Mak Icih tersenyum kecut. Kemudian, "Ya udah atuh, Jang, Emak masuk dulu. Oh ya, gimana perkembangan kasus orang-orangan sawahnya?"
Fiuh. Hari ini sudah dua orang yang menanyakan perihal kasus orang-orangan sawah. Dan Mak Icih ini adalah orang kedua yang menanyakannya. Lagi, aku hanya mampu menggeleng, karena aku pun hingga detik ini belum mendapatkan info dan titik terang terkait kasus ini. Polisi baru bisa menduga kalau otak dibalik teror ini adalah Pak Lurah (sebutan Pak Kades di sini) bersama pihak developer perumahan. Karena semua warga desa pun tahu kalau Pak Lurah itu calo tanah di desa ini.
Pasca sepeninggalan Mak Icih, aku ternyata masih betah saja berada di teras depan. Menyaksikan ibu-ibu buruh tani--yang oleh orang sini disebut odong-odong--yang baru pulang dari sawah, dengan baju kecokelatan penuh lumpur dan caping yang menutupi kepala mereka. Betapa berat perjuangan yang harus mereka lalui hanya untuk bisa memperoleh sesuap nasi dan beberapa keping rupiah untuk membiayai sekolah anak-anak.
Sebagai anak yang dilahirkan dari keluarga berada, tentunya aku sama sekali tak merasakan hal itu. Aki Dahlan--kakekku dari pihak Papah--itu seorang petani dan saudagar sukses di desa ini. Ketiga anak-anaknya pun telah sukses hidup di perantauan. Sedangkan aku sebagai cucunya? Alhamdulillah, profesi sebagai tenaga konsultan properti di ibukota telah berhasil menjadikanku seperti sekarang ini. Walaupun ya, mengutip perkataan Hendra si laki-laki romantis itu bahwa hidupku belumlah sempurna bila hingga kini masih betah menjomlo. Fiuh.
***
"Neeek... Skateboard Akbar di mana? Jangan disembunyikan dong...."
Bila biasanya teriakan si nenek yang terdengar, pagi ini giliran sang cucu yang berteriak lantang. Dari jauh kuperhatikan Akbar sibuk mondar-mandir keliling teras rumahnya, melongok ke kolong meja, menyisir sudut teras, mencari skateboard-nya.
"Kasihan ya anak itu," Mang Subur memulai percakapan pagi ini. Membuat rasa kepoku terhadap Akbar makin besar.
"Kasihan kenapa, Mang?" tanyaku, ingin tahu. Dari ujung mataku, kulihat Akbar masih betah berkutat di teras rumahnya, berharap benda yang bernama skateboard itu segera ketemu.
"Neeek...." Kembali teriakan Akbar terdengar hingga kemari.
"Ya, itu. Diusianya yang masih membutuhkan kasih sayang, kedua orangtuanya berpisah. Bapaknya entah ke mana. Ibunya mengadu nasib sebagai BMI (Buruh Migran Indonesia) di Hongkong. Dan tinggallah kini Akbar diasuh sama neneknya."