Mohon tunggu...
Alinda Khaerunisa
Alinda Khaerunisa Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Legal Consultant

Talk about Law.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dinyatakan Melanggar Hukum atas Pembatasan Internet di Papua, Kapan Pemerintah dapat Membatasi Informasi Rakyatnya?

18 Juni 2020   23:57 Diperbarui: 18 Juni 2020   23:54 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada (3/6/2020) lalu, Majelis Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah mengabulkan gugatan sejumlah organisasi masyarakat sipil terkait tindakan pemerintah dalam melakukan pelambatan dan pemutusan akses internet di Papua Agustus lalu. Melalui Putusan Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT, majelis hakim telah memutus pemerintah telah melakukan perbuatan melanggar hukum atas tindakannya melakukan pembatasan akses internet di Papua dan Papua Barat. 

Majelis Hakim kemudian menghukum Presiden Joko Widodo dan Menkominfo untuk membayar biaya secara tanggung renteng sebesar Rp. 457.000,00 (empat ratus lima puluh tujuh ribu rupah), serta pemerintah dituntut untuk menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan dan/atau tindakan pelambatan dan/atau pemutusan akses internet di seluruh wilayah Indonesia.

Selain itu, pemerintah juga harus meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia khususnya Papua dan Papua Barat di media cetak, radio, dan televisi nasional.

Sebelum menyelami problematika ini lebih dalam, penting untuk dipahami terlebih dahulu bahwa mendapatkan informasi merupakan hak setiap orang dan merupakan bagian daripada hak asasi manusia. Dalam melakukan pembatasan informasi pemerintah tidak boleh melupakan bahwa terdapat hak kebebasan dalam memperoleh informasi milik rakyat yang seharusnya dilindungi, sesuai apa yang telah diatur dalam Pasal 28F UUD 1945. 

Pasal ini telah melindungi hak masyarakat untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, serta mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Selain itu, hak ini juga diatur dalam Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang menyebutkan bahwa  "Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan dan setiap orang berhak untuk kebebasan menyatakan pendapat."

Oleh karena itu, penting untuk dibahas terlebih dahulu mengenai kondisi seperti apa yang harus terpenuhi apabila akan dilakukan suatu pembatasan hak asasi manusia milik seseorang. Setidaknya, terdapat 2 (dua) kondisi mendasar yang harus dipenuhi untuk dapat membatasi hak asasi manusia , yaitu situasi tersebut harus berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa, dan negara pihak harus menyatakan secara resmi negara dalam keadaan darurat. 

Adapun penjelasan mengenai keadaan darurat pada suatu negara dijabarkan secara terang dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Dalam Pasal 1 ayat (1) undang-undang tersebut disebutkan bahwa keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang terjadi apabila: 

1. keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa; 

2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga; dan 

3. hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.

Kriteria lainnya mengenai kegentingan yang memaksa dinyatakan oleh Prof. Dr. Bagir Manan, S.H. seorang mantan Ketua Mahkamah Agung, bahwasanya unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu adanya krisis (crisis), dan ada kemendesakan (emergency). 

Menurut beliau, suatu keadaan dapat dinyatakan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbance). Namun, sangat disayangkan bahwa hinggga saat ini ukuran "kegentingan yang memaksa" selalu bersifat multitafsir dan besarnya subyektivitas Presiden atau pemerintah dalam menafsirkan frase "kegentingan yang memaksa". 

Oleh karena itu, pemerintah diharapkan harus sangat berhati-hati dalam memutuskan suatu kebijakan terkait dengan pembatasan informasi mengingat hal tersebut sangat berkaitan dengan hak asasi manusia milik warga negaranya. 

Sebelum dikeluarkannya  kebijakan tersebut, diharapkan pemerintah mampu memperhitungkan konsekuensi dan berbagai kerugian yang akan didapatkan oleh rakyat, apabila kebijakan serupa akan dijalankan di kemudian hari.

Selain keadaan darurat atau memaksa yang harus terpenuhi, Pasal 2 ayat (2) UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya juga menyatakan bahwa pengumuman pernyataan atau penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh presiden. Hal ini membuat pernyataan mengenai keadaan bahaya suatu negara tidak dapat dinyatakan oleh sembarang pihak dan memang harus oleh pihak yang diberikan kewenangan oleh undang-undang.

Memang benar adanya bahwa UU No 19 tahun 2016 yang mengubah UU No 18 tahun 2008 tentang ITE dalam Pasal 40 memberikan ruang kepada pemerintah untuk melakukan pemblokiran terhadap situs-situs tertentu. 

Pasal 40 poin 2a yang  menyebutkan, "Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.", dan Pasal 40 poin 2b yang menyebutkan, "Dalam melakukan pencegahan, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum." telah jelas menyatakan kewenangan pemerintah dalam membatasi informasi suatu negara.

Namun, dengan terdapatnya pengaturan tersebut bukan berarti pemerintah dapat begitu saja membatasi informasi yang dilakukan kepada rakyatnya. Konvenan internasional hak sipil dan politik memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan pembatasan-pembatasan hak asasi manusia, dengan syarat  negara tersebut  dalam keadaan darurat yang esensial dan mengancam kehidupan suatu bangsa. 

Melihat apa yang telah dipaparkan di atas mengenai pembatasan informasi bagi rakyatnya oleh suatu negara, jadi menurut kalian apakah kriteria-kriteria tersebut telah terpenuhi dalam pembatasan informasi yang dilakukan di Provinsi Papua dan Papua Barat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun