Kartini, Kardinah dan Roekmini itu diibaratkan sebagai Trio Semanggi yang sangat kokoh memperjuangkan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, terutama di bidang pendidikan, dan sangat menentang yang namanya poligami.
"Pokoke aku bersumpah, aku ora gelem menikah, apalagi dengan suami orang," ujar Kardinah keukeh, di hadapan Kartini dan Roekmini.
Tapi malang, takdir berkata lain. Saat tiba waktunya Kardinah untuk menikah, ia benar-benar tak bisa menentang semua itu--meskipun telah memelas kepada RA Moeriam (ibu tiri Kartini, diperankan oleh Djenar Maesa Ayu) dan hanya bisa menangisi nasib. Dan pasca pernikahan Kardinah, kekuatan Trio Semanggi pun menjadi pincang.
Perjuangan Cantik Kartini
"Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya."
Akhir-akhir ini setiap kali bulan April--terutama tanggal dua puluh satu yang bertepatan dengan hari Kartini, banyak sekali opini bernada miring yang mengatakan bahwa kenapa hanya Kartini yang dijadikan pahlawan nasional. Padahal masih banyak tokoh perempuan Indonesia lainnya yang lebih berjasa dalam memperjuangkan hak kaumnya, bahkan tak jarang mereka berjuang dengan mengangkat senjata.
Bila saya diizinkan untuk ikut beropini juga, maka saya akan mengatakan bahwa perjuangan Kartini itu sangatlah cantik. Dalam film ini diperlihatkan bahwa Kartini memang tidak angkat senjata dalam berjuang seperti yang lainnya, tapi ia berjuang melalui pemikirannya. Ia pintar dalam memanfaatkan fasilitas yang dimilikinya--kekuatan politik ayahnya, kondisi perekonomian keluarganya, pun pintar memanfaatkan koneksi dan korespondensi dengan teman-teman Belanda-nya. Dengan pemikiran yang jauh berkembang dari zamannya itulah yang akhirnya disadari oleh J.H. Abendanon--teman Belanda-nya untuk membukukan surat-surat Kartini dengan judul asli Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya). Kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Kartini tidak serta merta menelan semua adat istiadat dan tradisi keluarganya yang kaku. Apalagi jika itu bertentangan dengan nuraninya yang sangat menginginkan kesetaraan gender, kesamaan memperoleh pendidikan, mencerdaskan perempuan tanpa melihat kasta sosialnya. Kartini sama sekali tak menampik kodrat perempuan yang identik dengan kasur, dapur dan sumur. Tapi ia juga tidak setuju bila perempuan itu hanya bisa pasrah menerima nasibnya tanpa ada keinginan untuk mengubahnya. Itulah yang saya sebut sebagai perjuangan yang cantik.
Jujur, saya sangat terkesan dengan film ini karena alur ceritanya menarik, ditambah dengan sinematografi yang apik--visualisasi gambar real saat Kartini membaca buku dan menulis surat ke Stella, sahabatnya, menurut saya itu keren sekali. Jadi kita bisa melihat Kartini yang berdialog langsung dengan si penulis buku maupun berada di negara tempat Stella tinggal, bukan sekadar kata-kata biasa.
Sebagai penutup, saya memberi nilai untuk film ini 8 dari 10. Dan saya sangat merekomendasikan untuk menonton film ini untuk melihat lebih dekat kehidupan dan perjuangan cantik dari RA Kartini.