Ternyata, liburan di Karawang itu penuh sensasi juga ya. Sungguh, aku tak pernah menyangka sebelumnya. Coba bayangkan saja. Baru saja dua hari di sini, di hari ketiga aku mendapatkan kabar tentang teror yang dilakukan oleh orang-orangan sawah. Lanjut di hari keempat aku sudah harus berurusan dengan polisi karena laporanku mengenai teror orang-orangan sawah di sawah warisan Aki Dahlan. Alhasil, hingga kini aku harus bolak-balik ke Polsek untuk dimintai keterangan sebagai saksi terkait dengan laporanku itu.
"Kumaha perkembangan terakhir dari kasus orang-orangan sawah itu, A?" sapa Bi Isah saat dilihatnya aku diturunkan Kang Idrus di teras depan rumah mendiang Aki. Sepiring kue cucur dan secangkir teh manis hangat rupanya telah terhidang manis di situ.
"Lieur ah, Bi," jawabku seraya mencomot kue cucur bikinan Bi Isah sendiri. "Hm, kuenya enak, Bi. Belum seminggu saya di sini, kayaknya saya bakalan betah nih. Soalnya, saban hari, pagi dan sore, selalu aja disuguhi kue-kue kampung yang lezat bikinan Bibi."
Bi Isah hanya tersenyum menanggapinya. Kemudian duduk di sebelahku seraya bertanya, "Lieur kumaha, A? Belum ketemu kitu siapa pelakunya?"
Aku menggeleng. Mulutku penuh dengan kue cucur sehingga kesulitan untuk menjawab pertanyaan Bi Isah itu. Setelah agak kosong, baru aku mulai bicara.Â
"Belum ada titik terangnya, Bi. Soalnya teror tersebut dilakukan oleh orang-orangan sawah yang melayang-layang di tengah sawah tepat tengah malam lagi. Jadi untuk sementara polisi belum bisa menyimpulkan apakah itu dilakukan pake magic ato ada cara lain untuk menggerakkan orang-orangan sawah itu."
"Ah, peeling (feeling, maksudnya) Bibi mah yang menggerakkan itu semua udah pasti ada alatnya atuh. Orang jaman udah canggih gini kok ya polisi masih aja percaya ama magic."
Mendengar komentar Bi Isah itu, aku hanya bisa tersenyum. Ya, kuakui kalau Bibi Isah dan Mang Subur itu memang tipikal pasangan yang sudah modern pemikirannya. Mereka sudah tak terlalu percaya lagi sama hal-hal yang berbau mistis dan magic itu. Makanya saat aku mengutarakan alasan polisi terkait kasus yang kulaporkan, Bu Isah bisa dengan mudah membantahnya.
"Oya, Bi. Ngomong-ngomong, Mang Subur belum pulang ya?" tanyaku saat sama sekali tak kujumpai sosok laki-laki yang kumaksud itu.
"Nya, belum atuh, A. Si Mamang mah biasanya pulang maghrib. Maklum, proyek yang sedang dikerjakannya itu terletak di kecamatan lain yang jaraknya lumayan jauh dari desa ieu."
Ya, selain sebagai penjaga rumah Aki, Mang Subur itu sehari-harinya bekerja sebagai kuli bangunan. Jadi, di mana tenaganya dibutuhkan, maka dia harus siap sedia ditempatkan di mana saja. Kadang bisa sampai ke Cikarang dan Bekasi segala. Dan berhubung hari kian petang, Bi Isah pun akhirnya pamit ke belakang untuk kembali mengerjakan pekerjaan rumah yang tak pernah ada habis-habisnya itu.
***
"Akbar, mau ke mana lagi kamu?"
Sebuah teriakan yang berasal dari rumah depan mau tak mau membuatku kepo dan mendongakkan kepala.
"Apa sih, Nek? Akbar kan cuma mo main bentar ke rumah Ilham. Akbar pamit dulu, Nek. Assalamualaikum." Kemudian, wuss... Anak kelas lima SD itu pun melesat keluar dengan menggunakan skateboard-nya.
"Akbaaarrr... kalo mau main, jangan pake papan seluncur itu...."
Terlambat. Teriakan sang nenek sama sekali tak digubris cucunya. Akhirnya si nenek hanya bisa mendengus dan berbalik badan hendak masuk lagi ke dalam rumah. Sebelum si nenek masuk...
"Sore, Mak Icih. Kenapa lagi dengan Akbar?" sapaku kepada nenek dari cucu yang bernama Akbar itu.
"Ieu budak teh pikasebeleun pisan. Sehari-hari main papan seluncur wae. Bikin Emak deg-degan. Takut jatuh itu budak."
"Hahaha... Gak papa kok, Mak. Akbar kayaknya udah ahli memakainya. Udah, biarin aja. Jangan diambil pusing, Mak."
Mak Icih tersenyum kecut. Kemudian, "Ya udah atuh, Jang, Emak masuk dulu. Oh ya, gimana perkembangan kasus orang-orangan sawahnya?"
Fiuh. Hari ini sudah dua orang yang menanyakan perihal kasus orang-orangan sawah. Dan Mak Icih ini adalah orang kedua yang menanyakannya. Lagi, aku hanya mampu menggeleng, karena aku pun hingga detik ini belum mendapatkan info dan titik terang terkait kasus ini. Polisi baru bisa menduga kalau otak dibalik teror ini adalah Pak Lurah (sebutan Pak Kades di sini) bersama pihak developer perumahan. Karena semua warga desa pun tahu kalau Pak Lurah itu calo tanah di desa ini.
Pasca sepeninggalan Mak Icih, aku ternyata masih betah saja berada di teras depan. Menyaksikan ibu-ibu buruh tani--yang oleh orang sini disebut odong-odong--yang baru pulang dari sawah, dengan baju kecokelatan penuh lumpur dan caping yang menutupi kepala mereka. Betapa berat perjuangan yang harus mereka lalui hanya untuk bisa memperoleh sesuap nasi dan beberapa keping rupiah untuk membiayai sekolah anak-anak.
Sebagai anak yang dilahirkan dari keluarga berada, tentunya aku sama sekali tak merasakan hal itu. Aki Dahlan--kakekku dari pihak Papah--itu seorang petani dan saudagar sukses di desa ini. Ketiga anak-anaknya pun telah sukses hidup di perantauan. Sedangkan aku sebagai cucunya? Alhamdulillah, profesi sebagai tenaga konsultan properti di ibukota telah berhasil menjadikanku seperti sekarang ini. Walaupun ya, mengutip perkataan Hendra si laki-laki romantis itu bahwa hidupku belumlah sempurna bila hingga kini masih betah menjomlo. Fiuh.
***
"Neeek... Skateboard Akbar di mana? Jangan disembunyikan dong...."
Bila biasanya teriakan si nenek yang terdengar, pagi ini giliran sang cucu yang berteriak lantang. Dari jauh kuperhatikan Akbar sibuk mondar-mandir keliling teras rumahnya, melongok ke kolong meja, menyisir sudut teras, mencari skateboard-nya.
"Kasihan ya anak itu," Mang Subur memulai percakapan pagi ini. Membuat rasa kepoku terhadap Akbar makin besar.
"Kasihan kenapa, Mang?" tanyaku, ingin tahu. Dari ujung mataku, kulihat Akbar masih betah berkutat di teras rumahnya, berharap benda yang bernama skateboard itu segera ketemu.
"Neeek...." Kembali teriakan Akbar terdengar hingga kemari.
"Ya, itu. Diusianya yang masih membutuhkan kasih sayang, kedua orangtuanya berpisah. Bapaknya entah ke mana. Ibunya mengadu nasib sebagai BMI (Buruh Migran Indonesia) di Hongkong. Dan tinggallah kini Akbar diasuh sama neneknya."
Belum genap sepekan aku di sini, beragam cerita seputaran warga desa telah banyak kuketahui. Mulai dari mata pencaharian warga yang umumnya hanya mengandalkan lahan pertanian semata. Tak peduli mereka harus sewa, maro maupun menjadi odong-odong saja. Belum lagi sebagian perempuan di desa ini memilih Hongkong, Malaysia dan Singapura sebagai tempat destinasi pilihan dalam mencari sesuap nasi dan biaya sekolah anak. Ah, ke mana saja aku selama ini? Datang ke sini hanya sekedar hura-hura ketemu keluarga besar dan berlebaran. Selanjutnya, egp alias emang gue pikirin.
Ya, kuakui bila selama ini aku termasuk manusia paling anti bersosialisasi. Waktuku lebih banyak dihabiskan untuk bekerja, mengerjakan proyek klien, meeting, nongkrong di Robista--yang kini telah menjadi tempat favoritku, atawa hanya tidur seharian di kontrakan. Berkali-kali Hendra mengajakku gaul dan berkenalan dengan temen-temen ceweknya, tapi selalu kutolak. Alasannya, aku capek dan malas keluar.
Hendra, biar kata begitu, dia telah pernah merasakan yang namanya biduk rumah tangga dan memiliki seorang anak. Pernikahannya terpaksa kandas di tengah jalan, karena sang istri tak sanggup hidup berjauhan. Ya, mau bagaimana lagi. Kerasnya hidup membuat Hendra harus hijrah dan mengadu nasib ke ibukota. Sedangkan sang istri tak pernah mau diajak pindah dan memilih tetap bertahan di kampung halaman karena tak ingin jauh dari keluarga. Akhirnya, ya gitu deh. Entah siapa yang mulai, pernikahan yang telah mereka jalani selama delapan tahun ini pun harus berakhir di pengadilan agama.
Oke, balik lagi ke Akbar. Setelah lelah mencari ke mana perginya si skateboard, anak laki-laki bertubuh bongsor itu pun memilih masuk ke dalam rumah kembali. Sejenak hening terasa di rumah depan. Hingga akhirnya...
"Akbaaarrr... Tulungan Nenek. Nenek teu tiasa mengendalikan papan seluncur ini. Akbaaarrr...."
Mendengar teriakan histeris dan aksi Mak Icih di atas skateboard, spontan saja aku, Mang Subur dan Bi Isah yang tengah asyik menikmati sarapan di teras depan berhamburan ke rumah depan. Kami mencoba menahan agar laju si skateboard bisa dikendalikan. Namun naas, skateboard malah makin melaju kencang ke jalan desa dan Mak Icih yang panik malah semakin mendorong skateboard tersebut sehingga kegemparan pun terjadi. Seorang nini-nini melaju kencang di atas skateboard. Begitu mungkin judul trending topic di media sosial. Dan Akbar yang melihat kejadian itu bukannya menolong, malah tertawa terpingkal-pingkal.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kiri Akbar, membuatnya terdiam dan seketika mengkerut.
"Kamu diajarkan sopan santun tidak sih?" Amarahku memuncak. Biar kata aku ini bukanlah jenis anak sholeh yang selalu patuh pada orang tua, tapi setidaknya aku takkan tega melakukan hal yang seperti Akbar lakukan.
"Ma... maafkan Akbar, Om." Takut-takut Akbar menatapku. Tangan kanannya terulur memohon maaf dariku.
"Kejar nenekmu. Selamatkan beliau. Bagaimanapun Mak Icih itu orangtuamu saat ini. Yang begitu tulus mengurus dan merawatmu selama kamu ditinggalkan oleh orangtua kandungmu."
Dan tanpa ba-bi-bu lagi, Akbar pun melesat dengan sepedanya mengejar Mak Icih yang masih bertahan di atas skateboard yang melaju kencang di jalan desa.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H