Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga nonton film ini Selasa pekan lalu (25/04/17). Niat awalnya sih pengen nonton saat long weekend kemarin. Tapi setelah dipikir ulang, dimana mal pasti penuh ramai oleh lautan manusia di saat libur akhir pekan--apalagi ini libur panjang, akhirnya waktu nonton pun diundur pas weekday. Heuheu, sekalian nomat alias nonton hemat gitu deh ceritanya. ;)
Well, alasan pengen nonton film ini tak lain dan tak bukan lebih didasari oleh para pemainnya seperti Dian Sastrowardoyo, Acha Septriasa, Ayushita, Christine Hakim, Reza Rahardian, Deddy Sutomo, Djenar Maesa Ayu, Adinia Wirasti, dll. Selain itu pas lihat trailer-nya di IG, entah kenapa saya langsung tertarik. Apalagi ditambah dengan nama besar Hanung Bramantyo sebagai sang sutradara yang pernah sukses menyutradarai film biopic "Soekarno", oke, let's go to the movie.
Dan ternyata, ekspektasi saya terhadap film ini tidaklah salah. Karena saya berhasil dibawa masuk pada era tahun 1800-an di kota kelahiran RA Kartini, Jepara, Jawa Tengah. Setting tempat kediaman Bupati Jepara, RM Adipati Ario Sosroningrat (ayah kandung RA Kartini, diperankan oleh Deddy Sutomo), wardrobe, kostum para pemain, sampai kepada dialog Jawa dan Belanda yang kental, membuat saya mengacungi jempol kepada film produksi Legacy Pictures dan diproduseri oleh Robert Ronny ini.
Mendobrak Tradisi Jawa Kuno
Film ini bercerita tentang kisah hidup tokoh emansipasi perempuan, RA Kartini (Dian Sastro) dalam rentang waktu 1883-1903 di Jepara, mulai dari kanak-kanak hingga dewasa. Dimana pada saat Kartini kecil, ia mengadakan perlawanan karena tak diizinkan tinggal bersama ibu kandungnya sendiri, Ngasirah (Nova Eliza sebagai Ngasirah muda), yang notabene bukan berasal dari golongan ningrat, walaupun bapaknya sendiri itu merupakan seorang bupati berdarah bangsawan. Oleh karena itu, Kartini diharuskan memanggil Ngasirah dengan sebutan Yu, bukan Ibu. Dan Ngasirah pun harus tinggal di rumah belakang sebagai pembantu, terpisah dari anak-anak dan suaminya sendiri.
Kartini kecil sangat tak berdaya pada tradisi yang berlaku saat itu, begitupun dengan sang ayah yang harus menikahi gadis ningrat agar bisa menjadi seorang bupati. Dan pada saat mendapatkan menstruasi pertamanya, maka mulailah Kartini menjalani kehidupan pingitan untuk menjadi Raden Ajeng dan siap dinikahkan oleh seorang bangsawan ningrat.
Kartini sangat tersiksa dengan kehidupan seperti itu, karena sejatinya ia ingin hidup bebas serta mengecam pendidikan tinggi seperti yang dialami kakak laki-lakinya, RM Sosro Kartono (Reza Rahardian) yang mendapatkan beasiswa belajar ke negeri Belanda.
Kartono yang iba pada penderitaan Kartini akhirnya memberikan sebuah kunci kepada adiknya itu. "Ini kunci yang akan menghubungkan kowe dengan dunia luar dari kamar pingitan."
Senyum Kartini pun merekah saat menerima kunci tersebut, apalagi mengetahui kalau itu adalah kunci lemari Kartono yang berisi buku-buku berbahasa Belanda yang membuat wawasan Kartini kian berkembang. Apalagi setelah kedatangan keluarga Ovink yang mengundang Kartini untuk bertandang ke rumahnya dan memfasilitasi Kartini untuk menerbitkan tulisan-tulisannya yang akan dibaca hingga ke negeri Belanda.
Sisi Lain Kartini dan Trio Semanggi
Bila selama ini kita mendapat gambaran--seperti yang ada di buku sejarah--sosok Kartini sebagai sosok perempuan yang anggun dan pendiam, maka film ini berhasil mengubah anggapan tersebut. Di sini, Kartini digambarkan sebagai perempuan tomboi dan pemberani. Bersama kedua adiknya, Kardinah (Ayushita) dan Roekmini (Acha Septriasa), mereka hobi sekali memanjat pagar dan juga bermain di pantai, meskipun kebaya dan kain tetap melekat di tubuh.
Kartini, Kardinah dan Roekmini itu diibaratkan sebagai Trio Semanggi yang sangat kokoh memperjuangkan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, terutama di bidang pendidikan, dan sangat menentang yang namanya poligami.
"Pokoke aku bersumpah, aku ora gelem menikah, apalagi dengan suami orang," ujar Kardinah keukeh, di hadapan Kartini dan Roekmini.
Tapi malang, takdir berkata lain. Saat tiba waktunya Kardinah untuk menikah, ia benar-benar tak bisa menentang semua itu--meskipun telah memelas kepada RA Moeriam (ibu tiri Kartini, diperankan oleh Djenar Maesa Ayu) dan hanya bisa menangisi nasib. Dan pasca pernikahan Kardinah, kekuatan Trio Semanggi pun menjadi pincang.
Perjuangan Cantik Kartini
"Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya."
Akhir-akhir ini setiap kali bulan April--terutama tanggal dua puluh satu yang bertepatan dengan hari Kartini, banyak sekali opini bernada miring yang mengatakan bahwa kenapa hanya Kartini yang dijadikan pahlawan nasional. Padahal masih banyak tokoh perempuan Indonesia lainnya yang lebih berjasa dalam memperjuangkan hak kaumnya, bahkan tak jarang mereka berjuang dengan mengangkat senjata.
Bila saya diizinkan untuk ikut beropini juga, maka saya akan mengatakan bahwa perjuangan Kartini itu sangatlah cantik. Dalam film ini diperlihatkan bahwa Kartini memang tidak angkat senjata dalam berjuang seperti yang lainnya, tapi ia berjuang melalui pemikirannya. Ia pintar dalam memanfaatkan fasilitas yang dimilikinya--kekuatan politik ayahnya, kondisi perekonomian keluarganya, pun pintar memanfaatkan koneksi dan korespondensi dengan teman-teman Belanda-nya. Dengan pemikiran yang jauh berkembang dari zamannya itulah yang akhirnya disadari oleh J.H. Abendanon--teman Belanda-nya untuk membukukan surat-surat Kartini dengan judul asli Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya). Kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Kartini tidak serta merta menelan semua adat istiadat dan tradisi keluarganya yang kaku. Apalagi jika itu bertentangan dengan nuraninya yang sangat menginginkan kesetaraan gender, kesamaan memperoleh pendidikan, mencerdaskan perempuan tanpa melihat kasta sosialnya. Kartini sama sekali tak menampik kodrat perempuan yang identik dengan kasur, dapur dan sumur. Tapi ia juga tidak setuju bila perempuan itu hanya bisa pasrah menerima nasibnya tanpa ada keinginan untuk mengubahnya. Itulah yang saya sebut sebagai perjuangan yang cantik.
Jujur, saya sangat terkesan dengan film ini karena alur ceritanya menarik, ditambah dengan sinematografi yang apik--visualisasi gambar real saat Kartini membaca buku dan menulis surat ke Stella, sahabatnya, menurut saya itu keren sekali. Jadi kita bisa melihat Kartini yang berdialog langsung dengan si penulis buku maupun berada di negara tempat Stella tinggal, bukan sekadar kata-kata biasa.
Sebagai penutup, saya memberi nilai untuk film ini 8 dari 10. Dan saya sangat merekomendasikan untuk menonton film ini untuk melihat lebih dekat kehidupan dan perjuangan cantik dari RA Kartini.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H