Tapi syukur alhamdulillah, Bu Atun sama sekali tidak menghambat langkahku--seperti gosip yang selama ini beredar. Bahkan di akhir sidang, si Ibu sempat memelukku seraya berkata, "Perfecto. Akhirnya jadi sarjana juga."
Ya, Tuhan. Saya sampai berkaca-kaca bila mengingat itu semua.
Terimakasih tak terhingga buat Bu Dr. Zaitun--maaf, Bu, saya lupa gelar-gelar pendidikan ibu--atas segala pembimbingan dan juga perhatiannya. Walaupun kesan yang beliau tunjukkan tetaplah killer, tapi selama kita tidak berbuat yang neko-neko, beliau pun akan respek terhadap kita.
Selain Bu Atun, masih ada satu lagi guru killer yang hingga kini masih terus membekas di hati saya. Bila Bu Atun itu dosen perempuan, sekarang kita akan bercerita tentang guru laki-laki.
Guru killer yang Kedua itu bernama Pak Alam.
Beliau itu guru olahraga sekaligus wali kelasku di kelas satu Sekolah Menengah Atas (SMA).
Ah, entah kapan lagi saya bisa bertemu dengan beliau. Kabar yang saya terima dari teman-teman SMA, katanya beliau sudah kembali ke pemiliknya, penguasa alam semesta, Allah SWT. Hiks.
Padahal dulu, ketika masih menjadi siswi putih abu-abu, saya sering banget merasa kesal sama beliau. Soalnya beliau itu guru olahraga--mata pelajaran yang paling tidak saya sukai dan tidak pula saya kuasai. Selain itu, beliau juga menjadi wali kelasku saat duduk di kelas I.1 SMU 10 Padang.
Bayangkan, sudah berapa kali saja saya ditegur beliau, karena tidak bisa melakukan smash saat bermain volli. Terus tidak bisa pula lempar lembing, bahkan untuk lari pun selalu menjadi sang juara dari belakang.
Saya sering kali menangis kalau sudah dimarahi beliau. Bahkan, saya masih ingat kata-kata beliau, "Kamu itu sebenarnya pintar. Nilai-nilai pelajaran kamu yang lain bagus-bagus, tapi kenapa olahraga kamu sama sekali gak bisa?"
Saya diam saja saat itu. Karena memang saya akui, olahraga itu bagaikan musuh bagiku. Jadi, mau bagaimanapun jenis olahraganya, saya takkan pernah suka dan takkan pernah bisa.