Hidup ini penuh pencarian. Sudah dapat A, mau dapat B. Sudah dapat B, mau dapat C. Siklusnya terus berulang sampai tuhan bosan, kemudian menekan tombol Stop. Pencarian ini pun jalannya banyak, panjang, dan berliku.Â
Manusia semakin lama tentu semakin berkembang akibat dari pencarian ini. Hingga saat ini, bekal kita sejatinya ada tiga, yaitu ilmu, pengalaman, dan imajinasi.Â
Penemuan-penemuan hebat saat ini lahir dari imajinasi sederhana tentang hidup kita yang lebih mudah. Alva Edison dengan lampunya, Nikola Tesla dengan radio dan remote controlnya, Einstein dengan teori relativitasnya, dan masih banyak lagi penemuan serta terobosan-terobosan akibat dari pencarian yang tak kunjung usai bahkan hingga sekarang.
Beberapa dari kita yang hari ini sudah berkeluarga pastinya merasakan bahwa teknologi dan cara kita mengolah informasi terus berkembang. Mulai dari era information age sampai sekarang masuk ke conceptual age.Â
Mulai dari Nokia 3310 sampai Iphone yang sekarang sudah menembus tipe ke sebelas. Itu adalah bukti sederhana bahwa pola pikir, wawasan, ilmu, dan imajinasi kita terhadap beberapa hal terus berkembang.Â
Tapi, anehnya, selama berdekade-dekade ada yang tidak berubah. Ada yang tetap jalan ditempat semenjak lama sekali. Bahkan mungkin lebih lama dari usia pak Harto menjabat sebelum akhirnya tragedi '98, pak Harto mundur.
Ia adalah model pendidikan kita. Bayangkan, selama satu dekade, Samsung misalnya bisa menghasilkan tiga sampai lima generasi gawai dengan segala macam improvement dan perbaikan lainnya.
Di saat yang bersamaan, bayangkan pula bahwa model pendidikan modern di Indonesia yang hari ini kita anut tidak berubah sedikitpun semenjak KH. Ahmad Dahlan mempelopori model pendidikan itu, saat mendirikan sekolah pertamanya.
Paradigma Conceptual Age dan Posisi Imajinasi
Berubahnya zaman seharusnya juga membawa paradigma baru kepada masyarakat. Sebagai hasil daripada perubahan, itu adalah konsekuensi logis sebagai produk intelektual yang hadir untuk kemudian ditafsirkan dalam segala penjuru kehidupan. Tidak terkecuali pendidikan.Â
Hari ini, kita sudah memasuki era yang kita sebut sebagai conceptual age. Era dimana imajinasi dan gagasan adalah sesuatu yang sangat vital dan penting sebagai kunci dari kemajuan.Â
Pendidikan seharusnya mampu untuk berjalan beriringan dengan kemajuan itu. Sekolah terlebih dahulu harus menjadi tempat dimana imajinasi berkembang. Tempat dimana gagasan punya kuasa.
Peralihan dari information age menjadi conceptual age meninggalkan beberapa ciri. Ciri yang paling umum adalah bahwa di era information age, mereka yang berkuasa adalah mereka yang mengetahui segelintir informasi mengenai beberapa hal.Â
Imajinasi dalam era ini adalah sesuatu yang dipandang sebelah mata dan diperuntukkan kepada mereka yang secara profesi membutuhkan itu. Di era information age, imajinasi dan gagasan tidak begitu punya ruang bagi segelintir profesi tertentu. Individualistik begitu menonjol.Â
Itu pula yang menyebabkan tiap anak harus dipaksa berlomba untuk menjadi rangking satu di sekolahnya. Padahal tidak ada jaminan bahwa setelah rangking satu, siswa tersebut akan sukses.
Era yang saya sebutkan diatas tentu sangat berlainan dengan era conceptual age, dimana gagasan dan imajinasi justru punya tempat. Di era ini, mereka yang mampu untuk mengeksekusi ide, imajinasi, dan gagasan lah yang berkuasa.Â
Tidak peduli apakah ia guru, arsitek, atau sekadar ibu rumah tangga. Semua punya hak untuk mengemukakan ide dan gagasan. Mari tengok sebentar tokoh-tokoh berpengaruh hari ini.
Mark Zuckerberg yang kita kenal dengan Facebooknya bahkan tidak begitu menguasai secara teknis bagaimana Facebook bisa berdiri. Begitupun Steve Jobs, dan tokoh-tokoh lain.Â
Modal paling dasar mereka, adalah imajinasi, ide, dan gagasan. Kemudian barulah setelahnya dieksekusi bersama hingga sekarang bisa kita nikmati buah dari imajinasinya.Â
Secara langsung peralihan dari era informasi ke era konseptual seperti sekarang akan menanggalkan sifat individualistik dan secara alami menciptakan  ekosistem yang kolaboratif.
Kesalahan Pendidikan Kita
Pendidikan kita bak laki-laki di mata perempuan. Jarang betulnya. Selalu saja jadi kambing hitam ketika dikemudian hari ada siswa nakal yang kebetulan bikin onar. Pendidikan kita yang nyatanya multidimesi memang turut membentuk seseorang.Â
Pemerintah melalui Kemendikbud sudah memberikan kemudahan akses sekolah. Bahkan di beberapa daerah, sekolah sudah tidak lagi dikenakan biaya. Banyak sekolah yang kemudian hadir di tiap penjuru negeri.Â
Namun, yang jadi masalah setelah ini adalah bahwa memang pemerintah secara kebijakan telah menjadikan sekolah sebagai lembaga yang memberikan akses kepada siapa saja untuk bisa menempuh pendidikan formal. Tapi itu tidak turut menyelesaikan persoalan yang justru vital.
Sekolah kita yang secara kuantitas makin banyak, nyatanya secara kualitas kita tidak pernah pergi kemana-mana. Sekolah sebagai tempat gagasan berkembang malah mandek memproduksi kemajuan.Â
Kalau boleh pinjam istilahnya Uda Chudiel, di sekolah, bertanya adalah tabu, membangkang dinilai dosa, kreatif itu memalukan, diam adalah emas, dan penurut justru membanggakan.Â
Kita selama berdekade-dekade terjebak dalam paradigma pendidikan yang sudah tak lagi relevan. Kita memaksa paradigma era informasi di era konseptual. Adalah kemubadziran yang nyata dan sialnya, masih kita gunakan. Pendidikan kita gagal menciptakan individu yang pandai membaca zaman.
Sekolah justru mematikan imajinasi. Kita gak lagi bebas bermimpi mau jadi siapa saja dan apa saja. Kurikulumnya memaksa kita untuk meninggalkan mimpi dan cita-cita seolah dimasa depan, guru dan sekolah kita yang punya kendali.Â
Pendekatan behavior yang biasa digunakan untuk membentuk perilaku anak bermasalah justru memutus harapan bahwa dimasa depan, ia bisa jadi sosok yang kita tidak pernah duga-duga.Â
Di sekolah, kita diajak dan diprogram untuk jadi nomor satu. Kita didoktrin untuk berkompetisi, bukan berkolaborasi. Sebuah kenyataan yang sangat menentang era konseptual, pun tidak lagi relevan dengan zaman.
Kegagalan itu alhamdulillahnya sudah ditinggalkan oleh beberapa sekolah. Tapi bukankah itu adalah sebuah keegoisan apabila kita cuma bicara 'beberapa' saja?
Paradigma dan sistem aneh semacam yang ada di pendidikan kita itu terus berkembang dan mengakar kalau dibiarkan. Mendikbud yang kita akrab sapa dengan sebutan Mas Mentri padahal sudah punya ikhtiar baik menolak keanehan sistem pendidikan itu.Â
Kesalahan aneh yang sampai sekarang saya masih gak paham. Kenapa masih saja ada orang, Â yang menganggap bahwa jurusan yang kita ambil di sekolah, akan menentukan apa profesi kita dimasa depan.Â
Bukankah itu adalah egois untuk mengatakan bahwa kita sejatinya bebas bermimpi dan berimajinasi?
Tidak semua tulisan hadir sebagai bentuk solusi atas segala macam problematika. Selayaknya sebuah kritik yang gak melulu harus dibarengi solusi, pendidikan kita adalah segumpal pertanyaan yang rasanya belum boleh terjawab agar kita akan senantiasa mencari.Â
Karena dengan terus mencari, kita akan tetap hidup, dan terus menembus peradaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H