Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Serial Noval] The Perfect House For The Perfect Couple

24 November 2019   14:54 Diperbarui: 30 Desember 2019   13:12 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah kenapa akhir-akhir ini, klien yang datang kepadaku itu adalah klien-klien terpilih dan super ajaib. Setelah tiga bulan lebih dibikin pusing oleh Mr. Chou, seorang pengusaha asal Tiongkok berwarganegaraan Singapura, yang minta dibuatkan desain rumah modern bergaya Eropa namun tetap tampak minimalis--nah, sampai sini saja aku sudah mulai dibuat senut-senut mengartikan keinginan klienku yang satu ini. Dan menurut pengakuan Mr. Chou, rumah tersebut sekiranya hendak dipersembahkan khusus untuk istri mudanya yang orang Indonesia asli sebagai hadiah ulang tahun. 

Wow, so amazing! Aku saja sempat membayangkan seperti siapakah sosok sang istri tersebut? Karena setiap kali berkonsultasi, Mr. Chou tidak pernah sekalipun membawa istrinya. Oh, sayang sekali ya.

Tapi, sudahlah. Yang penting urusan dengan Mr. Chou akhirnya kelar juga. Dan untuk itu, aku akhirnya memilih mengambil cuti selama dua pekan ke Karawang guna me-refresh otak, pikiran dan tenagaku untuk menerima proyek berikutnya. Beruntung aku memiliki bos seperti Mr. Philips, yang sangat memahami kondisi setiap anak buahnya. Sehingga saat pengajuan cuti, tanpa banyak tanya dan pertimbangan lagi, Mr. Philips pun langsung meng-acc-nya. Oh, God, thank you. Itulah sebabnya hingga kini aku masih tetap loyal terhadap perusahaan ini.

Dan kini. Kembali aku dihadapkan oleh klien yang super duper ajaib lagi. Bila kemarin klienku itu hanya seorang, sekarang menjadi dua orang. Tepatnya sih sepasang suami istri baru alias pengantin baru. Ya, aku ingat sekali awal kedatangan pasutri (pasangan suami istri) ini.

***

Siang ini kami janjian di Robista--seperti biasa--dan mereka datang sendiri-sendiri. Membayangkan hal itu saja sudah membuatku geleng-geleng kepala.

Diawali dengan sang suami yang datang terlebih dahulu dengan masih mengenakan pakaian dinasnya.

"Maaf, Bang. Saya langsung ke sini dari kantor. Kebetulan kantor saya memang tidak begitu jauh dari kedai kopi ini." Basa-basi klienku ini memberikan alasannya. Dan segera saja kusambut dengan senyuman.

Oya, ngomong-ngomong, kenapa orang acap kali menyapaku dengan sebutan abang ya? Padahal, aku sama sekali tak memiliki darah Sumatera lho. Tahu sendiri kan kalau ayahku itu orang Karawang asli, sedangkan almarhumah ibuku keturunan Jogja yang sudah sejak lahir menetap di Jakarta. Hanya kebetulan saja, aku menghabiskan masa sekolahku di Medan, mengikuti dinas Papah di sana. Dan pasca Mamah meninggal, Papah menikah lagi dengan perempuan Tasikmalaya dan menetap di sana. Sedangkan aku? Ya, di sinilah aku kini. Mengadu nasib di ibukota.

"Iya, gak papa. Saya juga belum lama kok di sini. Silakan ini, dipesan dulu." Kusodorkan daftar menu kepadanya dan langsung disambut dengan kening berkerut.

"Pelayan di kedai ini robot semua ya, Bang?" tanyanya setengah berbisik. Entahlah. Mungkin takut terdengar oleh para robot itu. Eh? 

"Bukan hanya pelayannya. Tapi penerima tamu di pintu depan sana dan para baristanya pun robot semua," sahutku sambil tersenyum.

"Oh!" Hanya itu yang akhirnya keluar dari mulut klienku yang laki-laki ini.

Ya, aku memang paling suka mengajak klien-klienku meeting dan diskusi di Robista. Selain tempatnya yang memang cozy, menu yang disajikannya--terutama kopinya--pun benar-benar membuat kita ketagihan. Buktinya, setiap klien yang kuajak ke sini selalu saja memberikan penilaian positif terhadap kedai kopi kekinian ini. Dan itulah yang membuatku makin betah berlama-lama di sini meskipun terkadang bisa menguras kantong juga.

"Oke. Bisa kita mulai ya sekarang, sambil menunggu pesanan tiba," ujarku seraya menyerahkan beberapa portofolio berisi beberapa contoh desain rumah hasil rancanganku sendiri. Tapi klienku ini segera saja menolak.

"Tunggu dulu, Bang. Istri saya kan belum datang. Dia bilang tadi lagi ada meeting dengan beberapa staf rumah sakit tempatnya bekerja. Maklumlah. Istri saya itu salah satu pemegang saham di rumah sakit yang dibangun oleh keluarganya sendiri. Dan kebetulan pula, istri saya itu seorang dokter."

Benar-benar pasangan yang wow, menurutku. Itulah kenapa sering diibaratkan bahwa jodohmu itu cerminan dirimu sendiri. Jadi, bila engkau bukan berasal dari kaum borjuis dan berpendidikan tinggi, maka jangan pernah bermimpi bakal mendapatkan jodoh dari kalangan seperti itu. Karena apa? Karena kisah-kisah itu hanya ada di serial drama Korea, sinetron Indonesia dan dongeng-dongeng ala Cinderella saja. Di kehidupan nyata? Hm, mungkin hanya terjadi sekitar 0.01%. Kenapa begitu? Ya, memang kenyataannya seperti itu.

***

Selang setengah jam menunggu dalam kegundahan, tiba-tiba saja muncul sesosok perempuan cantik, tinggi semampai, dengan mengenakan setelan blus corak kembang-kembang warna putih, rok span hitam polos panjang dan hijab corak monokrom. Sambil mencium tangan laki-laki berseragam TNI, dia pun menarik kursi di sebelah laki-laki tersebut dan mulai menyapa kami. 

"Maaf ya, Bang, saya terlambat. Meeting tadi ternyata berjalan alot, sehingga membuat saya agak meradang. Makanya akhirnya saya putuskan saja untuk segera ke sini."

Basa-basi kedua yang kuterima hari ini. Well, beginilah bila berhubungan dengan pasangan yang super sibuk. Tingkat kesabaranmu benar-benar akan teruji dengan baik.

"Oya, gak papa. Silakan pesan makanan dan minuman dulu. Santai saja. Jadwal saya kebetulan hari ini tidak terlalu padat kok." 

Segera saja kupanggilkan robot waitress untuk meminta lagi daftar menu buat Bu Dokter yang tampak kelelahan setelah mengikuti meeting di rumah sakit.

"Terimakasih, Bang," sahut Bu Dokter saat menerima daftar menu dari si robot waitress. Dan setelah membaca-baca daftar menu, "Ok. Saya pesan Mocha frappy dan hot tuna fettuccine saja ya. Terimakasih."

Sambil menunggu pesanan Bu Dokter datang, meeting tentang desain rumah pun segera digelar. Dan berhubung portofolio dan contoh desainnya telah ada di depan pasangan tersebut, maka kubiarkan saja mereka melihat-lihat, menilai, berdiskusi serta berdebat tentang rumah masa depan yang akan mereka bangun rencananya di Lombok.

"Di Lombok? Jadi, bukan di Jakarta?" tanyaku dengan ekspresi wajah tampak terkejut.

"Hahaha... Ya bukanlah, Bang. Tanah di Jakarta itu kan udah mahal,"Bu Dokter berkomentar. "Kami sengaja membangunnya di Lombok sebagai tempat alternatif liburan kami. Dan kami inginnya kelak rumah masa depan kami itu benar-benar menjadi rumah yang sempurna, tempat kami menghabiskan masa liburan bersama anak-anak, setelah lelah dengan segala keruwetan di Jakarta."

Oh!

Sang suami pun menambahkan, "Makanya kami sekarang itu benar-benar serius mencari seorang arsitek handal yang bisa mewujudkan impian kami itu. Dan pilihan itu jatuh ke Abang, yang kami dengar memiliki reputasi yang baik dan selalu berhasil memuaskan hasrat dan keinginan klien. Gimana, Bang? Sanggup kan mewujudkan The Perfect House buat kami?"

Ya, Tuhan. Kuhembuskan napas yang terasa berat di dada. Kembali aku harus berurusan dengan klien yang maha sempurna keinginannya. Maha sempurna maunya. Dan The Perfect House? Sejauh ini aku sudah bisa menebak dan membayangkan bagaimana prosesnya. Apalagi melihat penampilan pasutri yang ada di hadapanku ini. Tapi, ya sudahlah. Inilah resiko yang harus kuambil. Dan ini bukan untuk kali pertama. Jadi...

"Ok, siap. Bagaimanapun keinginan Mbak dan Mas, selama itu masuk akal dan saya mampu, insya Allah akan saya wujudkan. Jadi, saya juga mohon kerjasamanya ya. Oya satu lagi, saya mohon dengan sangat, bila nanti sudah dilakukan kesepakatan untuk revisi, usahakan jangan berubah-ubah lagi ya. Karena saya juga butuh waktu dan pikiran untuk melakukan hal itu. Jangan sampe desain yang sekiranya kudu kelar sesuai dengan tenggat waktu yang telah disepakati, eh ternyata malah molor. Gimana, Mbak dan Mas? Kita bisa deal gak nih?"

Sengaja kutekankan poin yang terakhir itu. Karena apa? Karena aku tak mau lagi mengalami hal seperti saat bersama Mr. Chou dulu. Apalagi klienku itu bukan hanya satu. Biasanya, ada sedikitnya dua klien yang kupegang dalam sekali waktu. Jadi, aku tak mau berat sebelah dan lebih mementingkan satu klien saja.

"Ok. Saya deal, Bang." Bu Dokter segera saja menyodorkan tangannya dan aku pun menyambutnya. Sang suami kulihat sempat akan melontarkan protesnya lewat tatapan matanya, tapi tak jadi. Hingga akhirnya...

"Ok. Saya pun sepakat, Bang. Kapan kita mulai kerjasama ini?" tanya Sang suami seraya ikut menyalamiku.

Well, kesepakatan pun akhirnya diraih. Dan mulai detik ini... selamat datang kembali kepala senut-senut. Semoga saja pasangan ini tidak sampai  membuatku harus menggebrak meja kerja dan melampiaskan kemarahan kepada sekretarisku yang super baik dan sabar itu.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun