku memang mengenal Lisa, tapi aku tidak ada hubungannya dengan kematiannya. Aku terlalu takut untuk memberitahu siapa pun."
"Takut pada siapa?" tanya Anton dengan nada datar, tapi menuntut jawaban.
"Pada cermin itu... dan pria yang Lisa temui sebelum dia meninggal," jawab Rian, suaranya bergetar.
Siska memiringkan kepalanya, penasaran. "Apa yang kau maksud dengan cermin itu?"
Rian menundukkan kepalanya. "Sebelum Lisa meninggal, dia sering bercerita tentang sesuatu yang aneh. Dia bilang dia melihat bayangan di cermin, bayangan yang tidak ada di dunia nyata. Pertama kali aku mengira dia hanya berhalusinasi atau terlalu lelah. Tapi semakin lama, Lisa semakin terobsesi dengan cermin itu. Dia yakin ada sesuatu di baliknya."
Anton dan Siska bertukar pandang. Ini sesuai dengan beberapa petunjuk yang mereka temukan. Lisa memang memiliki ketertarikan aneh terhadap rumah tua dan cerminnya, tapi Anton belum siap untuk mempercayai sesuatu yang tidak logis.
"Kau menyebut seorang pria," Anton memancing lagi. "Siapa dia? Apa hubungan pria itu dengan Lisa dan cermin itu?"
Rian tampak lebih gelisah. Dia meremas-remas tangannya, jelas berjuang untuk memutuskan apakah akan menceritakan semuanya atau tidak. Akhirnya, setelah hening beberapa detik, dia mulai berbicara.
"Beberapa minggu sebelum Lisa meninggal, dia bertemu dengan seorang pria misterius. Aku tidak tahu siapa namanya, tapi dia mengaku tahu rahasia tentang cermin di rumah tua itu. Pria itu mengatakan bahwa cermin tersebut bisa menjadi semacam 'pintu' menuju realitas lain, dan bahwa apa pun yang ada di balik cermin bisa mempengaruhi mereka yang terlalu lama menatapnya."
Anton mengerutkan kening. "Realitas lain? Apa maksudmu dengan itu?"
Rian menggigit bibirnya. "Aku tahu kedengarannya gila. Awalnya, aku pun tidak mempercayainya. Tapi setelah Lisa menceritakan pengalamannya melihat bayangan yang aneh di cermin, aku mulai khawatir. Dia mulai sering mengurung diri di rumah, berusaha mencari tahu lebih lanjut tentang pria itu dan cermin. Dia semakin tenggelam dalam obsesi yang membawanya ke kematian."
Siska mendekatkan tubuhnya sedikit ke arah Rian, menatapnya dengan penuh empati. "Jadi, Lisa percaya bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar bayangan di cermin itu? Bahwa ada kekuatan yang lebih besar di baliknya?"
Rian mengangguk. "Ya. Dan hal yang paling menakutkan adalah sebelum Lisa meninggal, dia menerima pesan dari pria itu. Pesan itu mengajaknya untuk bertemu di rumah tua pada malam pembunuhan."
Anton meneguk ludahnya, hatinya mulai dipenuhi kecurigaan yang semakin besar. "Apa isi pesan itu?"
"Aku tidak tahu detailnya. Tapi Lisa terlihat sangat ketakutan, meskipun dia tetap pergi untuk menemuinya. Dia berkata, 'Aku harus mengetahui kebenarannya, Rian. Aku harus tahu apa yang ada di balik cermin itu.' Itu terakhir kali aku melihatnya hidup."
- - -
Anton duduk tegak, merasakan otaknya mulai berputar dengan cepat. Pesan dari pria misterius itu mungkin adalah jebakan, dan Lisa berjalan langsung ke dalam perangkapnya. Tapi siapa pria itu? Dan apa sebenarnya motif di balik permainan mematikan ini?
"Apa kau tahu bagaimana pria itu berhubungan dengan cermin itu?" tanya Anton lagi, berharap bisa mengorek lebih banyak informasi.
Rian menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah melihat pria itu. Aku hanya mendengar cerita dari Lisa. Tapi aku tahu bahwa setelah pertemuan itu, Lisa tidak pernah kembali."
"Dan kau tidak melapor ke polisi?" Anton menekan.
"Aku takut," jawab Rian, suaranya hampir tenggelam. "Aku takut kalau aku juga akan menjadi korban berikutnya. Setelah Lisa meninggal, aku merasa seperti diawasi. Aku merasa bayangan dari cermin itu ikut mengawasi aku."
Anton merenung dalam diam. Ada pola yang jelas mulai terbentuk. Setiap korban tampaknya diarahkan untuk melihat sesuatu di cermin sebelum mereka terbunuh. Bayangan yang dilihat oleh Lisa mungkin adalah bagian dari cara pembunuh mengontrol psikologi korban-korbannya, memaksa mereka untuk menghadapi ketakutan mereka sendiri sebelum pembunuhan terjadi. Tapi apa hubungan cermin ini dengan pembunuh?
Siska mengajukan pertanyaan yang belum terjawab. "Menurutmu, apa yang sebenarnya terjadi malam itu di rumah tua?"
Rian terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata dengan lirih, "Aku tidak tahu pasti. Tapi aku yakin bahwa pria misterius itu yang membunuh Lisa. Dia memanfaatkan obsesi Lisa terhadap cermin itu, dan mungkin juga rasa takutnya. Aku tahu ini terdengar aneh, tapi aku merasa bahwa dia menggunakan cermin sebagai alat untuk menakut-nakuti Lisa hingga dia rentan. Dan kemudian, dia membunuhnya."
- - -
Anton tertegun, menyadari pentingnya apa yang baru saja Rian katakan. Sebuah pesan dari pria misterius itu adalah petunjuk penting yang mengarah pada pertemuan fatal Lisa di rumah tua tersebut. Jika mereka bisa menemukan pria itu, mereka mungkin bisa mengungkap motif di balik pembunuhan ini.
Namun, Anton juga tahu bahwa waktu semakin menipis. Pembunuhan ketiga sudah terjadi, dan tidak ada yang tahu kapan pembunuh itu akan menyerang lagi.
"Rian," kata Anton akhirnya, suaranya tegas. "Kami butuh bantuanmu. Jika ada hal lain yang kau ketahui, sekecil apa pun, katakan pada kami."
Rian menatap Anton dengan mata penuh kebingungan. "Aku sudah memberitahumu semua yang kutahu. Tapi ada satu hal lagi..."
Anton mencondongkan tubuhnya ke depan. "Apa itu?"
Rian menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Sebelum Lisa pergi malam itu, dia meninggalkan sesuatu di apartemenku. Sebuah catatan. Tapi aku tidak pernah punya nyali untuk membacanya."
Anton merasakan detak jantungnya berdegup lebih kencang. "Di mana catatan itu?"
Rian berdiri dan berjalan menuju sebuah laci kecil di sudut ruangan. Dia membuka laci itu dan mengeluarkan secarik kertas yang sudah terlipat dengan rapi. Anton mengambilnya dengan hati-hati, membuka lipatan kertas itu, dan mulai membaca.
Di dalamnya, tertulis kata-kata yang membuat Anton merasakan getaran ketakutan yang dalam:
*"Jika aku tidak kembali malam ini, itu berarti aku sudah tahu kebenarannya. Cermin itu adalah kunci. Tapi ingat, jangan pernah menatapnya terlalu lama."*
Anton merasakan bulu kuduknya meremang. Cermin itu, tampaknya lebih dari sekadar benda mati. Apakah ini benar-benar permainan psikologis yang dimainkan oleh pembunuh?
 Ataukah ada sesuatu yang jauh lebih kelam di balik pantulan cermin yang biasa mereka lihat?
Di tengah kegelisahan yang semakin mendalam, satu hal yang pasti: cermin itu memegang kunci untuk mengungkap pembunuh bayangan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H