Seharian ini kepalaku pusing sekali. Bagaimana tidak? Sudahlah pusing menghadapi klien yang tak pernah ada rasa puasnya. Yang hampir saban hari kerjaannya itu meminta revisi dan revisi terus. Entah sudah puluhan desain arsitektur rumah yang kubuatkan khusus untuknya, tapi ya... gitu deh. Selalu saja tampak kurang sempurna di matanya. Harusnya tuh seperti ini, bukan begitu. Tolong tambahkan ini di sini, jangan di situ. Hingga akhirnya...
"Aaargh...!" Kugebrak juga meja kerjaku dengan keras. Membuat kaget Rahma, sekretaris pribadiku yang tengah serius memelototi layar laptop di depannya. Melihat aku yang emosi begitu, Rahma pun bergegas menghampiriku.
"Eling, Pak. Eling!" seru Rahma, seraya memberikan segelas air putih hangat kepadaku.
"Argh! Apa-apaan lagi ini?" Segera kuenyahkan gelas yang disodorkan oleh Rahma, yang nyaris membuat gelas tersebut jatuh ke lantai ruangan kerjaku.
Sekretaris yang telah bekerja padaku selama tiga tahun ini tampak terkejut, namun dia memilih diam dan beranjak menjauh dariku sambil membawa lagi gelas yang tadinya hendak diberikannya padaku.
Hening sejenak. Kuhirup napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Berkali-kali kucoba melakukan metode healing yang pernah kuterima dari seorang terapis jiwa. Namun rupanya kekacauan hari ini belum juga berakhir.
Di tengah ketenangan yang baru saja kunikmati, sebuah chat WA masuk ke gawaiku. Segera saja kubuka dan membacanya.
"Pokoknya Bagas gak mo tau. Untuk ultah Bagas tahun ini, Bagas minta dibelikan ikan cupang seperti yang ada pada gambar. Awas aja kalo Om Noval sampe lupa!!!"
"Tanda seru tiga buah. Bagus. Tuh bocah sekarang sudah berani mengancam omnya sendiri. Anak kandung juga bukan lu," rutukku sambil melempar jauh pena merah 0.3" yang sekiranya akan kugunakan untuk merevisi ulang desain rumah klien rese itu.
Dan hari ini, daripada aku harus menginap di IGD, akhirnya aku memilih menghabiskan malam di kedai kopi Robista saja. Dimana aku bisa rileks sejenak memperhatikan para Robista dalam meracik minuman kopi pesanan pelanggan.
***
"Tumben nih lu punya niat cespleng mo ntraktir gue ngupi ganteng di sini," kata Hendra seraya mendorong kursi yang ada di hadapanku kemudian mendudukinya.
Tetangga sebelah rumah kontrakanku ini memang terkenal tipikal laki-laki romantis alias rokok makan (plus ngopi) gratis. Makanya dia sama sekali tak menolak saat kuajak ke "Robista" walaupun itu berarti dia kudu naik motor sendiri ke pabrik, bukan naik bus jemputan karyawan seperti biasanya. Ya, hari ini Hendra kebagian shift 3 di pabrik tempatnya bekerja.
"Udah deh, jangan banyak bacot lu. Sok aja pesan apapun yang lu mau." Segera kusodorkan daftar menu ke Hendra dan membebaskannya untuk memilih. Tentu saja Hendra menerimanya dengan riang gembira.
Setelah menentukan pilihan, segera saja kupanggil robot pramusaji yang ada di kedai kopi ini.
"Saya seperti biasa ya, moccalatte dan untuk makanannya saya pilih truffle beef burger dan french fries saja," kataku sambil membaca nama makanan yang ada di daftar menu. Kemudian daftar menu itu pun beralih ke Hendra.
"Kalo saya cappucino aja deh. Sama makanannya, saya pesan fettuccine seafood marinara," jawab Hendra mantap. Kemudian menyerahkan kembali daftar menu kepada si robot pramusaji.
Si robot pramusaji pun merekam suaraku dan suara Hendra ke dalam memorinya seraya berkata, "Meja 15. Silakan menunggu. Pesanan Anda akan segera kami proses dan sajikan."
Usai mengucapkan hal ini, si robot pramusaji itu pun beranjak pergi meninggalkan kami yang kini hanya tinggal berdua saja di meja no.15.
***
"Gimana? Lu bisa kan carikan ikan cupang seperti yang ada di gambar itu?" tanyaku sambil menikmati french fries yang dicocol saus sambal. Hendra pun kuperhatikan tampak asyik dengan pastanya. Sampai-sampai omonganku sama sekali tak digubrisnya. "Woi, jawab dong...!" teriakku, akhirnya. Hendra hanya mengernyit.
"Sori nih, gue gak berani janji. Kan lu lihat sendiri di google tadi, kalo ikan cupang yang dipengen Bagas itu termasuk yang langka di Indonesia. So, pegimane gue carinya, coba?"
Aku diam sejenak. Kupikir-pikir yang diungkapkan Hendra itu ada benarnya juga.
"Tapi kan kenalan lu seabrek, Bro. Masa sih salah satu dari mereka gak ada yang bisa ngusahain?"
Mendengar perkataanku barusan, kontan saja Hendra sewot. "Gimana mo ngusahain? Lha, tuh ikan sendiri kagak ade di Indonesia. Ya, kecuali...," Hendra sengaja memenggal kalimatnya untuk melihat reaksiku.
"Kecuali apa?" sahutku sambil melotot.
"Kecuali ya... lu berani bayar mahal untuk mendatangkannya langsung dari negaranya."
Hah? Tak salah dengar kan aku?
"Idih, malas banget gue harus keluar duit gede hanya untuk membeli seekor ikan cupang hias," ucapku sambil bergidik. "Sia-sia dong gue mendesain selama tiga bulan ini, sampe kepala mumet dan stres gini. Untung aja gak sampe masuk IGD."
Dan Hendra hanya bisa ngakak seraya berkata, "Dasar Om yang gak mo rugi lu! Sama ponakan sendiri aja perhitungan. Medit lu!"
***
Benar saja. Saat aku menyerahkan toples berisi ikan cupang sebagai hadiah ulang tahunnya, Bagas malah terlihat cemberut.
"Om Noval ini gimana sih? Emang gak bisa bedain apa, ikan cupang yang Bagas pengen sama... apa nih, ikan cupang yang Om bawa." Bagas mencak-mencak tak karuan. "Om Noval tau gak sih, kalo ikan cupang yang Om bawa ini udah terlalu mainstream, basi tau."
What? Mainstream? Basi? Dia pikir ikan cupang yang diinginkannya itu harganya cuma secangkir moccalatte di kedai kopi Robista apa?
Akhirnya aku cuma bisa bersikap pura-pura tak mendengar ocehan remaja tanggung itu dan memilih melipir ke dapur.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H