Di suatu pagi yang cerah, suara kicauan burung terdengar merdu di taman kota yang baru saja direnovasi. Angin sepoi-sepoi mengalir lembut, membawa aroma dedaunan segar. Taman ini bukan sekadar tempat bersantai, tapi juga simbol dari perubahan besar yang sedang terjadi di kota kecil itu.
Alya, seorang remaja berusia 17 tahun, duduk di bangku kayu yang menghadap ke taman. Ia menatap deretan pohon muda yang baru ditanam, merasa bangga sekaligus khawatir.Â
Di tangannya, tergenggam selembar poster berwarna hijau bertuliskan "Satu Langkah Lebih Hijau, Satu Bumi untuk Semua". Itu adalah slogan kampanye yang ia gagas bersama teman-teman sekolahnya. Kampanye ini bertujuan untuk mengurangi penggunaan plastik di kotanya dan mendorong masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan.
Semuanya berawal dari satu kejadian sederhana. Suatu hari, ketika Alya sedang berjalan pulang dari sekolah, ia melihat seorang ibu membuang kantong plastik bekas belanjaan ke sungai yang mengalir di dekat rumahnya.Â
Sungai itu dulunya jernih, penuh dengan ikan kecil yang berenang ke sana kemari. Namun, kini airnya keruh dan dipenuhi sampah plastik. Hati Alya tergerak. "Kalau ini dibiarkan, apa yang akan tersisa untuk generasi setelah kita?" pikirnya.
Dari kejadian itu, Alya mulai belajar tentang krisis lingkungan. Ia menyadari bahwa polusi plastik bukan sekadar masalah kecil, tetapi sudah menjadi ancaman besar bagi planet ini. Setiap hari, jutaan ton plastik dibuang ke lautan, membahayakan ekosistem laut dan kehidupan di bumi.
Berbekal tekad dan rasa peduli yang semakin kuat, Alya mengajak teman-teman sekolahnya untuk ikut serta dalam gerakan lingkungan. Mereka memulai dari hal-hal kecil. Mengganti kantong plastik dengan tas kain saat berbelanja, membawa botol minum sendiri, dan mengurangi penggunaan barang-barang sekali pakai.Â
Perlahan, kampanye mereka mendapat perhatian masyarakat. Media lokal mulai meliput kegiatan mereka, dan dukungan pun datang dari berbagai pihak, termasuk pemerintah kota.
Namun, tidak semuanya berjalan mulus. Banyak orang yang skeptis, menganggap upaya mereka hanyalah tren sementara. Ada yang berkata, "Apa yang bisa dilakukan oleh sekelompok anak sekolah? Dunia ini sudah terlanjur rusak." Namun Alya tidak pernah menyerah. Ia percaya bahwa setiap perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil.
Suatu hari, Alya dan teman-temannya diundang untuk berbicara di sebuah forum lingkungan yang dihadiri oleh pejabat pemerintah dan para aktivis. Dengan gemetar, Alya naik ke atas panggung. Namun begitu ia mulai berbicara, keyakinannya kembali menguat.
"Kami mungkin hanya sekelompok anak muda," katanya dengan tegas, "tapi kami punya impian besar. Kami ingin hidup di dunia yang lebih bersih, lebih hijau, dan lebih baik. Kami tidak hanya bicara, kami bertindak. Dan kami yakin, jika semua orang melakukan hal yang sama, bersama-sama kita bisa membuat perubahan."
Kata-kata Alya menggema di ruangan itu. Sorak-sorai dan tepuk tangan meriah memenuhi aula. Alya merasa lega. Itu bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang.
Tahun-tahun berlalu, dan kampanye yang dimulai oleh Alya dan teman-temannya terus berkembang. Kota kecil mereka kini menjadi contoh bagaimana komunitas bisa berperan aktif dalam menjaga lingkungan.Â
Kebijakan pengurangan plastik sekali pakai diterapkan secara luas, dan taman kota yang kini menjadi tempat favorit penduduk adalah bukti nyata dari perubahan positif yang mereka mulai.
Di bangku taman yang sama, Alya yang kini telah menjadi seorang aktivis lingkungan internasional, menatap masa depan dengan harapan. Ia tahu perjuangan belum usai, tapi ia percaya, selama ada orang-orang yang peduli, bumi akan selalu punya kesempatan kedua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H