Mohon tunggu...
Brilliant Dwi I
Brilliant Dwi I Mohon Tunggu... Freelancer - Memuat Opini yang

Mahasiswa Pendidikan UIN Jakarta | Acap membuat komik di Instagram @sampahmasyarakart | Sedang Belajar Menulis | #SalamAlinea

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mencari Hukuman yang Cocok untuk Pelaku Perundungan dan Anak Bermasalah

14 Februari 2020   01:11 Diperbarui: 14 Februari 2020   07:35 3179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi | sumber: Pixabay

Cahya, siswi SMP Muhammadiyah Butuh, Purworejo, menurut saya patut menjadi perhatian dan butuh penanganan yang serius. Pasalnya, menurut beberapa artikel berita yang saya baca, ia telah mengalami perundungan oleh teman-temannya selama kurang lebih 4 bulan sampai dengan artikel ini ditulis.

Saya yakin. Yang sakit hati dan gak terima pasti bukan cuma orangtua, atau keluarganya, tapi seluruh warga Indonesia. Terdengar agak hiperbolis, tapi nyatanya siapa yang tahan melihat bully dipertontonkan?

Melihat Cahya dipukul, ditendang di video saja saya sudah mesuh. Apalagi saya menyaksikan langsung. Saya kira kejadian semacam ini acap terjadi di beberapa sekolah di Indonesia. Kejadian di mana perundungan dianggap bercanda dan korban dibiarkan merana.

Sebuah tamparan keras untuk pendidikan kita hari ini. Ketimpangan yang nyata. Gagasan Merdeka Belajar rasanya baru sekadar sebuah gagasan mengawang yang indahnya cuma ada di kepala.

Mending kalau mengawangnya di semua kepala. Bagaimana kalau ternyata gagasan itu cuma mengawang di kepala mereka yang 'punya'?

Kita nggak pernah benar-benar merdeka. Di beberapa daerah, belajar cuma sebuah kegiatan pasif ditambah sedikit omong kosong penyadaran. Guru nggak lagi diguguh dan ditiru. Hormatnya hilang karena dibasmi dan diburu.

Dalam beberapa hal kita harus sepakat bahwa persoalan perundungan dan penyimpangan perilaku anak bermasalah adalah persoalan serius yang baik korban maupun pelaku harus ditindaklanjuti secara dewasa.

Pelaku Bully, Karena apa? Salah siapa?
"Ah! Ini pasti karena sekolah gak ngawasin nih! Gurunya gak ngajarin sopan santun apa?!"

Semoga tidak ada lagi orang bodoh yang menganggap segala macam akar permasalahan pendidikan, sumbernya adalah sekolah. Orang yang sama bodohnya seperti mereka yang menganggap pencurian terjadi karena pintu gak dikunci.

Ya memang benar, sekolah punya pengaruh. Tapi ya sekolah bukan satu-satunya sumber permasalahan. Persoalan pendidikan selalu persoalan multidimensi. Selesai dan penanganannya gak seinstan bikin indomie di kosan.

Pertama, peran orangtua. Penyimpangan perilaku anak bisa terjadi karena secara psikologis orangtua siswa bisa saja gak paham putra atau putrinya. Peran dan pendampingan orangtua siswa punya peran vital terhadap pembentukan moral dan karakter siswa.

Pelaku perundungan terhadap Cahya, berusia 15-16 tahun. Usia di mana ia sedang penasaran-penasarannya dengan sesuatu. Kalau pos ini tidak dikawal dan diberi perlakuan serius oleh orangtua, ya jangan salahkan sekolah kalau anaknya jadi tukang mabuk dan doyan bully.

Menyebalkannya, banyak orangtua ngehek yang terima jadi. Ia menganggap sekolah adalah tempat servis kepribadian. Anak yang kelakuannya beringas, sengaja dititipkan ke pesantren supaya moralnya membaik. Membaik matamu!

Sekolah bukan tempat penitipan. Orangtua harus terlibat dengan pos-pos penting pembentukan kepribadian. Jangan terima jadi. Ini anakmu lho, bukan hadiah ciki!

Kedua, peran sekolah dan pendidikan agama. Saya secara spesifik harus meng-highlight pendidikan agama karena dalam beberapa kasus, pendidikan moral sering dikaitkan dengan pendidikan agama.

Di beberapa sekolah, mereka yang kelakuannya buruk, atau pendidikan agamanya buruk akan dipertimbangkan kelulusannya. Ini bukti bahwa dalam hal ini sekolah benar-benar memperhatikan moral siswa.

Dalam skala yang lebih luas, sekolah yang diberikan wewenang untuk menentukan kelulusan siswa menggunakan 'perilaku baik' sebagai syarat kelulusan. Sehingga pada akhirnya ini memungkinkan sekolah untuk punya kontrol terhadap ranah afektif siswa. Ya meskipun sudah sangat last minute.

Yang jadi pertanyaan, kalau itu benar-benar digunakan untuk memaksa siswa berprilaku baik, bukankah itu sia-sia? Bukankah pembentukan perilaku itu persoalan pembiasaan?

Pada pos inilah, pendidikan agama masuk. Proses di mana pembiasaan dan pembentukan moral dibangun. Kalau kurikulum kita apik, harusnya ini bisa membantu mengurangi angka penyimpangan perilaku siswa, terutama bully.

Sialnya, pendidikan agama yang selama ini dijadikan tombak utama pembentukan moral dan karakter siswa juga tidak sepenuhnya berhasil.

Ia cuma punya persentase yang sangat kecil terhadap pembentukan moral dan karakter jika pendidikan agama justru bersifat kaku dan melulu berpaku pada praktik ibadah secara teoritis. 

Pendidikan agama yang kaku dan tidak memberikan gambaran kehidupan sosial yang baik ditambah dengan tidak adanya pembiasaan pembentukan perilaku siswa bisa jadi alasan mengapa bully dan penyimpangan perilaku siswa terjadi.

Hukuman bagi Pelaku Bully
Selesai saya rasa persoalan salah-menyalahkan. Persoalan selanjutnya, ini anak yang udah nempeleng kepala temennya mau diapain? Apakah dipenjara adalah solusi?

Bagi banyak orang yang sudah terlanjur emosi, pasti menjawab: "Udah, penjara saja!". Hmmm.

Memenjarakan anak hanya menambah trauma dalam tubuhnya, tubuh masa depan bangsa. Proses penyembuhan mereka yang mengalami penyimpangan perilaku baik ringan maupun berat tentu butuh proses dan butuh waktu. Dan juga pastinya, butuh pengawasan.

Anak yang dipenjara, kurang atau bahkan tidak mendapatkan treatment itu. Bukannya sembuh, bisa jadi makin parah, son. Penjara justru menjauhkan anak dari pengawasan dan treatment dari orangtua.

Anak perlu direhabilitasi. Diberi pembiasaan dan stimulus positif. Dan selama proses penyembuhan itulah, peran orangtua masuk, peran agama masuk, peran lingkungan masuk.

Anak juga baiknya tidak diisolasi. Karena itu justru mematikan kepekaan sosial mereka.

Kasus merundung sebagaimana terjadi oleh Cahya adalah sebuah bukti bahwa di Indonesia, nurani belum punya tempat.

Pendidikan kita semacam harapan dalam sebuah doa yang tak kunjung usai. Panjang dan tak tau kapan dikabulkan.

Membaca adalah menolak dininabobokan oleh kebodohan. Dan kepintaran apapun sejatinya tidak akan ada gunanya tanpa kesalihan.

Akhir kata,
Salam alinea.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun