Belum genap sepekan aku di sini, beragam cerita seputaran warga desa telah banyak kuketahui. Mulai dari mata pencaharian warga yang umumnya hanya mengandalkan lahan pertanian semata. Tak peduli mereka harus sewa, maro maupun menjadi odong-odong saja. Belum lagi sebagian perempuan di desa ini memilih Hongkong, Malaysia dan Singapura sebagai tempat destinasi pilihan dalam mencari sesuap nasi dan biaya sekolah anak. Ah, ke mana saja aku selama ini? Datang ke sini hanya sekedar hura-hura ketemu keluarga besar dan berlebaran. Selanjutnya, egp alias emang gue pikirin.
Ya, kuakui bila selama ini aku termasuk manusia paling anti bersosialisasi. Waktuku lebih banyak dihabiskan untuk bekerja, mengerjakan proyek klien, meeting, nongkrong di Robista--yang kini telah menjadi tempat favoritku, atawa hanya tidur seharian di kontrakan. Berkali-kali Hendra mengajakku gaul dan berkenalan dengan temen-temen ceweknya, tapi selalu kutolak. Alasannya, aku capek dan malas keluar.
Hendra, biar kata begitu, dia telah pernah merasakan yang namanya biduk rumah tangga dan memiliki seorang anak. Pernikahannya terpaksa kandas di tengah jalan, karena sang istri tak sanggup hidup berjauhan. Ya, mau bagaimana lagi. Kerasnya hidup membuat Hendra harus hijrah dan mengadu nasib ke ibukota. Sedangkan sang istri tak pernah mau diajak pindah dan memilih tetap bertahan di kampung halaman karena tak ingin jauh dari keluarga. Akhirnya, ya gitu deh. Entah siapa yang mulai, pernikahan yang telah mereka jalani selama delapan tahun ini pun harus berakhir di pengadilan agama.
Oke, balik lagi ke Akbar. Setelah lelah mencari ke mana perginya si skateboard, anak laki-laki bertubuh bongsor itu pun memilih masuk ke dalam rumah kembali. Sejenak hening terasa di rumah depan. Hingga akhirnya...
"Akbaaarrr... Tulungan Nenek. Nenek teu tiasa mengendalikan papan seluncur ini. Akbaaarrr...."
Mendengar teriakan histeris dan aksi Mak Icih di atas skateboard, spontan saja aku, Mang Subur dan Bi Isah yang tengah asyik menikmati sarapan di teras depan berhamburan ke rumah depan. Kami mencoba menahan agar laju si skateboard bisa dikendalikan. Namun naas, skateboard malah makin melaju kencang ke jalan desa dan Mak Icih yang panik malah semakin mendorong skateboard tersebut sehingga kegemparan pun terjadi. Seorang nini-nini melaju kencang di atas skateboard. Begitu mungkin judul trending topic di media sosial. Dan Akbar yang melihat kejadian itu bukannya menolong, malah tertawa terpingkal-pingkal.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kiri Akbar, membuatnya terdiam dan seketika mengkerut.
"Kamu diajarkan sopan santun tidak sih?" Amarahku memuncak. Biar kata aku ini bukanlah jenis anak sholeh yang selalu patuh pada orang tua, tapi setidaknya aku takkan tega melakukan hal yang seperti Akbar lakukan.
"Ma... maafkan Akbar, Om." Takut-takut Akbar menatapku. Tangan kanannya terulur memohon maaf dariku.
"Kejar nenekmu. Selamatkan beliau. Bagaimanapun Mak Icih itu orangtuamu saat ini. Yang begitu tulus mengurus dan merawatmu selama kamu ditinggalkan oleh orangtua kandungmu."